x

Iklan

Noprizal Erhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nasib Demokrasi vs Monarki di Tanah Arab

Saudi takut perkembangan Qatar yang membawa hawa demokrasi ke jazirah Arab. Takut paham demokrasi memberangus paham monarki yang telah berlangsung sejak dulu di tanah Arab

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Walau sesama Arab dan sesama pewaris ajaran nabi Muhammad SAW, negara-negara di Arab memiliki perbedaan ideologi cukup signifikan. Perbedaan sangat kentara, historis, dan kronis (menahun) adalah  perbedaan antara syunni vs syiah, antara Saudi vs Iran dan kini yang  santer perseteruan antara syunni monarki (Saudi dkk) vs syunni demokrasi (Qatar), walau sejatinya Qatar tidak murni demokrasi karena masih menganut sistem monarki ala Arab yakni emir (pangeran, gelar bangsawan tertinggi di Arab). Dan menurut riset The Economist Intelligence Unit’s 2016,  indeks demokrasi Qatar lebih tinggi daripada negara-negara pemboikotnya, bahkan dari Kuwait sekalipun.

Tidak sedikit yang menduga perseteruan Saudi Qatar hanyalah persoalan kecemburuan kemajuan ekonomi selain tudingan terorisme yang dilancarkan Saudi terhadap Qatar tapi sesungguhnya akar permasalahan mereka  adalah perbedaan ideologi yang sangat signifikan. Ini adalah core masalah yang paling ditakuti dan dikhawatiri oleh Arab Saudi dkk, yakni potensi hilangnya pengaruh dan kewibawaan Saudi sebagai penguasa monarki di jazirah Arab dan keluarga bangsawan di tanah Arab. Saudi merasa menjadi “god father” bagi negara-negara monarki yang lebih kecil. Sehingga terhadap isu demokrasi yang dihembuskan oleh Qatar, Saudi merasa takut terkikisnya pengaruh kerajaan terhadap jazirah Arab. Apalagi peran Qatar semakin dominan di kawasan itu. Qatar menjadi pusat keuangan global. Income per capita Qatar lebih tinggi daripada negara-negara Arab lainnya. Qatar kini digelari sebagai negara terkaya nomor 3 di dunia setelah Luxemburg dan Norwegia.

Sejak era 1950-an para politisi dan bangsawan Arab sudah sadar bahwa peran media sangat menentukan keberhasilan propaganda politik mereka. Sehingga Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser di masa itu giat melancarkan gagasan Pan Arabic-nya  melalui radio Saut al-Arab dan efektif mempecundangi pengaruh stasiun radio milik Saudi Arabia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 Aksi saling mempengaruhi berlanjut di era 1990-an ketika keluarga kerajaan Arab Saudi secara besar-besaran membeli media surat kabar dan menyebarkannya ke seluruh wilayah. Lalu  membangun stasiun satelit MBC untuk menjangkau audiens yang lebih luas, yang berpotensi menjadi penguasa utama media di jazirah Arab.

Ambisi pemusatan propaganda melalui media ini dirasakan sebagai pembodohan dan ancaman oleh beberapa pemimpin Arab. Seperti dilukiskan oleh penulis Arab, Shibley Telhami, “Mungkin karena fenomena pembodohan di Arab telah memecut Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, untuk membangun Al Jazeera di tahun 1996.” Dilanjutkan gelontoran dana milyaran ke dalam jaringan Al Jazeera.

Thani telah memimpin Qatar setahun sebelumnya ketika Al Jazeera didirikan dan berharap dapat menawarkan perspektif berbeda kepada bangsa Arab dan diprediksi akan  mencaplok segmen audiens media Saudi.

Untuk membangun audiens, Al Jazeera  menghadirkan konten yang menarik pemirsa, menampilkan program yang kebanyakan pemirsa Arab inginkan, dari mengkritisi banyak pendapat hingga informasi mengenai isu-isu terbaru yang mereka peduli tentang orang Arab dan dunia muslim. Seperti  perkembangan konflik Israel dengan orang-orang Palestina.

Stasiun itu juga memberi kejutan kepada bangsa Arab ketika pertamakali mengirim reporter ke Knesset (DPR) Israel dan menayangkan perdebatan secara langsung (live). Selama perang 2008 di Gaza, Al Jazeera menerjunkan lebih banyak reporter ke lapangan daripada saluran tv lain, dan mereka satu-satunya stasiun televisi dengan liputan langsung. Al Jazeera mempresentasikan berbagai pandangan, termasuk menghadirkan pandangan Israel sejak tahun 1990-an, menayangkan rekaman Bin Laden, pandangan Iran, dan meliput pidato dan konferensi pers pejabat Amerika - seperti menhan AS, Donald Rumsfeld, komandan militer Amerika, juru bicara  Gedung Putih dan pejabat deplu AS - selama perang Irak. "  (Washington Post, 23 Juni 2017)

Hal-hal bernilai jual ini di 2001 melambungkan  Al Jazeera menjadi saluran televisi berita paling banyak ditonton di dunia Arab. Kemudian di 2006, lebih dari 75 persen responden Arab menyebut Al Jazeera sebagai televisi berita favorit mereka.

Dengan berbagai kesuksesan itu, bagaimanapun telah menciptakan target kritik baik berasal dari jazirah Arab maupun luar Arab.  

Pasca peristiwa WTC 911, Amerika menuding Al Jazeera telah membangkitkan kemarahan dan kekhawatiran terkait kebijakan luar negeri AS. Sementara Cina mengisolasi siaran Al Jazeera English.

Menurut  Hugh Miles, penulis buku “The Al Jazeera Effect,” Al Jazeera Arabic (dimanajemi berbeda dengan Al Jazeera English) memiliki reputasi mendukung kaum Islamis (teroris menurut Arab Saudi dkk). Mereka populer di kalangan Islamis, namun dianggap sebagai penghasut dan pengancam bagi beberapa negara Arab karena Al Jazeera menawarkan perspektif berbeda.

“Al Jazeera hanya menebar sensasi, bagian dari kaum islamis, dan Pan Arab yang mencerminkan masalah kebijakan Doha melebihi apa yang mereka ketahui,” ujar Simon Henderson, direktur Washington Institute’s Gulf and Energy Policy Program. Simon menulis, empat tahun pasca saluran televisi itu diluncurkan, banyak pemerintahan di Arab menginginkan mereka lenyap.

Keruhnya diplomatik terkini  membuat para reporter khawatir atas tuntutan penutupan saluran televisi tersebut. Para reporter di Mesir dan Syria khawatir mereka bakal dikembalikan ke negara masing-masing.

Namun sebagian besar para reporter  masih berasumsi positif bahwa mereka akan tetap bertugas dan  melanjutkan jurnalisme istimewa selama ini walau pada tataran diplomatik tingkat tinggi terjadi ketegangan serius.

Apakah Qatar akan benar-benar tunduk pasca 13 permintaan aliansi Saudi yang diluncurkan 23 Juni lalu? Di antaranya meminta Al Jazeera ditutup? Kemudian meminta Qatar menghentikan pemberian hak kewarganegaraan kepada penduduk berasal dari negara-negara pemboikot? Yang terakhir ini bagi Qatar tak masalah, namun di sisi lain menjadi dilema karena faktor kemanusiaan. Karena permintaan untuk menjadi warga negara Qatar adalah atas keinginan penduduk dari sekutu Saudi itu sendiri yang merasa tertindas atau tak nyaman lagi hidup di negara-negara itu.

Bagi Qatar teramat sulit menutup Al Jazeera karena visi awal media itu adalah penjunjung demokrasi, pluralisme,  anti authorianism  dan anti dictatorism di jazirah Arab. Karena itulah, Qatar bereaksi cukup mengejutkan para pemboikot pasca Saudi menyurati (melalui Kuwait) dengan 13 permintaan tersebut. Yakni satu hari kemudian Qatar meminta Turki memasok eskalasi tank  ke Doha. Duta Besar Qatar untuk PBB, Sheikha Alya Ahmed bin Saif al-Thani, menegaskan tuduhan bahwa negaranya mendukung terorisme  adalah “menyabotase hubungan kami dengan dunia, dengan barat, menodai reputasi kami dengan cara menggunakan kartu terorisme. Tapi tujuan utamanya adalah lebih mengkritik media kami, al-Jazeera, dan keterbukaan (demokrasi) kami." (The Guardian, 23 Juni 2017).

Pembangkangan Qatar dengan mendatangkan tank-tank Turki itu dijawab separuh geram melalui twitter oleh menlu Bahrain (salah satu negara pemboikot), Sheikh Khalid bin Ahmed al-Khalifa, "Ketidaksepakatan kita dengan Qatar adalah perselisihan politik dan keamanan dan bukan terkait militer. Namun, penempatan tentara asing dengan kendaraan lapis baja mereka adalah eskalasi militer dimana Qatar akan menanggung konsekuensinya." (The Telegraph, 23 Juni 2017).

Dengan demikian kawasan ini makin panas dan makin sulit ditebak. Hanya dua kemungkinan mengemuka: Qatar meminta maaf dan menuruti Saudi atau tetap bergeming sembari memperkuat pertahanan negara dengan bantuan dari negara-negara  bersimpati seperti Turki dan Iran. Trennya, Qatar akan tetap mempertahankan visi demokrasinya, sementara Saudi cs merasa terancam dengan visi itu dan amat tak menyukai (fobia), bercampur cemas dan benci. Cemas jika rakyat di negara-negara pemboikot  bakal tersadarkan oleh ide-ide demokrasi Qatar hingga dikhawatiri bakal melakukan pemberontakan dan mengganti konstitusi monarki absolut dengan demokrasi versi Qatar. Itu seperti nightmare (mimpi buruk) bagi raja-raja di Arab. Itulah makanya Saudi menitikberatkan poin tuntutan anti demokrasi ini kepada Qatar yakni meminta penghapusan Al Jazeerah dan penghentian pemberian status kewarganegaraan kepada warga negara pemboikot. Jika Qatar menolak, maka ada kemungkinan Qatar mengalami isolasi penuh, seperti total embargo ekonomi, politik, pendidikan, lalu lintas udara, termasuk opsi perang?

Jika opsi perang diambil oleh Saudi dkk, maka  ini akan menjadi puncak kehancuran bangsa-bangsa Arab. Karena tidak mudah bagi Saudi dkk menghadapi Turki dan Iran yang sudah jelas-jelas di belakang punggung Qatar.***

Penulis: 

Noprizal Erhan
Direktur Institut Paradigma Indonesia

 

Ikuti tulisan menarik Noprizal Erhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB