x

Iklan

Zdavir Andi Muhammad

Penulis merupakan alumnus Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Hasanuddin angkatan tahun 2012 dan kini tengah mengampuh Studi S2 untuk jurusan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan di Sekolah Pasca Sarjana Unhas
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hadiah Natal untuk Eliah

Tulisan ini merupakan tulisan cerpen penulis di samping turut menulis ekonomi, filsafat, dan puisi. Tulisan kali ini menggambarkan kisah natal gadis kecil

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah sudah berapa lama ia berdoa. Tapi ia tetap duduk di bangku itu. Mengangkat kedua tangannya, digenggam depan dada seraya menundukkan kepala, menutup mata. Tak menghiraukan keberadaan anak kecilnya yang duduk di sampingnya, mengemis pulang daritadi.

"Mama, pulang," pinta Eliah. "Papa pasti sudah di rumah." Sarah membuka matanya, menyadari mungkin Eliah benar, atau mungkin menyerah mendengar anaknya mengoceh daritadi.

"Mama sudah selesai berdoanya. Kamu sudah berdoakan?" tanya Sarah menoleh. Yang ditanya hanya mengangguk manis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sarah berjalan menuju altar diiringi gadis kecil itu, sejenak mengamati, tangan kanannya tampak digerakkan dari dahi, ke dada, dan bahu kanan ke kiri, lalu menjauh diri dari patung yang terletak depan altar. Langkah kaki mendekat ke arahnya didengarnya tetapi tangan Eliah yang menarik-narik memaksanya segera bergegas pulang.

"Sarah, Sarah..." Suaranya terdengar familiar.

Tempat itu sangat ramai hari itu, tetapi Bapak Adamus masih dapat mengenali dua orang itu. Sarah berhenti dan berbalik, walau Eliah masih menarik-narik.

"Bapak Adamus? Ada apa?", "Selamat sore. Dimana Agus? Halo Eliah."

Eliah tidak menjawab walau hanya menatap. Badannya erat melekat dimantel hitam Sarah.

Sambil menoleh ke Eliah "Sore, Bapak. Entah, ia mungkin masih berada di kantor."

"Ia tidak ikut?" tanya Pastor.

"Tidak. Ia sibuk belakangan. Tapi mungkin besok kami akan datang" Jawabnya seperti menyembunyikan sesuatu. Mata dan mulutnya tidak terlihat senada. Bapak Adamus tahu pasti itu. Ia seorang yang kaya pengalaman. Mengetahui keadaan istri sahabatnya tidak dalam keadaan sehat, ia pamit diri.

"Mohon sampaikan salamku untuk Agus. Kalian pasti ingin segera pulang. Permisi. Eh, merry crhistmas, Sarah, Eliah. " kata Pastor berpaling, menghilang di tengah kerumunan yang berlomba untuk berdoa depan altar.

***

Lampu hias berseleweran turut memeriahkan kota, pohon natal raksasa dapat dijumpai di sudut dan taman kota, ditemani tawa-canda gerombolan anak-kecil yang berlari, ibu-ibu terlihat sibuk menenteng barang belanjaan, beberapa pasangan muda-mudi duduk di bangku yang disediakan dekat pohon besar. Suasana begitu ceria untuk kota itu. Tapi tidak bagi Sarah.

"Mamah, apa Papa sudah di rumah?" manja Eliah.

"Mungkin." katanya berjalan lalu berpaling pada Eliah. Rumahnya tinggal satu blok, tinggal satu belokan dan melewati beberapa rumah maka sampailah pada rumah mereka. Langkah Eliah terhenti di depan suatu bangunan. Kedua bola matanya bergerak sana-sini mengamati sesuatu dari balik jendela.

"Mama, kemarin saya dan Papa ke sini."

"Oh, apa yang kalian lakukan?" membongkokkan badannya dan mengincar sorot bola mata Eliah.

"Tidak ada. Saya hanya memperlihatkan sepatu itu" harap Eliah sambil menunjuk ke arah sepatu merah di balik kaca pameran toko.

"Kau akan terlihat cantik jika memakainya, Sayang."

“Ya.” Jawab Eliah, girang, berloncat-loncat senang. Diharapnya sepatu itu telah diboyong Santa dijadikan kado natal spesial untuknya.

Sarah hanya berpaling ke Eliah sambil tersenyum. Entah apa yang disembunyikan Sarah di balik senyumnya. Ada sesuatu yang Eliah tidak tahu, atau tidak dimengerti oleh anak seumurnya.

"Kring" bunyi pintu toko terbuka, seorang pemuda menyapa orang asing itu.

"Halo, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pemuda itu dalam cakap Inggris.

"Ah, tidak. Kami hanya melihat-lihat."

"Ibu yakin? Kami memberikan diskon besar hari ini."

Sarah hanya tersenyum mendengarnya, menggeleng. "Tidak. Tidak, terima kasih. Maaf, kami harus pergi." kata Sarah sambil menatap Eliah, memegang tangannya dan berlalu meninggalkan toko.

"Merry christmas" kata pemuda itu ramah, walau gagal mendapatkan pelanggan.

Dua sosok 'asing' itu kembali menyusuri jalan kota, rumah-rumah yang mereka lewati mulai menutup jendela dan menyalakan lampu. Terdengar canda tawa hangat dari setiap balik rumah yang mereka lewati, matahari masih samar mengintip disela gedung-gedung yang berlomba-lomba menggapai langit Manhattan.

"Kring.. " belum jauh ia melangkah dari toko handphonenya bernyanyi meminta segera diangkat.

"Halo. Papa?"

"Saya.." terdengar suara Agus samar-samar.

"Saya sama Eliah sekarang. Sudah dekat" katanya sambil menanam handphonenya di balik dinding tas.

***

Agus terlihat duduk di atas sofa. Kepalanya tertunduk ditopang kedua tangannya yang menahan di pelipis. Beberapa berkas berserak acak di hadapannya, sebuah gelas yang tinggal seperempat isinya, juga beberapa butir aspirin. Agus mengangkat kepalanya kearah pintu ketika pintu terbuka.

"Darimana?" tanya Agus sesegera mungkin setelah Eliah dan Sarah setelah muncul dari balik pintu.

"Papa", girang Eliah berlari ke Ayahnya, memeluk manja.

"Dari gereja. Maaf sedikit lama. Bagaimana hasilnya?"

"Buruk. Mereka hanya memberikan waktu untuk berkemas, lalu dijemput segera." jawab Agus lesu. Kantung matanya menunjukkan ia tidak tidur semalaman, tangannya membelai rambut Eliah yang berada di peluknya.

"Apa mereka tidak punya belas kasih di hari ini?" kata Sarah, menatap Eliah, menangis.

Agus tak menjawab, ia hanya memeluk Eliah.

"Are you okay? Why you crying?" tanya gadis manis itu ke Ayahnya, tak mengetahui badai yang sedang menerjang keluarganya.

"Tidak, Nak. Papa tidak menangis. Eliah, Papa ada urusan penting. Be a good girl, okay?"

"Ke mana?"

"Ke tempat yang jauh" katanya sambil menatap Eliah, kemudian berpaling ke Sarah dan Michael.

"Jadi Papa tidak akan natal bersama kami besok?"

"Mungkin tidak. Kalau saya tidak sibuk, kau boleh datang".

Eliah tertunduk "Kenapa hari ini? Kenapa mereka tidak menyuruh orang lain?"

Agus hanya terdiam, memegang tangan anaknya, pikirnya menjawab pertanyaan anak kecil hanya mengundang pertanyaan lain. Ia tahu Eliah belum siap menerima kenyataan ini.

"kring.." suasana buyar akibat handphone Agus berbunyi.

                                                                        ***

“Kau sudah membelikan kado natal buat mereka?"

Agus meneleng, menundukkan kepala. "Uangku habis. Pakai uangmu dulu."

"Kalau begitu anak-anak mau makan apa nanti?"

Keduanya hanya saling menatap, seakan-akan memberi sinyal bahwa takkan ada kado natal buat keluarga tahun ini. Tak lama berselang terdengar suara bising dari kejauhan mendekat, sebuah mobil minivan berhenti dan membunyikan klakson sekali-dua kali, diikuti dua orang berbaju rapi turun menuju pintu dan mengetuk.

"Sarah, tolong buka pintu. Michael, Eliah, Ayah akan pergi"

"Kapan Ayah akan kembali?" kata Eliah menangis sesampai di hadapan Ayahnya, menyadari ia takkan merayakan natal bersama Agus tahun ini.

"Jangan menangis, Sayang, Kau mungkin bisa datang sekali-kali melihatku." Jawabnya, seraya lalu menoleh ke Michael yang baru datang dari kamar bersama adiknya.

"Jaga adik dan Ibumu baik-baik. Jangan pernah membantah Mamamu" pesannya sambil memeluk Eliah tapi mata tetap menatap Michael, kini ia tak tahan menahan airmatanya sendiri.

 

"Eliah, Michael, maaf Papa tak sempat membelikanmu kado natal. Tapi setelah Papa pulang, saya akan membelikan kado buat kalian." Sarah dan Michael tahu kalau Agus hanya memberi hiburan bagi si gadis kecil, kata-katanya membuat keduanya semakin menitikkan airmata.

"Bukankah Santa akan membawakanku kado?" tanya Eliah polos.

Agus hanya tersenyum mendengarnya, mungkin karena menyadari takkan ada hadiah bagi gadis kecilnya.

"Ma, jaga mereka baik-baik. Maaf, saya harus pergi"

Agus mengangkat koper yang telah disiapkannya, kemudian berjalan menuju minivan. Agus berjalan, sesekali berbalik. Mencoba tabah atas cobaan yang Tuhan berikan. Minivan itu kemudian pergi membawa Agus, tetapi meninggalkan perih bagi Sarah, Eliah dan Michael.  

                                                                        ***

 

"Ting..." jam berbunyi menandakan pergantian hari. Eliah berlari menuju pohon natal kecil di pojok ruang tamu.

"Eliah? Kaukah itu?" tanya Sarah dengan mata setengah tertutup, terbangun karena suara kaki kecil Eliah yang berlari.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya heran melihat Eliah duduk manis di depan pohon natal.

"Menunggu kadoku dari Santa."

 

Ikuti tulisan menarik Zdavir Andi Muhammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB