x

Iklan

Fahmy Radhi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

PLN Berpotensi Gagal Bayar Utang

Masalah utama penyebab potensi gagal bayar utang PLN kebangkrutan adalah lebih pada kegagalan manajemen dalam mengelola PLN, terutama mencapai dalam efisi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Surat resmi Menteri Keuangan Sri Mulyani, kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno yang sempat beredar di berbagai media, secara ekplisit mengemukakan bahwa PLN berpotensi gagal bayar utang. Idikatornya kemampuan membayar hutang jangka pendek  (Liquiditas) dan jangka panjang (solvabilitas) semakin memburuk. Bahkan atas permintaan PLN,  Menteri Keuangan sudah mengajukan penundaan  dan keringan (debt waiver)  pembayaran utang PLN untuk menghindari gagal bayar  (cross default) utang PLN

Lebih lanjut, surat Sri Mulyani secara tersirat juga mengatakan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan PLN gagal bayar adalah ketiadaan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TLL) dan mahalnya harga energi dasar pembangkit listrik, utamanya harga batu bara, serta kewajiban menjalan penugasan Program 35.000 MW. Diakui memang ketiga faktor itu turut berkontribusi terhadap potensi gagal bayar, namun sesungguhnya ada faktor lain yang berkontribusi secara

Memang TTL ditetapkan pemerintah bersama DPR selalu lebih rendah daripada Harga Pokok Penyediaan (HPP) Listrik. Namun gap antara TTL dan HPP sudah ditanggung pemerintah dalam bentuk subsidi yang dialokasikan dari APBN pada setiap tahun anggaran. Demikian juga dengan mahalnya harga energi dasar. Memang proporsi biaya energi dasar mencapai 45%, tetapi ada 55% biaya lain: belanja pegawai dan manajemen, biaya distribusi dan biaya transmisi yang seharusnya bisa lebih diefisienkan oleh PLN. Namun tidak pernah dilakukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sri Mulyani juga mendukung PLN untuk mengajukan kepada Menteri ESDM agar menurunkan harga batu bara dalam skema Domestic Market Obligation (DMO), yang harganya lebih rendah dari pada harga pasar. Untungnya Menteri ESDM tidak serta-merta mengabulkan permitaan DMO PLN tersebut. Jonan meminta kepada PLN melakukan efisiensi di luar biaya energi dasar sebagai syarat penetapan harga Batu Bara dalam skema DMO. Di satu sisi, penurunan harga batu bara dalam skema DMO memang bisa menurunkan HPP Listrik. Namun, di sisia lain dapat menyebabkan PLN tidak berupaya untuk melakukan efisiensi di luar biaya energi dasar.

Selain itu, penurunan harga batu bara dengan skema DMO juga akan menjadi preseden buruk bagi PLN untuk tetap memepertahankan penggunaan batu bara sebagai energi primer pada sebagain besar pembangkit listrik. Padahal, penggunaan batu bara sebagai energi dasar, selain harganya paling mahal dan berfluktuasi, juga berpotensi mencemari lingkungan lantara batu bara bukan ternasuk kategori energi bersih. PLN juga merasa bahawa tidak ada urgensi yang mendesak  untuk menggunakan bauran energi primer, termasuk penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), selama batubara masih tersedia dengan harga ditetapkan  lebih murah dari harga pasar. 

Dalam suratnya Sri Mulyani juga mengemukakan perlunya dilakukan penyesuaian target penyelesaian Proyek 35.000 MW dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PLN dalam memenuhi pendanaan investasi dari cashflow operasi, tingginya outlook debt maturity profile. Tidak seharusnya bagi Sri Muklyani sebagai anggota Kabine Kerja Joko Widodo untuk  menjadikan Proyek 35.000 MW, salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo, sebagai kambing hitam potensi gagal bayar utang PLN. Alasannya, PLN diwajibkan membangun pembangkit listrik hanya sebesar 30,5%, sedangkan 69,5% dari 35.000 MW diserahkan kepada swasta dalam skema Independent Power Producer (IPP).

Dengan demikian, masalah utama penyebab potensi gagal bayar utang PLN kebangkrutan adalah lebih pada kegagalan manajemen  dalam mengelola PLN, terutama mencapai dalam efisiensi di segala bidang. Data menujukkan bahwa pengeluaran biaya non energi dasar cenderung boros. Disampaing itu, potensi gagal bayar utang PLN juga disebabkan oleh ekspansi PLN yang tidak fokus pada core business PLN dalam penyediaan dan distribusi listrik. Melalui anak-dan-cucu perusahaan, PLN melakukan ekspansi bisnis yang merambah ke berbagai bidang bisnis di luar core and competence PLN. Selain tidak fokus, ekspansi bisnis yang dibiayai dengan utang itu semakin membengkakan utang PLN, sehingga PLN gagal membayar utang.

Solusinya, ganti seluruh jajaran direksi dan komisaris PLN. Direksi dan komisaris yang baru harus melakukan efisiensi besar-besaran, restrukturisasi keuangan, terurama strukturisasi utang, serta restrukturisasi bisnis. PLN harus memutuskan untuk melepas anak-dan-cucu perusahaan yang tidak sesuai dengan core business dan kompetensi PLN. Tanpa keseriusan dalam melakukan upaya-upaya tersebut, kegagalan bayar utang dapat menjadi pemicu kebangkrutan PLN. (Dr. Fahmy Radhi, MBA, Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata-Kelola Migas)

Ikuti tulisan menarik Fahmy Radhi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB