x

Seorang siswa duduk di sebuah kelas di Pondok Pesantren Al Hidayah di Sei Mencirim, Sumatera Utara, 22 Juli 2017. Pondok pesantren ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dari para pelaku aksi terorisme. Ap Photo

Iklan

Solihin Agyl

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tata Nilai

Ironis. Kita mempercayakan anak pada lembaga pendidikan agar terdidik & memiliki karakter yg baik. Tapi, kita (orang tua / guru) jarang memberi contoh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

TATA NILAI. Kadang saya tak habis pikir, sebagai orang tua kita sering mengirim anak-anak ke sekolah yang terbaik dan / atau lembaga pendidikan agama yang terkemuka dan terpercaya. Namun, sebagai orang terdekat, kita jarang sekali secara sadar mengajarkan dan memberi contoh VALUE (Tata Nilai)—perilaku yang baik pada anak-anak kita; kejujuran, tanggung jawab, kesabaran, dsb. Bahkan sialnya, dalam kehidupan sehari-hari sering terlihat orang tua / guru, tanpa perasaan bersalah, mengajak (bahkan memerintah) anak-anaknya untuk melakukan suatu yang tak terpuji. Tak percaya? Simak saja beberapa contoh berikut:

Dalam sebuah kesempatan bertamu, saya mendapati si tuan rumah—seorang bapak dan pengusaha sukses—dengan bangganya bercerita pada para tamunya termasuk juga anak sulungnya yang sehari-hari menjalankan bisnis bersamanya, bahwa untuk memperlancar proyek-proyek bisnisnya dia sering menyogok aparat dan memanipulasi data. Dia berharap agar anak sulungnya itu bisa meniru gayanya berbisnis.

Di kesempatan yang lain, di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini; saat sang guru membagi sesuatu untuk para siswa dan mereka harus antri, orang tua mereka—kebanyakan ibu-ibu yang menunggui anaknya belajar—malah menyuruh anaknya menyerobot antrian saat mereka harus berbaris rapi agar mendapat giliran lebih awal. Ternyata, tak banyak ibu-ibu yang sadar bahwa ada beberapa pelajaran tata nilai dari kegiatan mengantri, di antaranya: kesabaran, kejujuran, menghormati hak orang lain, dsb.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masih seputar problematika di lembaga pendidikan; seorang dosen penguji skripsi tanpa merasa bersalah  meminta soft file skripsi mahasiswa yang diujinya setelah sidang digelar. Bukan hanya itu, sang dosen penguji juga meminjam buku-buku referensi dari skripsi itu sekaligus aplikasi pengolahan data yang diterapkan dalam karya ilmiah mahasiswa itu. Nampaknya, sang dosen penguji memanfaatkan ke-tak-berdayaan mahasiswa yang diujinya. Ini adalah bentuk lain dari “smuggling” alias pemalakan.

Di tempat lain pada kesempatan yang berbeda; seorang pria berkeluh kesah dan merasa amat sedih karena mendapati putranya bersifat / bersikap seperti perempuan. Sang anak yang sudah tumbuh remaja itu bahkan tak pernah menunjukkan rasa suka pada lawan jenis. Karena bimbang dan tak merasa menemukan jalan keluar yang tepat, sang ayah bahkan beberapa kali mengajak sang anak ke tempat prostitusi—kegiatan yang biasa ia lakukan saat muda. Ia yakin, dengan bantuan para PSK, ke-“lelaki”-an putra semata wayangnya itu akan muncul dan bahkan terlatih.         

Dan, yang ironis; biasanya, di musim ujian nasional, tak sedikit lembaga pendidikan yang “memperbolehkan” siswanya melakukan ketidak-jujuran dalam mengerjakan soal-soal ujian. Masih ingat kasus “contek massal” yang diprotes oleh ibu Siami dan Alif, putranya, beberapa tahun lalu? Dalam kasus itu, karena pihak sekolah (para guru dan kepala sekolah) tahu persis prestasi Alif, mereka menyuruhnya untuk memberi contekan pada semua teman-temannya agar mereka semua bisa lulus dalam ujian nasional.

Fakta lain yang tak kalah ironisnya; saat mengunjungi sebuah toko, seorang tokoh agama menyuruh anak didiknya diam-diam mencuri sebuah majalah yang dijual di toko tersebut hanya karena sang pemilik toko berasal dari etnis yang dibencinya. Menurut sang tokoh, tindakan itu diperbolehkan karena sang pemilik toko tidak seagama dengannya.   

Yang terakhir, tentu masih segar dalam ingatan banyak orang;   seorang figur publik berseteru dengan anaknya sendiri yang tak pernah diakuinya sebagai darah dagingnya sendiri. Dalam kasus itu pria pembicara kondang itu, secara tak bermartabat, mengajarkan pada sang anak—yang sejak usia belia ditinggalkannya—bagaimana caranya tidak bertanggung jawab sebagai seorang pria, sebagai seorang suami dan sebagai seorang ayah. Sayang sekali, kebohongan pria berwibawa itu akhirnya harus terkuak melalui tes DNA.   

Yang patut direnungkan dari semua kisah di atas; kalau tidak dari kita (orang tua, guru), dari siapa lagi anak-anak itu belajar nilai-nilai luhur untuk kebaikan mereka dalam menjalani kehidupan?. Pada akhirnya, hanya keteladanan yang baik-lah satu-satunya “harta kekayaan” yang bisa diwariskan oleh semua orang tua pada anak-anaknya. Dan, memang begitulah gunanya menjadi orang tua.

Bagaimana menurut Anda? 

 

(Solihin Agyl)

Ikuti tulisan menarik Solihin Agyl lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan