x

Iklan

Andik Setyawan (PB)

Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Jember
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Makmur Perlu Mahasiswa Visioner !

Semoga tulisan ini dapat membidani lahirnya para visioner baru, dari rahim kegelisahan dan semangat untuk menciptakan kemakmuran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalimat makmur sangat familiar ditelinga masyarakat Indonesia. Namun sudahkah kita tau apa sebenarnya makna dari kata “makmur” ini. Dengan gawai yang pembaca sekarang sedangan dipegang, silahkan akses di internet dan akan kita temui maknanya. Salah satu arti makmur menurut KBBI berarti serba kecukupan, tidak kekurangan. Indikator yang paling mudah kita amati berkenaan dengan hal ini adalah dari segi ekonomi. sederhananya, manusia akan merasa cukup kalau secara materi dia punya. Meskipun beberapa memang tidak setuju bahwa kecukupan diukur dari materi saja.

Karena penulis bagian dari masyarakat yang memandang kecukupan materiil sebagai indikator kemakmuran, maka penulis berpandangan bahwa kemakmuran suatu bangsa (kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri, red) akan dapat dicapai dengan jalan mewujudkan keadilan ekonomi. Nurcholis Majid dalam tulisannya yang termuat dalam NDP mendefinikan bahwa keadilan adalah diperolehnya hak asasi manusia setiap orang dan dalam jangka waktu yang sama, orang tersebut menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab social. Kemudian Cak Nur meneruskan, perwujudan penegakan keadilan yang terpenting adalah menegakkan keadilan ekonomi atau pembagian kekayaan diantara anggota masyarakat.

Bangsa kita sebenarnya sudah cukup makmur untuk beberapa orang, utamanya para taipan kelas atas sebagaimana direleas setiap tahun majalah forbes dalam tajuk “50 orang terkaya di Indonesia”. Tentu kita patut berbangga dengan keberhasilan saudara sebangsa kita yang memiliki kekayaan triliunan tersebut, penulis ambil contoh Kakak-beradik R. Budi dan Michael Hartono, dengan kekayaan US$32,3 miliar (sekitar Rp440 triliun). Sungguh angka fantastis ! yang membayangkannya saja sulit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun disisi lain juga kita juga harus memperhatikan data masyarakat yang belum makmur (miskin) di negeri ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin, yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk).

Selanjutnya coba kita pantau juga data ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Pada Februari 2017 lalu, lembaga Oxfam dan forum LSM internasional untuk pengembangan Indonesia INFID merilis laporan yang menyatakan bahwa harta milik empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin, dan ini mengacu ke Data Kekayaan Global (Global Wealth Databook). Penulis kutip sebuah tulisan dari http://www.bbc.comLaporan yang menyatakan bahwa Oxfam dan INFID, berjudul "Menuju Indonesia yang lebih setara", menggunakan koefisien Gini (Gini Ratio) sebagai salah satu indikator yang menggambarkan tingkat ketimpangan di Indonesia. Koefisien Gini diukur berdasarkan konsumsi keluarga akan barang, jasa, dan non-jasa. Semakin besar koefisien Gini, maka semakin lebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Pemerintah Indonesia didesak mengurangi ketimpangan ekonomi di Indonesia, yang menempati peringkat enam dalam daftar negara dengan ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia.

Setelah kita perhatikan, memang dalam hal ini pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan ini dan mewujudkan kemakmuran untuk masyarakat miskin. Tetapi sangat tidak dilarang bagi pembaca yang juga hendak membantu mencarikan solusi kemudian memulai langkah kongkit bagaimana menyelesaikannya, bisa dimulai dari dari sendiri.

Suatu pagi di kolom opini (Harian Jawa Pos Radar Jember) penulis menemukan tulisan yang isinya sangat subtantif. Terdaat ungkapat Amartya Sen (Penerima Nobel Ekonomi 1998) yang menyatakan bahwa “Adanya orang miskin adalah bukan karena tidak adanya sumberdaya baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, tetapi adanya orang miskin adalah karena mereka tidak tau apa yang harus dikerjakannya”. Ungkapan tersebut jika dikomparasikan dengan realitas yang ada di tetangga, saudara atau mungkin diri kita sendiri benar adanya. Pengetahuan tentang hal yang harus dikerjakan menjadi sangat penting untuk menentukan hidup seseorang. Jika sudah kita tahu begitu, maka solusinya adalah menamkan kepada khalayak sebuah pengetahuan berkenaan dengan bagaimana membentuk suatu konsep hidup yang baik dan bagaiamana merealisasikannya.

Pendidikan menjadi salah satu jalan untuk dapat memiliki kompetensi tersebut, kompetensi untuk menentukan tindakan yang harus dikerjakan selama menjalani kehidupan agar todak hanya survive tetap juga makmur secara materiil. Sehingga tidak mengherankan jika kita temui banyaknya orang makmur adalah berasal dari mereka yang berpendidikan tinggi. Karena toh, misalnya seseorang dengan pendidikan tinggi tidak tau bagaiamana konsep yang baik dalam menjalani hidup misalkan membuat sesuatu agar hidupnya makmur, dengan keahliannya orang lain akan memberinya konsep untuk dikerjakan. Dalam hal ini, penulis maksudkan adalah memberikan pekerjaan. Lalu bagaimana dengan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah? Yang jumlahnya lebih besar dari masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi. Data UNICEF tahun 2016 menunjukkan, di Indonesia sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Untuk kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah sebenarnya konsepnya sama, diberdayakan dengan jalan memberikan pengetahuan dan keterampilan. Langkah Dinas ketenagakerjaan sebenarnya sudah bagus, yaitu dengan menggelar berbagai pelatihan kerja kepada masyarakat. namun tidak banyak peserta yang bisa mem-follow upnya menjadi suatu kegiatan yang profit karena keterbatasan pengetahuan tentang apa-apa yang harus dikerjakan setelah mengikuti pelatihan (Tidak Visioner).

Sehingga salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menggandeng masyarakat yang visioner untuk pengembangannya (Pasca Pelatihan). Golongan mahasiswa sebagai masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dibandingkan dengan masyarakat lainnya dapat menjadi subject dalam hal ini. Mereka yang dibekali dengan pengetahuan dan teori di kampus dapat menjadi pendamping untuk mendampingi masyarakat dalam menciptakan kemakmurannya. Mengutip ungkapan Sanit (2003), bahwa “mahasiswa Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas di antara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak di antara lapisan mesyarakat. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan masyarakat dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise di dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda”.

Karena itu, jangan sampai mahasiswa "tidak visioner” (tidak tahu perihal apa yang harus dikerjakannya baik untuk dirinya sendiri ataupun masyarakat)!. Ke-tidak Visioneran mahasiswa tersebutlah yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya pengangguran di kalangan sarjana. Catatan terakhir BPS pada Februari 2016 menunjukkan bahwa sarjana pengangguran mencapai 695 ribu jiwa. Mahasiswa harus mulai mampu memberdayakan dirinya sendiri, kemudian juga tidak enggan memberdayakan masyarakat. Rasanya semakin melebar ini tulisan, karena perlu kemudian kita bahas bagaimana cara memberikan mental visoner kepada mahasiswa, agar kemudian bisa menjadi subject yang mengawal proses pemberdayaan masyarakat sebagaimana penulis ulas diatas. Mungkin itu bisa kita penulis tulis lain waktu, karena tulisan ini lebih menjawab tentang bagaimana konsep mewujudkan kemakmuran.

Sebagai penutup menjawab pernyataan Amartya Sen diatas tentang ketidaktahuan melakukan sesuatu sebagai penyebab utama terjadinya kemiskinan. Sebagai solusi untuk bisa memangkas ketimpangan social, konsep sinergi antara mahasiswa yang visioner dengan berbagai stakeholder utamanya pemerintah dan masyarakat yang diterapkan secara baik, dengan dukungan management yang apik pula maka kemakmuran social bagi seeluruh warga bangsa akan menjadi keniscayaan.

Ikuti tulisan menarik Andik Setyawan (PB) lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler