x

Pekerja rumah tangga dan aktivis buruh migran dan perempuan berunjuk rasa di depan gerbang Monas di dekat Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Senin, 1 Mei 2017. Mereka memperingati Hari Buruh Internasional. Tempo/Rezki Alvionitasari

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bekerjalah di Negeri Sendiri, Carilah Ilmu Sampai Seberang

Potret para buruh migran anak bangsa ini di negeri orang sepertinya semakin bertambah buruk.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Potret para buruh migran anak bangsa ini di negeri orang sepertinya semakin bertambah buruk. Tidak hanya beragam penderitaan yang hampir setiap waktu mereka dulang, mereka pun kini diburu oleh otoritas setempat agar tunduk mengikuti aturan perizinan yang diberlakukan. Tak ada ampun bagi tenaga kerja asal Indonesia (TKI) yang kurang lebih berjumlah 3 juta orang di Malaysia terancam dideportasi jika terbukti tak memiliki kelengkapan dokumen. Perburuan otoritas pemerintahan Malaysia terhadap para buruh migran asal Indonesia nampaknya akan terus dijalankan, mengingat para pekerja ilegal justru semakin bertambah dibanding mereka yang bekerja secara legal melalui perusahaan-perusaan resmi penyalur jasa tenaga kerja. Malaysia, nampaknya menjadi “surga” bagi para pencari kerja asal Indonesia, bagaimana tidak, upah minimum rata-rata perbulan di sana sesuai dengan data ILO tahun 2014-2015 mencapai USD 609 atau setara Rp 8.150.000, hampir empat kali lipat lebih tinggi dibanding upah minimum pekerja Indonesia perbulannya.

Kenyataan ini membuat banyak orang Indonesia tergiur untuk bekerja di negeri orang, bagaimanapun caranya, termasuk dengan cara-cara ilegal sekalipun. Malaysia, nampaknya menjadi destinasi utama para pencari kerja asal Indonesia, disamping wilayahnya berdekatan, mereka tidak begitu kesulitan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan disana, terutama soal bahasa dan budaya. Malaysia adalah mayoritas muslim, beretnis melayu dan banyak memiliki kemiripan beberapa hal dengan Indonesia, sehingga “memburu ringgit” tampaknya telah membudaya bagi sebagian anak bangsa ini, khususnya wilayah-wilayah tertentu yang memang didominasi oleh TKI.

Razia besar-besaran yang sedang digencarkan pihak otoritas pemerintah Malaysia terhadap buruh migran ilegal, sangat berdampak serius terhadap para pekerja asal Indonesia. Pasalnya, jumlah pekerja Indonesia di sana tidaklah sedikit, bahkan mungkin paling banyak diantara 15 negara lainnya, termasuk Bangladesh, Thailand dan Vietnam. Tenggat waktu hingga tanggal 1 Juli 2017 untuk pengurusan legalitas pekerja asing melalui E-Kad (Enforcement Card) yang diberikan otoritas Malaysia, ternyata tidak sepenuhnya dipatuhi para pekerja ilegal. Target pelegalan izin kerja melalui E-Kad sebanyak 600 ribu orang, realisasinya baru sekitar 155 ribu orang para pekerja asing yang telah melakukan hiring melalui prosedur ini. Kenyataan ini jelas, membuat otoritas Malaysia tegas, memburu para buruh migran ilegal untuk secepatnya diproses sesuai hukum dan selanjutnya dideportasi ke negara asal masing-masing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya berasumsi, jumlah lapangan kerja yang kurang dan upah sangat minim yang diterima jika bekerja di negeri sendiri, menjadi alasan kuat sebagian masyarakat kita justru mengadu nasib di negeri orang. Padahal, bekerja di negeri ini sendiri pasti akan lebih terhormat dan menjadi berkah yang justru tak pernah diketahui banyak orang. Ajaran Islam melalui kitab suci al-Quran bahkan menyebutkan, agar bekerja sesuai dengan kemampuan diri sendiri di tempat dimana kita tinggal. “I’maluu ‘alaa makaanatikum innii ‘aamilun” (QS. Al-An’am: 135). “Bekerjalah kalian sesuai kemampuan (di tempat kalian) karena Aku juga bekerja (untuk keberkahan) kalian”. Kata “makaanatikum” yang berarti “sesuai kemampuan” dapat memiliki konotasi “tempat tinggal” (makaan) atau dalam bahasa Inggris mengandung arti “your position”.

TKI memang penyumbang devisa negara cukup besar, namun tidak linier jika dibandingkan dengan banyaknya kasus pekerja asal Indonesia yang justru mengalami pelecehan dan kekerasan di negeri orang. Negara yang masih menyuplai tenaga kerja anak bangsanya untuk pekerjaan di sektor rumah tangga, perkebunan atau industri berarti masih merupakan negara terbelakang, jauh dari harapan sebuah negara maju. Lihat saja, terdapat 15 negara yang masih menyuplai tenaga kerja asal mereka ke negara-negara asing, seperti Banglades, Filipina, India, Kazakhstan, Kamboja, Laos, Myanmar, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, Turkmenistan, Uzbekistan dan termasuk Indonesia yang keseluruhannya masih merupakan negara-negara “tertinggal” belum bisa disebut negara maju.

Bagi saya, bekerjalah di negeri sendiri karena itu akan membawa keberkahan, tidak hanya untuk pribadi, tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitar dimana kita hidup. Tetapi, jika mencari ilmu dan menggali pengetahuan, kejarlah hingga ke negeri orang dan jangan pernah berhenti. Saya terngiang akan sebuah sabda Nabi Muhammad, “uthlubul ‘ilma wa lau bi as-shiin” (tuntutlah ilmu walaupun harus sampai ke negeri Cina”. Terlepas dari penilaian para ahli hadits soal kedudukan riwayat ini, yang pasti bahwa menuntut ilmu seharusnya tidak cukup hanya di negeri sendiri, namun harus mampu menjangkau lebih luas keluar dari negeri sendiri. Nilai filosofi sederhananya adalah bahwa pengetahuan yang kita peroleh secara luas dan terbuka akan membentuk karakter pribadi seseorang menjadi inklusif, moderat, tak mudah dibohongi dan direndahkan bangsa lain. Pengetahuan harus diraih seluas mungkin walaupun harus berburu ilmu di negeri orang, karena nilai pengetahuan tak akan pernah mati, berbeda dengan nilai pekerjaan yang pasti memiliki batas karena bersifat sementara, tergantung kondisi fisik dan hal lain yang mengitarinya.

Kita patut juga merenungi bait pidato Soekarno pada saat Kemerdekaan Indonesia tahun 1963:  “lebih baik makan gaplek tapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi jadi budak”. Bait pidato ini menyiratkan makna yang dalam tentang kondisi para pekerja Indonesia yang cenderung menjadi “budak” di negeri orang tetapi rela dari pada bekerja di negeri sendiri meskipun penghasilan pas-pasan. Fenomena buruh migran sebenarnya paradoks dengan melimpahnya kekayaan alam yang berpotensi di negeri ini. Perubahan mindset bangsa ini dari produktif ke konsumtif, menjadikan sebagian besar menganut azas materialistik: punya uang banyak, rumah besar, kendaraan mewah, kedudukan tinggi tetapi tanpa harus susah berproses melalui tahapan-tahapan kemajuan. Semua serba instan! Begitulah gambaran mudahnya dalam mengukur kenapa jumlah buruh migran asal Indonesia yang dikirim ke negara-negara asing semakin bertambah, bukannya berkurang.

Saya kira, para pemangku negeri ini juga sudah seharusnya memikirkan dan mencarikan solusi agar bangsa ini tidak tergiur oleh nilai materi yang terpaut jauh berbeda antara yang dihasilkan di negeri sendiri dan di negeri orang lain. Anehnya, para pekerja asing yang bekerja di negeri ini justru dibayar dengan nilai mata uang dimana mereka tinggal, tidak dihitung sesuai dengan nilai tukar yang ada di negeri sendiri. Para pekerja “impor” di negeri kita sangatlah dihargai, dijunjung tinggi, dan mempunyai kedudukan “lebih” dibandingkan para pekerja lokalnya sendiri, berbeda terbalik dengan para pekerja asal negeri kita yang bekerja di negeri orang yang cenderung direndahkan, dikucilkan bahkan kadang tak pernah dihargai sebagai pekerja. Banyak sekali yang harus dibenahi, tidak melulu fokus pada soal politik kekuasaan dan kepentingan atau pembangunan infrastruktur, lihatlah sejenak para buruh migran bangsa ini yang selalu dinomorduakan bahkan tak diperhatikan, baik oleh para pemangku negeri ini, terlebih orang mereka bangsa lain yang menganggap buruh migran asal Indonesia tak lebih dari “sampah” yang harus “dibersihkan” dan “dibuang”.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB