x

Iklan

Don Gusti Rao

Rileks sejak dalam pikiran | donirao14@gmail.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gus Musso dalam Labirinnya

Membahas latar kehidupan Musso yang dinamis, aktor penting Peristiwa Madiun

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto, dan Pak Musso!” tegas Sukarno pada kawan lamanya, Musso, yang baru mudik dari Uni Soviet medio Agustus 48 (Tim Buku Tempo : 2011) bersama Soeripno, sang Dubes muda yang potensial. Meski kemudian keduanya saling serang lewat corong Radio dan Musso tewas dalam dinamika Peristiwa Madiun, tak pelak, legitimasi itu, meski diucapkan oleh aktor politik – dalam situasi yang politis pula, menjadi values tersendiri.

Musso, sang martir Peristiwa Madiun, lahir di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kediri pada 12 Agustus 1897, sumber lain menyebutnya 1898. Sebagai elit PKI yang terstigmatisasi buruk dalam sejarah, adalah lumrah sosoknya yang kontroversial diselimuti banyak versi. Mulai lahir sampai tewasnya.

Dari kesimpangsiuran berbagai versi kehidupannya, ada yang menarik, yakni relasi Musso dengan Nahdlatul Ulama. Perseteruannya dengan kelompok Islam Kultural tersebut begitu deras dilihat di dunia maya – yang bersumber dari buku Berangkat dari Pesantren karya KH. Saifuddin Zuhri. Perdebatannya dengan Kyai Wahab Chasbullah tentang tuhan misalnya, karena – menurut sumber tersebut – Musso hanya berdebat mengandalkan otot yang enggan dilayani Kyai Wahab, lantas Kyai Hasan Gipo mengambil alih perdebatan itu, dan menantang Musso untuk meletakkan batang lehernya di rel kereta api, dan tentu saja, Musso ciut, yang menunjukkan ketidakpercayaannya kepada kehendak tuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Relasi selanjutnya adalah silsilah Musso dengan akar nahdliyin kultural yang kuat. Reportase Merdeka.com pada Februari 2013 membuktikan itu dengan mewawancarai pengasuh pondok pesantren Kapurejo Kediri KH. Hamdan Ibiq dan KH. Muqtafa.

“KH. Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH. Hasan Muhyi diberikan 12 putra, dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso,” ujar Kyai Mustafa seperti diwartakan Merdeka. Meski canggung, Kyai Tafa, sapaan akrabnya, menganggap itulah fakta sejarah.

Ayah Musso, versi Tim Buku Tempo dalam Musso ; Si Merah di Simpang Republik bernama Mas Martoredjo, pegawai kantoran pada Bank di Kecamatan Wates. Sedangkan Sutopo dalam Provokasi Madiun menyebutnya bernama Datar yang kesehariannya bekerja di sawah. Cukup rumit memang melihat latar belakang murid Tjokroaminoto ini.

Mun’im DZ, dalam Benturan NU-PKI 1948-1965 juga senada dengan laporan Merdeka, yang menyebut Musso berlatar keluarga Pesantren Kapu Kediri, demikian juga KH. Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur dan pendiri PBNU yang juga salah seorang anak menantu dari kyai di Pesantren Kapu Kediri. Tapi belum jelas, apakah dari silsilah ini, Musso punya pertalian saudara dengan Kyai Hasyim atau tidak.

***

Di negeri ini, misteri tokoh yang diselimuti cerita miring berbagai versi memang lumrah, itu merupakan prasyarat sulitnya sosok tersebut diselami kehidupannya secara sosial dan rasional. Apalagi bila goresan tinta hitam mewarnai sejarah sepak terjangnya, baik stigma ideologis ataupun politik, ditambah dengan doktrinasi sistem yang berkuasa – orde baru – maka tamatlah ia. Ini tentunya berbeda jauh dengan glorifikasi tokoh arus utama yang dikesankan sangat heroik, seperti kritik utama dalam kontroversi film Pengkhianatan G30S/PKI, yang meminjam Asvi warman Adam, terlalu menonjolkan peran Soeharto dan terkesan mengkambinghitamkan Sukarno.

Musso mendapat jatah yang nista dalam perjalanan hidupnya, terkenal sebagai biang kerok Peristiwa Madiun sebagai pemberontak, sosok bengis dan emosional, ateis dan amat reaksioner. Saya pikir, dalam melihat dari view manapun, itu konsekuensi dari politisi yang kalah, sebagai pemenang, rezim “berhak” bicara sesuai versinya, dan bahkan mendistorsinya. Meski tentu, saya yakin ia punya andil dalam upaya menangkal imperialisme di bumi nusantara, meminjam Bonnie Triyana, sejarah tak pernah melihat Musso sebagai aktivis politik yang menentang fasisme, imperialisme, dan kolonialisme.

Kesulitan mencari data yang objektif tadi, memang sedikit terobati pasca reformasi yang semakin terang menderang. Bahkan, yang sedang marak dibicarakan, data 1965 mulai terbuka meski baru di Amerika Serikat.

Latar belakang Musso makin lama “makin objektif”, meski belum sempurna, tentu menjadi angin segar bagi peneliti dan akademisi yang menggemari diskursus sejarah politik ideologis. Seperti saya misalnya, yang pernah mengambil penelitian skripsi bertema peran politik Musso medio 2011-2013, saat itu, informasi dan referensi latar belakang Musso sebagai bagian dari kalangan pesantren belum terpublikasi dengan cukup baik. “Lah jadi kalok di NU, Musso itu Gus itu, wong anak kyai, kok!” kelakar sejarawan cum tokoh NU Kyai Agus Sunyoto, dalam forum PKN II PB PMII yang saya ikuti.

Alhasil, anggap saja tulisan ini sebagai refleksi dari tewasnya Musso pada 31 Oktober 1948, atas perintah Sukarno via Radio untuk membasmi pengacau yang melakukan kup dan mendirikan Negara Sovyet di Madiun. Soe Hok Gie, dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan menyebutkan bahwa setelah tertembak, mayat Musso dibawa ke Ponorogo, dipertontonkan, dan kemudian dibakar. Gus, labirinmu cukup keras.

Ciracas, Oktober 2017

Pict : Istimewa

Ikuti tulisan menarik Don Gusti Rao lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB