x

Ilustrasi sepatu mule atau selop. Tabloidbintang

Iklan

Akal Sehat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengejawantahkan Budaya Entrepreneurship di Kampus

Asal kita berani, optimis serta dapat dipercaya, tentu tidak sulit

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah sukses pengusaha Indonesia minimal dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, menjadi pengusaha karena "terpaksa" atau "dipaksa" oleh keadaan. Pengusaha jenis ini muncul berawal dari persoalan ekonomi, berasal dari  keluarga miskin, tetapi mereka memiliki motivasi tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka dipaksa oleh keadaan dan situasi untuk dapat melahirkan ide-ide kreatif yang mempunyai nilai tambah ekonomis. Banyak pengusaha besar dan konglomerat yang berjaya di Indonesia masuk dalam kategori ini. Orang-orang dalam kategori ini pekerja keras dan mengalami pasang surut dalam berbisnis dan memulai bisnis dari bawah. Kedua, mereka yang datang dari kalangan keluarga pengusaha.  Mereka yang muncul dari kategori  ini umumnya sudah dipersiapkan dan ditempa oleh keluarganya untuk meneruskan usaha yang telah dirintis oleh keluarga sebelumnya. Jaringan bisnis relatif sudah terbentuk dan telah melalui dinamika perkembangan usaha yang dialami usaha keluarga ini. Pengusaha sekelas JK, ARB, Putra Sampoerna berasal dari kalangan ini. kegigihan tokoh-tokoh diatas dalam merintis dan mengembangkan bisnis telah banyak dituangkan dalam cerita kisah sukses baik berupa buku maupun tulisan di jejaring sosial. Banyak dari mereka yang saat merintis usaha tidak memiliki modal uang sama sekali kecuali keuletan dan kepercayaan.

Dalam berwirausaha tidak selamanya modal uang merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan. Berbagai kiat dapat dipelajari dan ditiru dari para pengusaha sukses. Tidak memiliki produk atau barang sendiri bukan berarti kita tidak bisa berwirausaha, karena bisa menjualkan barang orang laim.  Bagi kita yang dipercaya membawa barang orang lain perlu mempunyai keberanian dan optimis dapat menjual barang yang dipinjamkan.  Konsep seperti ini disebut oleh seorang pengusaha sukses sebagai BOBOL (Berani, Optimis Barang Orang Lain) yaitu berbisnis dengan menggunakan produk (barang) orang lain.

Barang yang sudah berada ditangan, tidak harus kita yang menjualnya sendiri. Kita bisa melibatkan orang lain khususnya mereka yang mempunyai jaringan penjualan luas. Berbagai outlet penjualan produk konsumtif  biasa menerima barang-barang dari luar outlet dengan sistem bagi hasil, titip jual atau konsinyasi. Bahkan bukan tidak mungkin jikalau barangnya memang benar-benar dicari konsumen, maka toko atau outlet akan membeli barang yang ditawarkan itu secara tunai. Apabila produk yang kita jual itu berkualitas baik dengan harga kompetitif, banyak orang yang akan membelinya. Kian banyak barang kita dijualkan oleh orang lain maka semakin besar total penjualannya. Metode seperti ini disebut BOTOL (Berani Optimis Tenaga Orang Lain). Kita tidak harus menjual barang dagangan sendiri tetapi bisa memanfaatkan tenaga atau outlet orang lain.

Lantas, bagaimana kalau tidak memiliki uang tetapi kita mempunyai ide produk, jaringan penjualan dan atau pasar yang tersedia? Asal kita berani, optimis serta dapat dipercaya, tentu tidak sulit menggandeng pemilik modal yang bersedia menggelontorkan dananya kepada kita. Inilah yang disebut dengan berbisnis dengan modal dari orang lain atau BODOL (Berani Optimis Dana Orang Lain). Modal diperoleh dari pinjaman itu secara cermat kita pergunakan untuk berwirausaha. Konsep bisnis pendiri  entrepreneurship university tersebut diatas diperlukan dalam upaya pengembangan jiwa kewirausahan mahasiswa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejumlah Universitas telah memasukkan materi kewirausahaan sebagai matakuliah yang wajib diikuti mahasiswa. Namun demikian tidak semua Universitas siap dengan gagasan mulia ini karena kesulitan menemukan pengampu (dosen) matakuliah kewirausahaan yang cocok dengan karakter matakuliah. Untuk meningkatkan gairah berwirausaha pada diri mahasiswa maka pihak kampus seharusnya tidak menyamakan materi kuliah kewirausahaan (KWU) dengan pendekatan seperti matakuliah lainnya. Dosen (tim pengajar) nya pun haruslah mereka yang pernah mengalami aktivitas di dunia usaha dan industri bahkan lebih baik lagi memiliki bisnis sendiri. Pengajar KWU adalah mereka yang mampu membangkitkan motivasi mahasiswa untuk membuka usaha, Pengajar tersebut bertindak sebagai mentor di lapangan (menjalankan bisnis), sementara proposal bisnis (business plan) tidak sebatas tulisan diatas kertas, sebagaimana yang kita temukan di sejumlah matakuliah KWU. Secara periodik kampus dapat mengajak dunia industri masuk kampus dan mahasiswa masuk ke dunia industri.

Entrepreneurship (kewirausahaan) vs komersialisasi.

Jika karakter kewirausahaan menanamsuburkan pola-pola pikir kreatif, menciptakan produk/gagasan dan menjadikannya memiliki nilai tambah ekonomis, maka komersialisasi merupakan kegiatan "menghalalkan segala cara" melanggar rambu etika dengan memanfaatkan wewenang dan peluang yang dimiliki. Contoh langsung dari komersialisasi di dunia pendidikan misalnya menjadikan obyek terdidik (siswa/mahasiswa) sebagai sumber penghasilan dengan memperoleh pemasukan misalnya dari uang gedung, biaya buku baru yang ditentukan, uang SPP yang mahal, iuran orang tua murid/mahasiswa (IOM) hingga pengenaan biaya parkir bagi mahasiswa di lingkungan kampus yang seharusnya merupakan fasilitas kampus bagi civitas akademika termasuk mahasiswa. Semua itu adalah bentuk komersialisasi dan bukan cara entrepreneurship sejati. Menjadikan anak didik (dan orangtua) sebagai sumber pemasukan adalah cara berpikir komersialisasi dari pemangku kepentingan(pengelola) lembaga pendidikan. Semestinya pengelola bisa mengajak dunia usaha industri terlibat dalam batas tertentu untuk berperan serta mendukung aktivitas sekolah/perguruan tinggi yang bersifat simbiosis mutualistis atau saling memiliki manfaat bagi kedua belah pihak. Pengalaman penulis di dunia usaha dan industri yang memperkuat keyakinan bahwa pola kerjasama dengan dunia usaha dan industry suatu hal yang niscaya, dapat diwujudnyatakan (Aries Musnandar, Mananamsuburkan Paradigma Wirausaha, Republika 11 Januari 2012). Menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan dan membentuk karakter cakap secara entrepeneurial itu membutuhkan medium pembelajaran yang efektif seperti kegiatan simulasi bisnis yang dilakukan mahasiswa di luar atau di lingkungan kampus.

Melalui pendidikan kewirausahaan yang terarah dan sistemik dengan komitmen sepenuh hati dari segenap civitas akademika di perguruan tinggi diharapkan nantinya lulusan S1 mampu menciptakan lapangan kerja bagi para pencari kerja atau minimal bagi dirinya sendiri (self employed). Peluang untuk membuka lapangan kerja masih terbuka lebar bagi para mahasiswa yang mempunyai minat dan jiwa entrepreneurship tinggi. Dukungan segenap civitas akademika diperlukan agar menjadikan mahasiswa siap berwirausaha.

Oleh: Aries Musnandar

Peneliti/Staf Pengajar Pascasarjana UNIRA Malang, Pengajar Kewirausahaan FEB UB. 2004-2014, Mantan Manajer Training dan HRD di sejumlah perusahaan

 

Ikuti tulisan menarik Akal Sehat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB