x

Tiga tersangka dihadirkan dalam gelar perkara penebar ujaran kebencian, di Mabes Polri, Jakarta, 23 Agustus 2017. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim berhasil mengungkap sindikat kelompok Saracen. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

surya ferdan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gusar

Berkembangnya bisnis ujaran kebencian dan hoax menjauhkan komunikasi manusiawi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengikuti percakapan di media sosial, membaca berita media massa, dan terlibat dalam percakapan warung kopi kini membuat saya mudah gusar. Demikian kacaukah komunikasi antar manusia di negeri ini berjalan?

Beberapa hari lalu, media massa ramai memberitakan tertangkapnya kelompok Saracen yang dituding sebagai kelompok produsen dan distributor informasi kelas hoax konten kebencian SARA. Cara kerja kelompok ini dideskripsikan begitu terorganisasi rapi. Berbekal lebih dari 2000 akun media, kelompok ini mampu menyebarkan dan membuat viral sebuah informasi hoax bernada kebencian SARA. Kelompok ini mungkin memandang apa yang dilakukannya sebagai bisnis yang cukup menggiurkan. Apakah juga demikian akun-akun lain yang “terjebak” ikut menyebarkannya?

Di media sosial seperti twitter, facebook, whatsapp marak informasi yang saya miliki setidaknya sudah puluhan kasus dimana penyebar fitnah, kebencian, dan penghinaan khususnya kepada pemerintah diberitakan ditangkap aparat Kepolisian RI. Istilah yang digunakan hampir sama tercyduk. Seorang pemuda yang menghina Kepolisian RI digeruduk ke rumahnya dan ditangkap. Seorang pemudi yang isi posting media Facebooknya penuh dengan hinaan kepada kepala negara dan pejabat negara juga ditangkap karena ulahnya. Sudah sedemikian suramkah komunikasi kita dalam hidup bersama, berbangsa?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Mengkomunikasikan Kritik

McLuhan (1911-1980) yang pernah diangkat Google sebagai salah satu doodle-nya pernah mengatakan we cannot not communicate, sebagai gambaran bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari komunikasi. Mulai dari komunikasi yang positif hingga negatif dalam terma tertentu. Termasuk mengkomunikasi kritik terhadap segala hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan preferensi pribadinya. Menyampaikan ketidaksepahaman terhadap suatu hal adalah lumrah dalam komunikasi sebagaimana berupaya mencapai mutual understanding.

Dalam masyarakat yang beragam dan suasana kebangsaan yang demokratis, menyampaikan kritik dan ketidaksepahaman juga merupakan hal biasa. Saya bisa dengan sangat keras menyampaikan ketidaksepahaman saya terhadap pemikiran anda tentang perlu tidaknya imunisasi misalnya, begitupula anda terhadap saya.

Tapi saya akan berupaya sekuat tenaga untuk tidak menyerang personalitas anda. Apalagi menghina anda secara fisik dan sejenisnya. Karena saya juga akan merasa tidak nyaman dan bahkan sangat membenci dan akan melawan keras jika keutuhan personalitas saya yang diserang. Apalagi dalam hubungan antara individu dan masyarakat, lembaga dan pemerintah.

Sering kita dengar pejabat negara yang berkata, “silahkan sampaikan kritik, kami senang di kritik.” Namun kalimat tersebut tidak selesai hanya sampai disana. “Sampaikan kritik dengan data, santun, dan sesuai dengan mekanisme yang ada.” Bukan hanya pejabat negara, banyak individu juga mengatakan hal yang hampir serupa.

Bagi sebagian orang, mungkin dirasa konyol kalau menyampaikan kritik “harus” dengan data dan disampaikan dengan santun. Tapi tidak sedikit juga yang berpendirian bahwa kritik memang harus berdasarkan fakta dan data. Soal kesantunan, cukuplah diri sendiri menjadi cerminnya dengan bertanya “sudah patutkah saya?”

Dengan makin terbukanya akses terhadap sumber data dan informasi serta bahan bacaan, bukan hal sulit saat ini untuk mengumpulkan data dan fakta sebagai bahan kritik. Google yang sudah sejak lama mendedikasikan dirinya dalam teknologi mesin pencari, saat ini mungkin sudah triliunan data yang disimpannya. Perpustakaan pun bukan barang mewah yang sulit dijangkau. Maka hanya kemalasan dan niat yang tidak tulus ketika kritik disampaikan tidak berdasarkan fakta dan data.

Silahkan menyimpulkan data dan fakta berdasarkan cara berpikir anda dan sampaikan kritik berdasarkan simpulan pikiran tersebut. Kecuali memang berniat hanya sekedar untuk mencari sensasi, merasakan adrenalin naik, dan memperoleh likes ala warganet, kritik tidak perlu dengan fakta dan data. Namun bersiaplah dengan segala resiko yang akan muncul setelahnya apabila kritik tidak didukung data dan fakta.

Kegusaran saya adalah saat melihat individu yang menyampaikan pesan negatif dan memaknainya sebagai kritik. Padahal tidak satupun fakta, apalagi data yang menjadi dasar ujarannya. Lebih gusar lagi ketika banyak orang yang mendukung orang tersebut. Fitnah dan ujaran kebencian, dianggap sama dengan kritik dan ramai-ramai didukung. Mengerikan.

Sebagai reaksi, pihak yang merasa di fitnah (dikritik tanpa fakta dan data) juga bereaksi begitu kaku seperti berhadapan dengan mesin. Seolah komunikasi hanyalah proses perubahan dari gelombang listrik menjadi huruf-huruf dilayar gawai yang berjalan secara mekanis. Komunikasi sebagai perilaku manusiawi kehilangan kemanusiaanya. Pemidanaan dianggap sebagai pilihan jalan yang paling mudah dan mungkin dilakukan.

Deretan ujaran dan konten negatif yang dilaporkan ke aparat hukum, beserta sejumlah orang yang ditangkap karena ujarannya menunjukan dengan gamblang suramnya komunikasi kritik yang terjadi. Disatu sisi kritik tidak beralas fakta, pada sisi lain reaksi yang disampaikan juga sangat tidak komunikatif. Peristiwa-peristiwa demikian ini harus segera disudahi. Kita tidak akan membangun komunikasi yang makin demokratis dengan cara-cara demikian.

 

Etika (ber)Komunikasi

“Jangan menghina-hina orang, kalau kamu juga bakal marah kalau dihina,” begitu kira-kira pesan orang tua. Pesan tersebut mengingatkan perlunya, “mengukur dengan diri sendiri.” Kalau tidak suka difitnah, jangan memfitnah. Kalau marah saat dihina orang, jangan menghina orang. Bersiaplah menerima cipratan air saat mendepuk air di dulang.

Pesan-pesan tradisional yang sarat makna tersebut nampak perlu dihidupkan kembali sebagai pengingat bagi diri. Ukuran-ukuran moralitas akan menjadi penjaga dari kesuraman komunikasi antar manusia. Pertimbangan-pertimbangan etis harus dihidupkan agar kebebasan yang sudah diperjuangkan begitu keras ini tidak menjadi bumerang yang akan mencelakai diri sendiri.

Disiplin etik dalam menyampaikan kritik adalah keharusan yang semestinya dimiliki dan menjadi standar individual masing-masing. Dengan kedisiplinan inilah kita akan terhindar dari terperosok kedalam kelompok “nyinyir” yang bereaksi sebegitu cepat untuk mengkritik namun ketika ada reaksi balik dengan sangat mudah dipatahkan.

Dengan disiplin etik setidaknya kita akan lebih seksama memeriksa informasi, mencari data, mengumpulkan informasi dan data pembanding, hingga menarik kesimpulan dan menyampaikannya ke publik. Hal ini penting di dalam situasi dimana sumber informasi saat ini sudah begitu luas dan melipat batas-batas tradisional. Jangan menelan informasi apalagi bereaksi atas informasi yang tidak jelas sumbernya.

Menjamurnya bisnis informasi seperti yang dilakukan kelompok Saracen sedikit banyak merupakan pemanfaatan pihak tertentu atas kelemahan disiplin etik yang tidak dijaga baik. Bagaimana mungkin kita bisa ikut menyebarkan berita palsu apalagi yang bernada kebencian hanya bersandar pada informasi-informasi yang diragukan validitasnya. Kemudian hanya termangu dengan besarnya keuntungan ekonomis yang dihasilkan kelompok pembuat dan penyebar informasi yang demikian. Dengan hanya bermodal perasaan kohesif bahwa sumber informasi berasal dari kelompok yang menjadi referensi diri sendiri, kita bisa menjadi agen penyebar gratis untuk mereka mengambil keuntungan. 

Komunikasi harus dikembalikan kepada hakikat kemanusiaan. Dia harus kembali menjadi cara untuk mengembangkan diri secara positif. Banyak cara untuk melakukan hal tersebut. Dengan kelembutan berkomunikasi akan banyak pengetahuan yang akan kita miliki untuk mengembangkan diri. Lembut tidak berarti lemah seperti juga tegas tidaklah harus kasar. Pemuka agama mengatakan “sampaikanlah kebenaran dengan kelembutan.”

Ikuti tulisan menarik surya ferdan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB