x

Khairul Ghazali memberikan ceramah kepada murid-muridnya, setelah salat subuh di Pondok Pesantren Al Hidayah di Sei Mencirim, Sumatera Utara. AP/Binsar Bakkara

Iklan

Naufil Istikhari Kr

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kembali ke Pesantren: Mengaji Kedamaian via Seni dan Sastra

pesantren tradisional memiliki resep mujarab dalam melakukan internalisasi budaya damai

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari itu, di Solo. Antara 8-10 Juni 1935 terjadi perdebatan yang berlangsung sengit. Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane beradu argumen tentang postulat kebudayaan. Kubu pertama menginginkan kebudayaan Indonesia berkiblat ke Barat. Kubu kedua mengharapkan sebaliknya: harus bertolak dari tradisi ketimuran.

Peristiwa sejarah yang berlangsung akbar itu dicatat baik oleh Achdiat K. Mihardja dalam buku bertajuk Polemik Kebudayaan (1998). Meski persinggungan dua gagasan besar tersebut ibarat air dan minyak dalam satu botol, akhirnya kita dapat bernapas lega setelah Adinegoro tampil sebagai titik tengah. Menurut Adinegoro, kebudayaan Indonesia harus menjadi “kulit dalam” dari sistem pendidikan nasional, sementara kebudayaan Barat boleh dijadikan “kulit luar” dalam rangka menyongsong masa depan.

Adinegoro mencoba menarik ke tengah ide Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane yang berayun di ujung dua pendulum. Walhasil, Adinegoro sukses membuat kita bolak-balik dari Sutan Takdir Alisjahbana ke Sanusi Pane tanpa harus mempertengkarkan keduanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Polemik itu mengajarkan sekurang-kurangnya dua hal. Pertama, kebudayaan bukan hasil akhir peradaban manusia yang bersifat final. Kebudayaan berlangsung secara silih berganti dengan corak dan warna tersendiri. Kedua, karena kebudayaan adalah sebuah proses kerja tanpa henti, maka strategi dalam kebudayaan tidak dapat diseragamkan ke dalam satu disiplin saja. Strategi kebudayaan harus dilakukan dengan mendatangkan berbagai metode dan tatacara. Meski demikian, kebudayaan sebagai—dalam istilah Adinegoro—“kulit  dalam” tidak boleh dikacaukan dengan “kulit luar”. Pelbagai bentuk strategi yang diujicobakan harus mampu merangsek masuk ke sisi yang paling dalam, bukan sekadar permukaan. 

Salah satu segmentasi paling penting yang menjadi wilayah garapan strategi kebudayaan adalah pendidikan. Dalam buku Pendidikan di Indonesia: dari Jaman ke Jaman, terbitan Balai Pustaka 1986, sejak era kolonial, nilai-nilai kebudayaan selalu disusupkan ke dalam pendidikan, baik melalui sistem pengajaran maupun isi mata pelajaran. Sampai sekarang, pendidikan dan kebudayaan tidak pernah bisa dipisahkan—pendidikan hadir untuk mendistribusikan nilai-nilai budaya, begitu pun kebudayaan lesap untuk melipatgandakan kaum terdidik yang berkarakter dan berbudaya.

Hanya saja, tantangan kebudayaan di era virtual semakin berat dan kompleks. Era virtual memungkinkan terjadinya tamasya ke pelbagai belahan dunia yang mengakibatkan interaksi terus menerus dengan dunia luar. Dunia luar seringkali bersifat asing (stranger) bagi kebudayaan kita. Seperti isyarat McLuhan (1992), bahwa kampung global (global village) dapat menjadi arena pertarungan dominasi kebudayaan yang berlangsung selektif. Nilai budaya yang tidak laku di pasar global akan diciutkan dan dikembalikan ke tempat asalnya. Sementara corak budaya yang menjadi pemenang di pasar globar akan segera beredar luas, bahkan mendapat sambutan yang sangat antusias. Kasus tawuran antarpelajar menguatkan dugaan McLuhan bahwa budaya tertentu cepat menyebar dengan cara yang tak diduga-duga. Televisi menjadi salah satu media nirkabel yang menularkan virus kekerasan dari satu tempat ke tempat lain dengan begitu cepat. Tawuran di Amerika dapat dilihat kemudian ditiru oleh siswa di Jakarta; sementara tawuran di Jakarta mungkin akan segera berpindah ke luar Ibu Kota.

Di tengah kegalauan budaya yang menimpa sebagian besar anak muda Indonesia, kita pun bertanya-tanya: langkah apa yang mesti dilakukan untuk memproteksi dan mengimunisasi mereka dengan nilai-nilai budaya? Van Peursen (1976), menegaskan bahwa strategi kebudayaan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Tetapi strategi yang paling kuat bertahan lama adalah model indoktrinasi yang ditempuh lewat jalur pengetahuan dan kekuasaan. Aspek ini dapat kita tafsiri sebagai indoktrinasi nilai-nilai budaya melalui sistem pendidikan nasional. Meski begitu, pendidikan yang diselenggarakan selama ini tidak berarti jauh dari kebudayaan. Hanya saja mungkin masih mengambang di “kulit luar” dan tidak masuk-masuk ke “kulit dalam”. Maka, perlu strategi khusus untuk membumikan nilai budaya yang langsung mengarah ke “kulit dalam”.

Pada 2 November 1928, Ki Hadjar Dewantara menulis dalam Wasita. Tulisan yang berjudul “Faedahnya Sistim Pondok” itu menegaskan bahwa “sistim pondok dan asrama itulah sistim nasional” yang sangat mujarab menumbuhkembangkan kepribadian yang matang dan mental yang tangguh. Ia melanjutkan, “Sudah teranglah di sini anak akan terdidik dengan sempurna, tidak menurut buku-buku pedagogik, tetapi menurut pedagogik yang hidup, yaitu menurut cara hidup yang nyata dan baik. Anak-anak sehari-harinya terus merasa anak rakyat, terus insyaf akan kemanusiaan, karena senantiasa hidup dalam dunia kemanusiaan…”

Wujud konkret nubuat pendidikan Ki Hadjar Dewantara sampai hari ini tetap lestari, meski terbatas pada pondok pesantren. Sistem asrama dalam pondok pesantren sangat efektif menggembleng watak dan karakter sehingga terbentuk—yang dalam istilah Cliffort Geertz—varian komunitas santri. Komunitas santri ini mempunyai subkultur tersendiri yang berbeda dari mereka yang bukan santri. Kiai sebagai rule of model di dalam sistem pendidikan pesantren menyebabkan santri tidak bisa bertingkah laku sembarangan. Mereka dikerangkeng oleh etika dan estetika sekaligus. Inilah rahasia mendasar mengapa tidak pernah ada tawuran antarsantri, sekalipun banyak pesantren mengadopsi sistem pendidikan nasional. Sesuatu yang kontras terjadi di lembaga pendidikan umum (nonpesantren) di mana siswa-siswinya terlibat skandal seks, tawuran antarpelajar, mabuk-mabukan, pesta bikini atau yang paling ringan corat-coret baju dan konvoi motor usai pelulusan.

Tentu bukan perkara gampang mengubah sekolah, terutama di kota-kota besar, menjadi sekolah berbasis pesantren yang setiap siswa-siswinya harus bermukim di asrama. Ide ini jelas membutuhkan material dan finansial yang amat mahal. Namun ide ini dapat dicoba oleh Kementerian Pendidikan dengan meniru Kementerian Agama melalui model Madrasah Aliyah Negeri yang di banyak kota menerapkan sistem asrama meski tidak untuk seluruh siswa-siswi. Ini penting karena pesantren merupakan warisan budaya asli Indonesia yang tetap abadi hingga kini. Kalau pun tidak memungkinkan secara fisik, Kementerian Pendidikan dapat melakukan strategi itu dengan cara simbolik.

Karel A. Steenbrink dalam Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (1986), mengemukakan akar kata pesantren berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu cantrik. Di masa lampau, cantrik merupakan padepokan tempat kaum Hindu-Buddha mempelajari sastri (karya sastra atau kitab suci). Secara simbolik, pesantren dapat dimaknai sebagai tempat para santri mempelajari sastra. Meskipun pesantren identik dengan pengajaran agama, pesantren tidak pernah meninggalkan sastra sebagai ruh (strategi) budaya. Kebanyakan materi-materi agama yang meliputi fikih, aqidah, tasawuf, ilmu gramatika dan seterusnya, disajikan dalam bentuk nadham atau syair-syair berbahasa Arab. Dengan kata lain, sastra sebagai metode atau strategi sudah terlampau hidup (living) di pondok pesantren. Lalu apa makna sastra sebagai strategi budaya? Ki Hadjar Dewantara sudah menjawabnya puluhan tahun yang lalu.             

Dalam tulisan-tulisannya, Ki Hadjar Dewantara selalu mengulang-ulang dengan tegas bahwa kesenian dan kesusastraan harus dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional. Ia menggunakan istilah kesenian dan kesusastraan secara bergantian. Kadang-kadang yang kedua termasuk bagian dari yang pertama. Karena ia percaya bahwa kesenian dan kesusastraan berguna untuk memperhalus akal budi manusia. Sebab seni mengandung segala sifat keindahan dan keluhuran. Begitu juga dalam sastra. Estetika dalam karya sastra sangat penting bagi olah rasa dan olah jiwa. Pada 14 Juli 1950, ia menulis, “…Estetik itu bermaksud mendekatkan manusia, baik kepada segala sifat keindahan yang berupa usaha kesenian dalam arti yang seluas-luasnya, maupun mendekatkan hidup manusia dengan segala sifat indah, yang tampak dalam alam semesta, menuju kepada perkembangan budi pekerti menurut syarat-syarat etik, dari kodrat ke arah adab.”

Gagasan Ki Hadjar Dewantara mengenai pentingnya membumikan kesusastraan di dalam sistem pendidikan bukan lahir dari percobaan pemikiran yang asal-asalan. Ketika penyair besar India, Rabinranath Tagore, berkunjung ke tanah Jawa pada 1927, Ki Hadjar Dewantara mengajaknya berdiskusi di Taman Siswa. Dari sini Ki Hadjar Dewantara semakin yakin bahwa jiwa besar Tagore tidak lepas dari dunia sastra yang ditekuninya. Belakangan, Ki Hadjar Dewantara mengulas pemikiran Tagore yang ia bandingkan dengan Maria Montessori di majalah Pusara, edisi Agustus 1941. Dua orang ini, kata Ki Hadjar Dewantara, “menganggap bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa itu sungguhpun sangat menyuburkan intelek, akan tetapi sebaliknya mematikan perasaan, dan oleh karenanya membalikkan jiwa manusia dari derajat “budi” menjadi “mesin” belaka. Kedua ahli itu hendak melepaskan ikatan-ikatan yang sangat menyempitkan budi manusia serta menurunkan derajat kemanusiaannya itu..”   

Amanat pemikiran Ki Hadjar Dewantara perlu dicoba sebagai strategi budaya. Selama ini, kesusastraan tidak mendapat porsi memadai di sekolah-sekolah. Sastra hanya menjadi bab sampingan dari pembelajaran bahasa Indonesia yang bersifat perkenalan (introduction), dan tidak menyentuh pada materi pokok dari sastra itu sendiri. Padahal, banyak sekali karya sastra berbobot yang merepresentasikan intisari kebudayaan Indonesia yang sangat cocok diajarkan kepada siswa-siswa tingkat SMP dan SMA. Di Eropa, Amerika dan Jepang, sastra menjadi pelajaran wajib sejak sekolah lanjutan pertama. Bahkan tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananto Toer menjadi bacaan wajib bagi siswa-siswi di Amerika. Saat siswa-siswi di sana sudah diwajibkan membaca karya sastra, bahkan karya sastra yang ditulis orang asing, siswa-siswi di Indonesia mungkin tidak pernah tahu ada tetralogi Pulau Buru, sebuah karya sastra gemilang yang pernah dilarang namun menjadi bacaan wajib bagi anak-anak seusia mereka di negeri nun jauh di sana.

Sadar akan pentingnya mengenalkan sastra bagi siswa, Taufiq Isma’il melalui Majalah Sastra Horison menggagas program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) pada tahun 2010. Target dari program ini adalah siswa-siswi terpilih dari berbagai sekolah di kota-kota besar yang sudah ditetapkan sebagai tuan rumah. Program yang didukung oleh Yayasan Indonesia, Ford Foundation dan Kemendiknas ini sayangnya hanya bersifat pengenalan sepintas yang tidak berdampak jangka panjang. Sekurang-kurangnya tema tersebut menunjukkan secara eksplisit dimensi temporal dari program tahunan ini. Nyatanya, siswa hanya dianjurkan untuk sekadar bertanya, bukan terlibat, bergulat apalagi bertukar tangkap dengan korpus susastra. Program SBSB seharusnya menjadi batu loncatan untuk segera memasukkan pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.

Prototipe demikian telah diselenggarakan di Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Di SMA 3 Annuqayah, misalnya, setiap siswa diwajibkan membaca buku kumpulan karya sastra terpilih yang disediakan oleh pihak sekolah. Karya sastra di sini lebih spesifik pada kumpulan cerpen terbaik yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis hebat di Indonesia. Usai membaca, siswa diminta untuk berkomentar dan menulis pendapatnya melalui reviu singkat. Selain itu, terdapat program “Perpustakaan Masuk Kelas” yang tak kalah menarik dari yang pertama. “Perpustakaan Masuk Kelas” maksudnya adalah siswa dikasih bahan bacaan ringan namun mengandung informasi penting yang dapat dibaca dalam waktu 5 sampai 10 menit sebelum pelajaran dimulai. Tulisan-tulisan yang disodorkan juga telah disediakan oleh pihak sekolah. Program ini murni inisiatif kepala sekolah SMA 3 Annuqayah dan mulai dipraktikkan di beberapa madrasah di Sumenep yang secara kultural berafiliasi ke Annuqayah. Hasilnya sungguh mengejutkan: siswa-siswi di SMA 3 Annuqayah mayoritas bisa menulis cerpen dan bahkan ada yang sudah menulis novel. Siswa di sana sudah mengenal istilah kritik sastra karena mereka berkompetisi satu sama lain untuk giat membaca.

Di samping itu, pesantren juga memiliki resep mujarab dalam melakukan internalisasi budaya damai. Masih di Pesantren Annuqayah, selain melalui pelajaran sastra, internalisasi itu juga ditempuh melalui media komik, yang dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara termasuk elemen kesenian. Melalui komik, Pesantren Annuqayah turut membantu keberhasilan menembus rekonsiliasi konflik berdarah antara suku Madura dan suku Sampit-Dayak di Kalimantan yang terjadi awal abad 21 lalu. Melalui Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) yang bekerja sama dengan LP3ES dan Founding dari Australia, Pesantren Annuqayah menerbitkan dan mengedarkan komik Gebora yang sempat booming di Madura tahun 2004. Serial komik Gebora adalah langkah nyata yang dilakukan pesantren dan mampu menginspirasi banyak anak muda di Madura untuk lebih menghargai perbedaan. Saya yang waktu itu masih duduk di bangku kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah, merasakan betul bagaimana komik tersebut pelan-pelan membuka cakrawala berpikir saya tentang pentingnya hidup damai berdampingan di dalam kayanya keragaman.     

Gebora adalah cara bagaimana nilai-nilai budaya damai dapat tumbuh segar di kepala anak-anak muda Madura tanpa menyisakan segumpal dendam terhadap suku lain yang mengancam mereka. Pencapaian bagus ini tentu saja harus dapat diterapkan di tempat-tempat lain di Indonesia. Kontekstualisasi kearifan lokal ke dalam bentuk komik merupakan strategi budaya yang marketable bagi anak-anak. Buktinya, pengagum dan pembaca setia komik impor dari Jepang tetap semarak hingga sekarang. Dalam hal tertentu, mereka jauh lebih paham budaya Jepang ketimbang budayanya sendiri. Celah besar ini harus dilihat sebagai peluang bagus oleh Kementerian Pendidikan untuk mengurangi dominasi komik Jepang di satu sisi, dan untuk menanamkan nilai-nilai budaya lokal di sisi lain.

Pesantren Annuqayah adalah tamsil kecil tempat berlangsungnya internalisasi budaya damai melalui rute kesusastraan dan kesenian yang berjalan dalam satu tarikan yang setimbang. Kalau Ki Hadjar Dewantara mengatakan sistem pondok sebagai sistem nasional, itu artinya kita harus segera “mengaji” dan “kembali” ke pesantren. Sebuah kekembalian yang tidak mesti bersifat fisik, sebab kita masih bisa menempuhnya secara simbolik.

Ikuti tulisan menarik Naufil Istikhari Kr lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu