Saat Marah, Engkau Sedang Meracuni Diri
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSetiap kali engkau marah, engkau serahkan kedamaian hati dan pikiranmu.
“Setiap kali engkau marah, engkau sedang meracuni dirimu sendiri,” begitu kata Alfred Montapert. Saya sedang berusaha meresapi kutipan dari penulis The Supreme Philosophy of Man: The Laws of Life itu. Sejak berabad-abad yang silam, peringatan serupa sudah disampaikan dalam kitab suci. Montapert menyampaikan dalam nada dan redaksi yang berbeda, namun mengusung esensi yang sama.
Kemarahan yang meledak-ledak, kata para psikolog, berpotensi membuat diri kita hancur karena kemarahan menguras banyak energi, baik pikiran, emosional, maupun fisik dan spiritual. Namun para psikolog juga mengingatkan bahwa amarah yang ditekan sepenuhnya juga berpotensi menggerogoti mental hingga keropos. Memilih jalan antara dua ekstrimitas itu adalah bagian dari pengendalian amarah, yang merupakan seni tersendiri.
Mengendalikan amarah merupakan cara mengelola pelepasan energi tersebut. Marah yang terkendali berarti pelepasan energi yang juga terkendali. Betapa seringn amarah menguras keempat ragam energi itu dan kemudian membuat diri kita lunglai. Sehabis marah, kita merasa capek. Biaya terbesar yang harus dikeluarkan saat amarah meledak ialah kedamaian hati dan pikiran. “Untuk setiap menit kemarahanmu,” kata sastrawan Ralph Waldo Emerson, “engkau menyerahkan 60 detik kedamaian pikiranmu.” Jadi, berguru kepada Emerson, jangan biarkan kemarahan menguasai kita atau kita akan kehilangan seluruh kedamaian hati dan pikiran kita
Kalaupun akhirnya amarah meletup, nasihat para psikolog, yang terpenting ialah menyadari bahwa kita sedang marah. Dengan begitu, kita lebih mampu mengendalikan amarah (saya tidak tahu pasti apakah mereka juga benar-benar mampu melakukan hal itu ketika amarah mereka datang). Seorang kawan yang pernah marah besar dan membanting laptop-nya mengaku menyesal setelah kemarahannya reda dan ia melihat kepingan laptop berserakan di lantai.
Belajar sabar, kata seorang kawan, memang tidak mudah. Setiap saat ada saja hal-hal kecil yang mampu memompa tekanan darah kita: kegagalan, penolakan, kekecewaan, dan banyak lagi. Emosi mudah meletup ketika kita letih fisik dan terkuras pikiran. Misalnya saja, engkau sudah bekerja keras dan hasil kerjamu ditolak mentah-mentah oleh atasanmu. Namun jika kita marah, Buddha mengingatkan, “Engkau tidak akan dihukum untuk kemarahanmu, melainkan engkau dihukum oleh kemarahanmu.”
Ada baiknya belajar dari penulis Stephen King, terutama di masa-masa awal kariernya. King terus mengetuk pintu demi pintu rumah penerbitan dan tidak marah oleh penolakan para editor. Puluhan kali ia menerima surat semacam ini: “Kami tidak berminat pada fiksi-sains tentang utopia negatif. Tidak menjual.” Editor lain menjawab tawaran novel pertamanya, Carrie, dengan kalimat ringas: “Novelmu tidak akan laku.”
King tidak patah arang. Kemarahannya ia salurkan ke dalam tulisan, semakin produktif dan semakin bernas. Hingga akhirnya Carrie diterima oleh sebuah penerbit, King sudah menghubungi sekitar 30 penerbit. Novel ini diterbitkan pertama kali pada 1974 dengan cetakan sebanyak 30 ribu eksemplar. Ketika versi paperback-nya diterbitkan setahun kemudian, novel ini terjual lebih dari 1 juta eksemplar dalam 12 bulan. Itulah buah kesabaran Stephen King.
Banyak godaan di saat belajar mengendalikan amarah, karena kita memang tidak bisa benar-benar mengambil jeda dari aktivitas sehari-hari. Kita juga tidak bisa sepenuhnya menarik diri dari lingkungan—sesuatu yang kita butuhkan di tengah kehidupan yang serba cepat dan padat. Setidaknya sekali dalam setahun, selama beberapa minggu, kita perlu sesekali berdiri di luar arus dan mengamati apa yang tengah terjadi: “Apakah kita memerlukan amarah untuk menyatakan kehendak?”
Hari-hari ini, kita menyaksikan betapa kemarahan telah menyulut kerusakan. **
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler