x

24_karier_ilustrasikerja

Iklan

Akal Sehat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjajaki Kerjasama Dunia Industri dan Pendidikan

Paradigma pengajar asal Universitas mesti diubah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa dekade lalu, jika membaca buku pedoman pendidikan (perguruan) tinggi (Universitas), maka kita ketahui titik tekan pembelajaran di perguruan tinggi (PT) adalah kegiatan penelitian & pengembangan ilmu. Memang, kurikulum S1, S2, S3 tidak diarahkan pada capaian kompetensi (competency achievement) untuk dunia usaha dan industri. Jadi, wajar bila lulusan tidak dibekali “ilmu-ilmu praktis” yang kerap diperlukan untuk bekerja di dunia usaha industri (DUIT).

Kenyataan saat ini menunjukkan sebagian besar lulusan PT berkeinginan bekerja khsusunya di perusahaan swasta atau di badan-badan  usaha milik Daerah/Negara. Mereka yang menggeluti dunia pendidikan (sebagai tenaga edukatif) dan penelit tidak banyak karena memang lowongan tersedia sedikit dan peminatnya pun terbatas, karena memang sifat pekerjaannya yang khas dan relatif  kurang menarik perhatian lulusan PT untuk menekuni pekerjaan jenis ini. 

Melihat fenomena faktual diatas, sekarang ini para pemangku kepentingan pendidikan berupaya mendekatkan PT dengan dunia kerja (DUIT) melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan pihak PT. Sejumlah PT lalu mencantumkan keterkaitan kompetensi berbagai program studinya dengan kondisi DUIT.  Walau terkesan terlambat dan sepihak (karena hanya kalangan pendidikan yang berinisiatif) memasukkan kompetensi di dunia kerja dalam buku pedoman PT bisa menandakan bahwa pemangku kepentingan di PT mulai sadar atas fakta yang muncul.  Dalam penyusunan kompetensi DUIT pihak PT seharusnya melibatkan pihak DUIT - yang lebih mengerti kondisi kerja – dalam penyusunan pedoman perkuliahaan PT. Di sisi lain berdasar fakta di lapangan kita ketahui  bahwa DUIT juga memerlukan lulusan PT yang direkrut untuk bekerja di perusahaan.

Kebutuhan DUIT menggunakan lulusan PT (teruatama S1 dan S2) sebenarnya dapat diposisikan untuk tingkatan penyelia (supervisory level) hingga ke tingkatan manajemen (managerial level). Keahlian lulusan dari sisi hard skills (kepiawaian teknis) apalagi sisi soft skills (kecakapan non teknis) yang diperlukan dalam menghadapi dinamika kerja amat minim dan rendah. Seandainya,  mahasiswa sejak awal kuliah dibekali keahlian memadai khususnya soft skill, maka kecakapan lulusan seperti dalam berinteraksi/berkomunikasi dengan orang lain, cara mengambil keputusan yang cepat, kreatif dan tepat, akan sangat bermanfaat bagi pengembangan DUIT kita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

LINK & MATCH

Kesulitan membawa pihak industri dan bisnis terlibat dengan sepenuh hati ke dunia pendidikan dapat dimaklumi karena belum adanya cetak biru kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak serta belum adanya aturan atau undang-undang yang dapat mengikat kedua pihak sehingga konsep link & match yang digagas lebih dari dua dekade lalu tidak dapat dilaksanakan teratur dan sistemik. Jangankan untuk PT, sekolah vokasi (Kejuruan) dan Politeknik yang para lulusannya memang disiapkan untuk bekerja masih belum efektif bekerjasama dengan DUIT.

Di sisi lain lulusan membludak tapi kompetensi yang diperlukan untuk bekerja belum memadai ditambah keterbatasan lapangan kerja membuat para lulusan sekolah kejuruan, Politeknik dan PT bersaing mengincar posisi nyaris sama dari level staf hingga level penyelia di perusahaan. Situasi ini disebabkan belum terstandarisasinya kompetensi lulusan pendidikan bagi dunia kerja.

Lebih jauh lagi bahwa pengelolaan pendidikan pada sekolah-sekolah vokasi termasuk Politeknik tampaknya masih meniru pola (proses) pendidikan di sekolah umum atau PT pada umumnya. Para pengajar masih banyak yang direkrut dan berasal dari sekolah/perguruan tinggi umum yang kurikulumnya kurang pas (sebenarnya tidak cocok) untuk sekolah-sekolah vokasi dan Politeknik. Sistem rekrutmen hampir tidak jauh beda dengan yang diterapkan PT. Syarat S1 atau S2 menjadi bagian penting untuk melamar menjadi staf pengajar di pendidikan Kejuruan dan Politeknik.

Ironisnya, fakta menunjukkan bahwa para pengajar di Politeknik banyak yang melanjutkan studi ke jenjang S2 dan S3. Padahal mereka tidak perlu gelar akademik karena visi dan misi politeknik tidak sama dengan Universitas. Politeknik berkaitan dengan dunia praktis (profesi). Mahasiswa seharusnya di didik untuk menjadi karyawan professional bukan akademisi. Persoalan bermula karena sejumlah Politeknik Negeri di Tanah Air dibidani dan ditangani pendiriannya oleh pihak Universitas Negeri setempat, alhasil pengelolaannya mirip perguruan tinggi umum. Hal ini tentu berbeda bila kita bandingkan dengan Politeknik yang didirikan dan dikelola perusahaan swasta.  

Paradigma pengajar asal Universitas mesti dirubah. Sebagai pengajar Politeknik jangan berharap disekolahkan hingga jenjang doktor karena Politeknik bukan Universitas. Paradigma seperti ini sudah harus ditanamsuburkan sejak awal bergabung. Alangkah baiknya para pengajar Politeknik mengambil spesialisasi sesuai dengan keahlian yang diajarkan di sekolah vokasi/politeknik. Oleh karenanya meningkatkan kompetensi pengajar lembaga pendidikan ini tidak dengan cara meraih gelar magister (master) dan doktor yang berkadar teoritis tinggi tetapi seharusnya mengikuti berbagai program keahlian penunjang sistem pendidikan kejuruan yang juga banyak tersedia di negara-negara maju yang PT biasa mengirimkan para dosen melanjutkan studi. Di samping itu, pengajar Politeknik perlu juga mengikuti program link & match (magang kerja) di perusahaan (industri) secara periodik sesuai keahlian guna terus memperbarui kecakapan spesialisasinya, sesuai perkembangan DUIT yang demikian dinamis. Pendidikan kejuruan/Politeknik mesti mengantisipsai hal ini dan tidak boleh terlepas dari perkembangan cepat DUIT.

Pelaksanaan proses belajar mengajar (perkuliahan) berbasis pada aktivitas di dunia usaha industri khususnya bagi mahasiswa yang ketika lulus nanti ingin bekerja di dunia usaha industri, mutlak dibutuhkan. Tidak hanya mahasiswa di Politeknik tetapi berbagai fakultas dan jurusan di PT juga layak mengikatkan diri dengan program link & match terutama mahasiswa yang menaruh minat pada DUIT.  Selama ini memang telah terjalin kerjasama PT dengan DUIT tetapi belum optimal dan masih perlu ditingkatkan lebih produktif. Kerjasama antara dunia pendidikan dan DUIT bukan hanya sekadar pemberian beasiswa bagi siswa/mahasiswa tetapi bisa lebih dari itu, misal kemudahan melakukan job training di perusahaan. Tidak hanya bagi siswa/mahasiswa tetapi juga staf pengajar (guru/dosen), lalu melibatkan manajer (praktisi profesional) perusahaan mengajar (narasumber) di kelas, pelaksanaan proyek bisnis/industri antara PT/ pendidikan kejuruan dan perusahaan serta sejumlah kerjasama saling menguntungkan lainnya. Kondisi ini hanya dapat terwujud jika pihak perusahaan diwajibkan terlibat pembinaan SDM pendidikan . Kewajiban link & match hanya dimungkinkan melalui separangkat aturan atau undang-undang.

Oleh karena itu, untuk menjembatani kesenjangan yang ada dan mengatasi problematika link & match antara dunia pendidikan dan DUIT diperlukan Undang-Undang yang mengatur kerja sama kedua dunia berbeda itu. Tanpa adanya peraturan mengikat tentu sulit menghasilkan lulusan pendidikan (PT/Politeknik/Sekolah Kejuruan) kompeten yang akan bekerja secara professional.

Berdasar pengalaman penulis bekerja di bidang rekrutmen karyawan,  pihak DUIT sangat peduli dengan kualitas SDM pendidikan kita, karena para lulusan pendidikan di Indonesia merupakan “bahan baku” pertama dan utama bagi kelangsungan hidup operasional perusahaan. Artinya, pemangku kepentingan di kedua dunia yang tampak berbeda itu sebenarnya memiliki komitmen dan kepedulian sama bagi peningkatan mutu para lulusan pendidikan. Sekarang yang diperlukan bersama adalah “political will” dari para penyelenggara Negara ini (Pemerintah dan DPR) apatah tetap membiarkanfenomena problematika pendidikan SDM berlangsung sebagaimana yang telah diuraikan diatas atau segera mencari solusi jitu, diantaranya dengan menerbitkan UU link & match. Tentunya diperlukan kordinasi lintas sektor/Kementerian agar lahir UU tersebut termasuk yang tidak kalah pentingnya adalah dalam hal pelaksanaan dan pengawasan  program ini. Sebab selama ini kita cukup berpengalaman dalam soal kelemahan melaksanakan fungsi pengawasan. Jika ingin progam link & match sukses sesuai harapan, maka penerapan UU harus disertai sistem pengawasan terukur.

Oleh: Aries Musnandar

Peneliti dan Tim Dosen Pascasarjana UNIRA Malang, Dewan Pakar IKA UNJ, Mantan Praktisi/Manajer HRD di Multi-national Corporation

 

 

Ikuti tulisan menarik Akal Sehat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB