x

Iklan

Tri Winarno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengurangi Risiko Keuangan Global

Perkembangan global tersebut sangat berpengaruh pada perekonomian Indonesia, khususnya pasar modal, pasar obligasi, dan aliran dana asing.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tri Winarno

Peneliti Senior Bank Indonesia

Selama 2017, indeks kerentanan pasar modal Amerika Serikat (Chicago Board Options Exchange Volatility Index/VIX) telah menunjukkan angka terendah selama dekade terakhir. Bahkan, baru-baru ini, indeks VIX berada di bawah sembilan, lebih rendah dari Maret 2007, tepat sebelum krisis subprime mortgage yang hampir meluluhlantakkan sistem keuangan global. Tampaknya investor mengidap gejala yang sama, yaitu sekali lagi gagal mengkalkulasi betapa besar risiko yang dihadapi sistem keuangan global akhir-akhir ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara informal disebut sebagai "indeks ketakutan investor", VIX mengukur sensitivitas pasar keuangan terhadap ketidakpastian. Pengukurannya dikaitkan dengan probabilitas fluktuasi terbesar dari nilai pasar saham yang tercatat pada indeks harga saham di transaksi option. Indeks VIX yang rendah menandakan sistem keuangan global memasuki awal periode meningkatnya risiko, yaitu ketika investor menukarkan US Treasury Bills (surat utang pemerintah AS) dan sekuritas kategori aman lainnya dengan aset yang lebih berisiko, seperti saham, obligasi perusahaan, dan properti.

Di sinilah posisi kita berada sekarang: kondisi ketika berbagai risiko aktual sedang menghadang arah ekonomi global. Dalam hitungan bulan, risiko tersebut mungkin belum akan terjadi. Namun, dalam hitungan tahun, risiko akan semakin sulit dikalkulasi.

Risiko utama yang akan terjadi adalah meletusnya gelembung pasar modal, yakni jatuhnya harga saham. Indeks harga saham utama dunia telah mencatat angka tertinggi pada September ini, baik di Amerika maupun di negara maju lainnya. Harga saham relatif lebih tinggi daripada pendapatan dan dividen perusahaan. Rasio harga terhadap pendapatan telah melampaui 30, yang dulu hanya terjadi dua kali, yaitu pada puncak mendekati resesi besar tahun 1929 dan 2000-keduanya diikuti oleh kejatuhan harga (crashes) di pasar modal Amerika dan negara maju lainnya.

Kita juga sedang menghadapi risiko jatuhnya harga pasar obligasi. Mantan Ketua Federal Reserve AS, Alan Greenspan, baru-baru ini menyatakan bahwa pasar obligasi bahkan lebih overvalued daripada pasar saham. Namun tingkat bunga tidak bisa lebih rendah dari posisi sekarang. Kalau ternyata inflasi mengalami peningkatan di AS dan negara maju lainnya sehingga menyentuh target inflasinya, bisa dipastikan tingkat bunga akan mengalami peningkatan sehingga pasar saham dan pasar obligasi akan mengalami crash.

Risiko geopolitik juga sangat tinggi. Bahkan kepercayaan publik bahwa AS masih mempunyai pengaruh yang meyakinkan dalam menstabilkan geopolitik global semakin rendah. Risiko terberat tidak hanya terkait dengan program nuklir Korea Utara, tapi juga adanya risiko substansial yang terjadi di Timur Tengah dan Eropa Timur. Risiko tersebut diperparah oleh kepresidenan Donald Trump, yang telah membuat sejumlah blunder kebijakan politik luar negerinya.

Ada pula potensi krisis politik yang lebih besar di dalam negeri AS, yakni adanya pertikaian yang tajam antara Kongres dan Trump yang berakibat pada tidak terwujudnya program-program utama Trump. Bahkan AS menghadapi krisis konstitusional jika penyelidikan khusus yang dipimpin Robert Mueller mendapat bukti adanya kontak ilegal antara tim kampanye Trump dan pemerintah Rusia.

Terakhir kali indeks VIX serendah sekarang adalah pada 2006 dan awal 2007, sehingga berbagai pengamat mencatat beberapa potensi krisis yang akan terjadi. Yang paling terlihat adalah harga perumahan di Inggris dan AS yang mencatat harga tertinggi melebihi nilai acuan, seperti melebihi harga sewa, sehingga meningkatkan risiko anjloknya harga. Namun pasar merespons seolah-olah risiko itu masih rendah sehingga mendorong indeks VIX dan tingkat bunga US Treasury Bills semakin rendah. Ketika akhirnya pasar perumahan benar-benar jatuh, semua pelaku pasar benar-benar kaget.

Perkembangan global tersebut sangat berpengaruh pada perekonomian Indonesia, khususnya pasar modal, pasar obligasi, dan aliran dana asing. Selama perkembangan pasar keuangan global meningkat, pasar keuangan domestik juga akan membaik. Begitu pula sebaliknya. Karena itu, tidak mengherankan jika harga saham di JSX menyentuh angka tertinggi dalam sejarah Republik, begitu pula harga obligasi dan aliran dana asing yang masuk ke neraca pembayaran Indonesia.

Namun kewaspadaan harus ditingkatkan. Sebab, begitu pasar global mengalami crash, pasar keuangan domestik juga akan mengalami hal yang sama, bahkan akan lebih parah. Hal ini menuntut penguatan bantalan (buffer) untuk memitigasi risiko eksternal. Bantalan tersebut berbentuk cadangan devisa sebagai pertahanan lapis pertama dan kerja sama bilateral atau multilateral currency swap agreement (perjanjian antar-negara untuk bertransaksi tanpa menggunakan dolar) dengan otoritas moneter negara lain sebagai pertahanan lapis kedua. Di samping itu, kita sudah punya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk memperkuat daya tahan perekonomian nasional.

Ikuti tulisan menarik Tri Winarno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB