x

Gunung Bromo terlihat dari penanjakan satu di Probolinggo, Jawa Timur, 19 Mei 2017. Wisata Gunung Bromo diharapkan dapat mendukung pencapaian target kunjungan wisatawan mancanegara pada 2019. ANTARA/Zabur Karuru

Iklan

Muhammad Syahid Syawahidul Haq

Laki-laki yang cuma kurang kerjaan.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendakian Cikuray: Sebuah Perjalanan Panjang

Beberapa hal yang unik ketika mendaki sebuah gunung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja, banyak pohon cemara”

Setiap manusia tak pernah merasa puas. Ingin ini-ingin itu, ingin memiliki perempuan yang cantik dengan rambut hitam wangi terurai panjang, dengan pola wajah sedikit bulat, ditambah kacamata sehingga terkesan nyentrik dan senyum yang sedikit lebar tanda aura kecantikannya.

Perihal kehidupan, bagi masyarakat urban yang kesehariannya berada di wilayah padat penduduk dan sesak dengan gedung-gedung nan menjulang tinggi, rasanya ingin sekali menyambangi suatu tempat yang dipenuhi warna hijau dedaunan.  Atau tempat yang memiliki suara khas gemuruh air ditambah tumpukan badan-badan proporsional yang sedang berjemur agar memiliki kulit eksotis. Intinya: ingin sekali lepas dari belenggu rutinitas menyerupai robot yang melelahkan dan sesekali mencoba keindahan alam yang telah Tuhan cipta.

Ada-ada saja memang. Namun, begitulah kehidupan, takkan pernah kehabisan cerita yang unik dan asyik. Pada fitrahnya, manusia memang dicipta Tuhan untuk terus menghasilkan sejarah dan membuat cerita. Seperti apa yang sedang saya lakukan ini. Mencoba mengabadikan sebuah peristiwa yang tak kalah asyik dengan sinetron-sinetron layar keca ketika menyambangi sebuah gunung tertinggi keempat di Jawa Barat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mencoba Mendaki Gunung Tertinggi Keempat di Jabar

Proses pendewasaan diri atau setidaknya menjadi seorang manusia seutuhnya tak melulu melalui proses belajar secara formal: belajar dengan metode ceramah dari sang guru di dalam sebuah ruangan yang membosankan dan tak ada ruang demokratis di dalamnya—gaya bank, jika menurut Freire. Ia dapat saja dilalui dengan cara pendakian gunung secara berkelompok atau dengan hanya sendirian saja.

Tentu ini hanya sebuah pandangan yang sarat dengan subjektivitas pribadi saya. Namun, setidaknya ini merupakan hasil dari buah pikir yang muncul ketika pendakian gunung telah usai.

Sabtu (20/5) lalu, tepatnya di Desa Dayeuhmanggung, Garut, pendakian atas Gunung Cikuray dimulai. Cikuray dinobatkan menjadi gunung tertinggi keempat di Jawa Barat karena memiliki ketinggian 2821meter di atas permukaan laut—setidaknya wikipedia pun mengamini. Awalnya, saya hanya mengira ketinggian itu tak cukup tinggi dan dalam perjalanannya pun takkan melelahkan karena diibaratkan dengan panjang sebuah jarak permukaan datar 3km yang hanya akan menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih dengan berjalan kaki.

Namun, yang terjadi malah jauh dari apa yang telah dibayangkan. Hal bodoh memang. Jarak tinggi tak bisa disamakan dengan jarak lurus—apalagi ditambah dengan medan yang cukup terjal, ditambah dengan akar dari pohon-pohon yang lumayan menganggu berjalan kaki. Untuk pertama kalinya, perjalanan demi mencapai sebuah hasil terkesan sangat melelahkan. Baik fisik maupun pikiran, terkuras habis. Meski udara relatif dingin, dengan suhu berkisar 21derajat celcius, dehidrasi pun tak terelakkan.

Lima jam, waktu yang terhitung. Itu pun hanya sampai pos 6. Karena perjalanan sudah memasuki petang, kemudian syarat untuk hipotermia telah terpenuhi, dan dari beberapa sumber yang ada—dari sebagian pendaki lain—puncak tak bisa dipakai untuk memasang tenda. Sesak oleh pendaki lain. Esoknya dilanjut, menghabiskan waktu 1jam 40menit untuk melewati pos 7 dan sampai pada puncak.

Pada akhirnya, memang sedikit menyesal. “Hanya memindahkan tempat tidur,” seperti dalam guyon sehari-hari bersama kawan. Namun, paling tidak penyesalan itu tak secara simultan berputar di pikiran. Justru perjalanan itu menghasilkan sebuah pemikiran tentang sebuah tragedi yang hanya dialami pada hari ini dan hanya akan menjadi lelucon pada esok hari: semua cerita sedih hanya akan dialami saat itu, dan menjadi sebuah bahan tertawa setelahnya.

Hal itu hanya akan disadari ketika dalam sebuah perjalanan menuju sebuah puncak gunung, dengan medan yang cukup menguras tenaga, hingga rasanya ingin mengamputasi kaki pada saat itu juga karena sebal dengan rasa sakit yang kian menjalar, dan sesekali ingin menjemur pakaian karena basah seperti dilanda hujan. Kerutan dahi, hidung yang semakin tidak kondusif untuk mengatur nafas, dan jantung yang rasanya ingin lepas melengkapi perjalanan.

Untuk berbicara pun rasanya enggan sekali. Sesekali menengok kanan dan kiri berharap ada pohon cemara, tapi tak kunjung ditemui. Sepanjang perjalanan saya berpikir: atas dasar apa lagu Naik-naik Ke Puncak Gunung dibuat? Sarat akan konspirasi dan cuci otak.

Karena untuk berbicara pun enggan, yang terjadi hanya terus berpikir dan berpikir: bagaimana caranya untuk cepat sampai puncak? Bagaimana caranya mengatasi lelah yang amat menyiksa ini? Bagaimana perasaan seorang supir becak mengayuh becaknya yang berat karena mengangkut penumpang berbobot di atas 80Kg dengan medan menanjak?

Kebiasaan tertawa bersama kawan-kawan, hanya bisa dilakukan ketika istirahat. Sesekali menyesali perjalanan yang telah dilalui, sesekali ingin kembali ke pos pertama keberangkatan, sesekali rasanya ingin bunuh diri di tempat—setidaknya agar tidak menjadi pecundang karena menyerah sebelum berperang.

Namun, keinginan itu surut ketika mencapai puncak Cikuray. Secepatnya, mengambil action cam yang sudah sedari lama menempel di pinggiran tas untuk mendokumentasikan: “Akhirnya, sampai!” dahi yang sedari perjalanan mengerut seperti kulit usia 70an tahun, pegal pada betis dan sakit pada telapak kaki, akhirnya terlupakan. Kembali tertawa, seperti semula.

Hal Menarik di Puncak Cikuray

Mang Utang, warga sekitar, tepatnya warga Cigedug, menurut kawan-kawannya, dalam kurun waktu seminggu ia bisa mendaki gunung selama dua kali. Tiga hari berada di puncak, hari keempat turun untuk mengambil perbekalan dan istirahat, kemudian mendaki kembali esok harinya. Luar biasa saya kira. Dalam hati, ingin sekali saya bertanya pada Mang Utang apakah betisnya terbuat dari besi atau lebih kuat dari besi.

Cerita Mang Utang mungkin biasa saja. Toh dia sudah terbiasa. Namun, ada satu hal lagi yang tak kalah menarik bagi saya yang baru pertama kali mendaki sebuah gunung. Fakta di lapangan, di puncak Cikuray, terdapat sebuah bangunan persegi dengan luas berkisar 4 x 4 meter tegak berdiri. Seluruh lapisan bangunan tidak dibangun oleh kayu, seperti pada bangunan tradisional umumnya, tapi dibangun memakai semen dan bebatuan.

“Sekitar 1980an, A, kira-kira bangunan ini dibangun, teh. Dulunya ada tower TVRI di sebelahnya, tapi dirubuhin masyarakat,” kata Mang Utang menjelaskan, “bahan bangunan seperti semen, diangkut dari bawah oleh masyarakat sini. Nggak pake helikopter, manual. (dengan upah) dibayar Rp.1.500/Kg perorang.”

Menurut pengakuan Mang Utang, konon, dulu bangunan tersebut dibuat untuk gudang penyimpanan peralatan listrik, seperti, genset, aki dll., untuk penunjang tower pemancar sinyal milik stasiun TVRI. Tak hanya proses pengumpulan bahannya saja yang unik, tapi pada proses pengerjaannya pun terkesan cukup unik dan mungkin lumayan memakan waktu lama. “Kalau ngaduk semen, nunggu hujan dulu,” jelas Mang Utang.

Namun, sekitar tahun 2000an, tower pun dihancurkan masyarakat karena dirasa tidak bermanfaat dan pintu bangunan gudang—yang diselimuti teralis besi—tersebut dibongkar paksa oleh masyarakat setempat. “Karena kebetulan pas naik, kalau kebetulan hujan, gaada tempat neduh,” katanya.

Tak seperti kebanyakan puncak pada umumnya, Cikuray memiliki puncak yang unik dan langka. Bayangkan, ketinggian 2821meter di atas permukaan laut atau setara dengan 2,821kilometer di atas permukaan laut dengan perjalanan yang memakan waktu hampir 7 jam untuk para pendaki pemula, 37 tahun yang lalu masyarakat sana sudah mendaki beberapa kali dengan mengangkat beban yang kemungkinan diatas 5Kg untuk membangun sebuah gudang penyimpanan milik stasiun TVRI. Tanpa bantuan alat berat dan alat canggih, semua serba manual.

Bersyukurlah anak muda sekarang, mereka hanya mendaki dengan tujuan mendaki saja. Mencoba menikmati keindahan alam dan mencoba bersenang-senang ditengah kepahitan dalam perjalanan menuju puncak. Bukan mencari rezeki seperti halnya Mang Utang yang berjualan pernak-pernik Cikuray sembari membersihkan puncak, dan bukan juga seperti masyarakat dulu yang tanpa lelah mengangkut bahan bangunan untuk membangun sebuah gudang dan tower.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Syahid Syawahidul Haq lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler