x

Panitia mempersiapkan potongan daging dari hewan kurban di Desa Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, 1 September 2017. Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi Aceh mencatat jumlah hewan kurban di 23 kabupaten/kota sejumlah 18.901 ekor sapi, 3.603

Iklan

Akal Sehat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Idul Adha dan Kualitas Manusia

Pengalaman Nabi Ibrahim harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung pembelajaran paling tidak pada tiga hal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jutaan kaum muslimin dari berbagai belahan dunia berada di Tanah Suci menunaikan prosesi ibadah haji sebagai rukun Islam kelima dengan puncaknya melakukan wukuf di padang Arafah. Disebut puncak ritual ibadah Haji karena Hadist Nabi mengungkapkan pentingnya calon Haji berada di Padang Arafah untuk Wukuf bersma-sama. Tidak sah haji seseorang jika tidak melakukan ritual penting ini dalam serentetan ritual ibadah haji yang mesti dilakukan calon haji. Oleh karena itu mesti dalam kondisi sakit diupayakan untuk berada di Padang Arafah yang sangat luas itu.

Mereka berkumpul di Padang Arafah , mereka berasal dari status sosial berbeda, kaya miskin, kulit hitam ataupun putih, rakyat atau pejabat bersama sama melakukan aktivitas ritual ibadah haji dan kedudukan mereka di mata Allah tidak berbeda kecuali mereka yang bertakwa sebagaimana termaktub dalam Al Quran (al-Hujurat (49): 13). Inilah sesungguhnya contoh kehidupan demokrasi yang hakiki dimana pada dasarnya manusia itu sama kedudukannya dimata Allah. Hanya perbuatan kebajikan dengan tidak melakukan perbuatan yang mengingkari perintah dan melanggar larangan Allah yang membedakan kemuliaan satu manusia dari manusia lainnya. Ini berarti Islam mengajarkan untuk senantiasa berbuat kebaikan dan bermanfaat bagi sesame. Hal ini pula yang merupakan salah satu esensi dasar ajaran Islam yang apabila umat Islam mampu memahami dan melaksanakan secara baik maka mereka menjadi umat terbaik seperti termaktub dalam Al Quran surat Ali Imran / 3: 110.

Jika kita tengok sejarah Islam akan kita temui betapa ajaran Agama ini telah mampu menanamkan nilai dan sistem peradaban yang tinggi. Agama Islam pernah berjaya dalam membentuk peradaban maanusia pada era Rasulullah SAW. Kepemimpinan Rasulullah yang sukses dalam membangun peradaban Islam hanya dalam 23 tahun masa kenabiannya. Para pemimpin umat dan tokoh Islam perlu bekerja keras dalam upaya "membumikan kembali pesan-pesan langit" yang telah lama tidak berperan membentuk pearadaban dunia. Era kejayaan Islam tenggelam cukup lama. Kehidupan keagamaan Islam seolah mengikuti dinamika sekuler yang memisahkan kehidupan dunia dan ajaran agama. Agama Islam sesungguhnya hadir justru untuk menjembatani kehidupan dunia dan akherat dan agar dapat diraih keduanya secara "hasanah". Dewasa ini Islam yang rahmatan lil alamin  (bermanfaat bagi semua) masih sebatas jargon, belum terejawantahkan dalam bentuk peradaban manusia yang "kaafah" atau semupurna, sebagaimana pernah terwujud pada era keemasan dulu Islam dibawah panji-panji syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Tidak terejawantah nya nilai-nilai Islam yang rahmatan  lil alamin itu tentunya disebabkan kualitas manusia yang banyak berpaling dari tuntunan agama (Islam), mereka banyak melakukan segala sesuatunya di dunia ini berdasar kehendaknya sendiri sehingga cara dan gaya hidup mereka dipedomani dari “hasil karya” manusia yang sangat nisbi dan relative itu, bukan dari nilai-nilai  agama yang dan suci karena berasal dari wahyu  Allah (ayat-ayat kauniyah). 

Hari raya haji ini disebut juga dengan idul adha atau idul Qurban (kurban). Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu terdapat penyembelihan hewan kurban. Pada hari itu kita menyembelih hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi panggilan Tuhan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anjuran berkurban ini bermula dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim agar melakukan penyembelihan kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail. Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak? Nabi Ibrahim telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri, Ismail. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Kisah ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.

Titah sang Pencipta kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya disaat Ibrahim tengah asyik masyuk dengan keberadaan anak kesayangannya sungguh mengandung pembelajaran penting bagi peningkatan kualitas pribadi Muslim. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung pembelajaran paling tidak pada tiga hal.

Pertama, ketakwaan. Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan seorang hamba pada Sang Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya. Koridor agama (Islam) mengemas kehidupan secara harmoni seperti halnya kehidupan dunia-akherat. Bahwa meraih kehidupan baik (hasanah) di akherat kelak perlu melalui kehidupan di dunia yang merupakan ladang untuk memperbanyak kebajikan dan memohon ridho Nya agar tercapai kehidupan dunia dan akherat yang hasanah. Sehingga kehidupan di dunia tidak terpisah dari upaya meraih kehidupan hasanah di akherat nanti. .Tingkat ketakwaan seseorang dengan demikian dapat diukur dari kepeduliannya terhadap sesamanya. Contoh seorang wakil rakyat yang memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri bahkan orang seperti ini akan merasa malu jika kehiudpannya lebih mewah dari pada rakyat yang diwakilinya. Kesiap-sediaan Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya atas perintah Allah menandakan tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus dalam kehidupan hedonis sesaat yang sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih bukan Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat menghargai nyawa dan kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi peradaban manusia.

Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah-ibadah umat Islam yang diperintahkan Tuhan senantiasa mengandung dua aspek tak terpisahkan yakni kaitannya dengan hubungan kepada Allah (hablumminnalah) dan hubungan dengan sesama manusia atau hablumminannas. Ajaran Islam sangat memerhatikan solidaritas sosial dan mengejawantahkan sikap kepekaan sosialnya melalui media ritual tersebut. Saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup seorang dhua'afa yang memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari saja sulit. Lalu dengan menyembelih hewan kurban dan membaginya kepada kaum tak berpunya itu merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial seorng Muslim kepada sesama yang tidak mampu. Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong dalam kebaikan merupakan ciri khas ajaran Islam. Hikmah yang dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim diingatkan untuk siap sedia berkurban demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang beruntung, waspada atas godaan dunia agar tidak terjerembab perilaku tidak terpuji seperti keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada sang Pencipta.

Ketiga, peningkatan kualitas diri. Hikmah ketiga dari ritual keagaamaan ini adalah memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian dan pengelolaan diri yang merupakan cikal bakal akhlak terpuji seorang Muslim. Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti membantu sesama manusia dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkan orang lain (altruism) dan senantiasa sigap menjalankan perintah agama dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Al Quran menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memiliki akhlak yang agung (QS Al-Qalam: 4). Dalam Islam kedudukan akhlak merupakan "buah" dari pohon Islam berakarkan akidah dan berdaun syari’ah. Dengan akhlak melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia yang terpuji. Sebaliknya, akhlak tercela dipastikan berasal dari orang yang bermasalah dalam keimanan dan  merupakan manisfestasi dari sifat-sifat syetan dan iblis  Akhirnya, apabila ketiga hikmah penting diatas dapat diwujudnyatakan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia, maka bukan mustahil negeri ini akan memiliki peradaban manusia yang mulya dan tentu dapat dijadikan model bagi umat lainnya.

Oleh: Aries Musnandar

Pemerhati SDM / Staf Pengajar Pascasarjana UNIRA (Universitas Raden Rahmat) Malang

Penasehat CIES FEB UB Malang

 

Ikuti tulisan menarik Akal Sehat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB