x

Iklan

Andi irawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Separatisme Catalunya

Langkah pengajuan referendum kemerdekaan Catalunya juga pernah dilakukan pada November 2014,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Andi Irawan

Pengajar Ekonomi Universitas Bengkulu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Catalunya, wilayah otonom di Spanyol, menggelar referendum kemerdekaan yang diikuti 2,2 juta orang atau 42 persen pemilih Catalan- sebutan bagi rakyat Catalunya. Hasilnya, sekitar 90 persen memilih setuju Catalunya memisahkan diri dari Kerajaan Spanyol.

Pemerintah Spanyol menyatakan referendum itu ilegal dan tidak bisa diterima. Bahkan, Raja Spanyol Felipe VI, yang biasanya enggan ikut campur masalah politik negaranya secara terbuka, menuding pemimpin Catalunya sebagai hama yang menggerogoti prinsip demokrasi dan memecah-belah masyarakat.

Sebetulnya, usaha-usaha untuk merdeka ini bukan terjadi kali ini saja. Langkah pengajuan referendum kemerdekaan ini juga pernah dilakukan pada November 2014, yang saat itu juga mendapat penolakan pemerintah sebagai tindakan yang ilegal (Esculies, 2017).

Dalam kajian tentang gerakan separatisme, umumnya faktor penyebab pemisahan diri terjadi karena masalah-masalah yang berkaitan dengan penilaian dari suku bangsa atau kelompok yang mendiami daerah tertentu bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil, diskriminatif, dimarginalkan, atau tindakan-tindakan sewenang-wenang lainnya dari pemerintah pusat. Latar belakang separatisme seperti inilah yang umum terjadi, seperti gerakan separatisme Kurdi, Timor Leste pada era Orde Baru, atau di Papua.

Namun pendorong terjadinya separatisme Catalunya bukan karena hal-hal di atas. Catalunya adalah wilayah terkaya di negeri itu. Ibu kotanya, Barcelona, telah menjadi tujuan utama wisatawan dunia. Pelabuhan Barcelona sanggup menampung transit lebih dari 41,487 ribu ton barang dan menjadi pelabuhan tersibuk di Eropa dan keempat terbesar di dunia.

Pendapatan daerah yang memiliki bahasa asli Catalan itu sekitar 203.615 juta euro atau sekitar Rp 3.225,10 triliun. Sementara itu, penghasilan per kapita penduduknya mencapai 27.698 euro atau Rp 438,7 juta. Jumlah itu di atas batas Uni Eropa, yaitu 25 ribu euro.

Secara politik sejak 30 tahun silam Catalunya telah mendapat semacam otonomi khusus untuk mengelola dirinya sendiri. Layaknya sebuah negara, Catalunya dipimpin oleh seorang presiden, parlemen, dan perundangan sendiri.

Separatisme Catalunya sebenarnya lebih karena faktor politik identitas. Identitas dirinya sebagai bangsa besar. Catalunya memiliki sejarah lebih panjang dibanding Spanyol karena sudah ada sejak abad ke-6 hingga ke-9 sebelum Masehi di bawah pemerintahan Romawi.

Catalunya pernah menjadi sebuah kerajaan maritim yang kuat pada abad ke-12. Bangsa Catalan saat itu menguasai sebagian wilayah Mediterania, yaitu Sardinia, Italia selatan, Sisilia, hingga Athena. Kawasan itu lalu jatuh ke tangan Raja Philip V, yang menjadi tanda kelahiran Spanyol.

Identitas diri sebagai bangsa dan ras besar inilah yang tampaknya selalu dieksploitasi oleh para elite Catalunya terhadap publiknya. Dan penyatuan Catalunya menjadi bagian dari Spanyol dipandang sebagai bentuk pendudukan. Walaupun merupakan wilayah di bawah Spanyol, perbedaan sikap politik Catalunya dengan pusatnya (Spanyol) sudah terjadi sejak dulu. Misalnya, pada Perang Dunia I, Spanyol mengambil posisi netral, sedangkan warga Catalan termasuk yang menjadi pasukan pendukung Prancis (Esculies, 2017).

Politik identitas ini mencapai puncak populisme yang melahirkan kesepakatan publik untuk menuntut referendum ketika pemerintah Spanyol tidak mengakomodasi keterwakilan Catalunya dalam pemerintahan. Sistem pendidikan juga tidak menyertakan bahasa Catalunya. Puncaknya, pengajuan fiskal oleh pemerintah Catalunya ditolak Spanyol.

Lalu, pelajaran apa yang bisa kita tarik dari fenomena ini? Pertama, tidak selalu sumber-sumber separatisme lahir karena masalah kesejahteraan dan ketidakadilan. Faktor politik identitas bisa juga menjadi faktor penting lahirnya gerakan separatisme atau perilaku yang memecah-belah suatu bangsa dan negara.

Kedua, isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas, seperti suku, agama, ras, dan golongan, rawan untuk dimanfaatkan sebagai alat membangun populisme politik. Kapitalisasi populisme semacam ini rawan menjadi sarana akumulasi perpecahan dan bahkan separatisme.

Maka, internalisasi kesepakatan bangsa yang kita kenal dengan empat pilar bangsa- Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika perlu selalu terus dilakukan. Namun penegakan empat pilar ini jangan dilakukan dengan cara yang non-populis, seperti melalui doktrinasi, melainkan yang populis, yang meresap dalam benak rakyat serta dapat diterima sebagai sesuatu yang bermanfaat, baik, dan benar oleh masyarakat. Cara-cara populis itu adalah melalui keteladanan, komitmen, ketulusan, serta kesungguhan dalam mewujudkan empat pilar tersebut dalam kehidupan nyata berbangsa dan bernegara.

Ikuti tulisan menarik Andi irawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB