x

Penggunaan pakaian seragam sarungan setiap Jumat dimulai sejak penetapan Hari Santri pada 22 Oktober 2016.

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Repolitisasi Kaum Santri

Momen Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober tidak sepenuhnya mengaktualisasikan dimensi kesantrian dan keindonesiaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Momen Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober tidak sepenuhnya mengaktualisasikan dimensi kesantrian dan keindonesiaan, namun terdapat kecenderungan sekadar pemenuhan ekspektasi politik kesantrian—jika tidak mau disebut sebagai komoditas politik—ditengah euforia kaum santri terhadap kekuasaan. Apel peringatan HSN di berbagai daerah dengan segala atribusi kesantriannya seakan-akan menunjukkan adanya suatu mobilitas politik jelang pelaksaaan pemilu, dibanding melecut aktualisasi diri dimana santri dianggap sebagai kelompok elite dalam masyarakat. Santri, tentu saja perlu diredifinisi tidak sebatas mereka yang terdidik dan terpelajar—khususnya dalam hal keagamaan Islam—namun yang lebih penting, sebagai kelompok elit, mampu memberikan pengaruh signifikan terhadap kemajuan bangsa.

Sejauh ini, santri terbatas hanya didefinisikan sebagai orang-orang yang mendalami agama Islam sehingga berdampak secara pribadi terhadap kesalehannya. Entitas santri lebih berkonotasi primordial, parsial, bahkan terkesan hanya milik kelompok tertentu. Padahal, santri perlu diredifinisi, mengingat aspek kesantrian lekat dengan tradisi, budaya, moralitas, karakter, yang sangat asli Indonesia. Jika santri adalah mereka yang memperdalam agama Islam, berarti linier dengan aspek kesalehan yang melekat, dimana santri tentu saja semakin cerdas, mengedepankan kewarasan berpikir, senang dengan nasehat, toleransi, saling menghormati, dan tak pernah ambisi.

Santri juga bukan milik kalangan tertentu, sehingga tak semestinya dieksploitasi secara politik demi pemenuhan kebutuhan kekuasaan. Bagaimana tidak, tak jarang dimana momen HSN kental dengan nuansa “politisasi”nya dengan mempertontonkan bagaimana kelompok elit dalam masyarakat ini secara sadar merepolitisasi dirinya sebagai kelompok pendukung politik penguasa. Padahal, berpolitik ala santri tentu saja bagaimana mereka dapat berkontribusi besar bagi bangsa dan negara melalui cara pandang mereka terhadap agama, dengan mengisinya, memperbaiki, menasehati, mewarnai, dan bahkan mampu “mendikte” kekuasaan. Kelompok santri harus mampu berambisi dalam membangun citra moralitas, yang berdampak terhadap seluruh kehidupan bangsa dan negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ditengah menguatnya arus deras konflik keagamaan belakangan ini, kelompok santri justru seharusnya menjadi “penengah” bukan malah terbuai ikut larut dalam konflik dan cenderung memberikan pembelaan-pembelaan kepada penguasa. Saya kira, ajaran-ajaran yang pernah disampaikan oleh tokoh-tokoh santri era kemerdekaan soal mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dibanding kepentingan kelompok dan selalu mampu memperbaiki situasi konflik dengan tidak ikut larut didalamnya, patut selalu diaktualisasikan dan direnungkan. Aktualisasi politik santri era kemerdekaan, cenderung tak mengabaikan nasehat, dan hal itu justru menjadi bagian terpenting dari kontribusi politik kebangsaan dan kenegaraan.

Santri adalah mereka yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga penghargaannya akan ilmu justru memberikan dampak perubahan yang sanga sangat signifikan terhadap metode berpikir, aspek moral, penerimaan yang baik atas setiap perubahan dan mampu mengkritisi banyak hal, termasuk kritis terhadap berbagai kebijakan politik penguasa. Jangan sampai moralitas kaum santri tergadaikan oleh aspek politik-kekuasaan yang sekadar memanfaatkan suara mayoritas mereka disaat semakin dekatnya ajang kontestasi. Saya kira, ada baiknya catatan Syek al-Zarnuji yang melakukan otokritik terhadap santri, dimana kesungguhan para santri dalam menggali pengetahuan tak sebanding dengan kemanfaatan yang ditimbulkan.

Repolitisasi kaum santri tak harus berarti entitas dirinya terus menerus berada dalam bayang-bayang politik kekuasaan, tetapi soal bagaimana aspek keilmuan agama yang diaktualisasikannya membayangi seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kekuatan moral-politik yang terus ditawarkannya. Kaum santri bukan komoditas politik apalagi sekadar ajang eksploitasi penguasa dalam rangka mencari dukungan politik. Kesantrian adalah wujud nyata kesalehan sosial yang berdedikasi bagi terciptanya kecerdasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya, santri tak boleh diklaim sebagai milik satu golongan apalagi kelompok tertentu, karena santri sejatinya mereka yang gemar mencari ilmu demi tujuan bermanfaat bagi khalayak.

Jangan sampai definisi santri justru semakin mempersempit atau bahkan mengaburkan tujuannya sebagai para pencari ilmu dengan tujuan kemanfaatan. Tak salah, ketika salah satu otokritik dilontarkan Al-Zarnuji ketika menulis dalam kitabnya, “Ta’lim al-Muta’allim” dengan menyatakan, “siapa yang salah jalan tentu tersesat dan tak akan pernah sampai kepada tujuannya” (kullu man akhtha’a ath-thariiqa dlalla, wa laa yanaalu al-maqsuuda qalla au jalla). Dengan demikian, saya berasumsi bahwa santri itu mindset-nya tawakal—karena keikhlasan dan kecintaannya pada pengetahuan—pikirannya cerdas dan waras, hormat kepada siapapun, menyukai nasehat dan tidak ambisi—karena salah satu syarat kemanfaatan ilmu adalah nirambisi dalam hal apapun.

Penting juga untuk diperhatikan, nilai kesalehan yang dibawa oleh kaum santri sulit tergantikan oleh hal apapun. Kesalehan tak hanya berdampak pada penghormatan yang sangat luar biasa kepada para gurunya, namun justru menghormati sesamanya, tanpa merendahkan, membenci, terlebih mencaci-maki. Para santri tergolong masyarakat yang mencintai ilmu pengetahuan yang kemudian terserap dalam setiap prilaku mereka yang sangat menjunjung tinggi aspek moralitas. Mereka bukan kaum apolitis, tetapi memahami aspek politik sebagai bagian dari nilai-nilai moral yang harus diperjuangkan. Itulah sebabnya, santri seharusnya tidak dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan politik, tetapi justru mereka harus mampu memanfaatkan sebaliknya melalui penyebaran nilai-nilai etika dan moral dalam mencapai tujuan besar kemanfaatan dan kemaslahatan.

Sangat disayangkan, jika repolitisasi santri hanya berhenti sekadar pemenuhan aspek kekuasaan politik berjangka pendek dengan menjadi pendukung kelompok tertentu, dimobilisasi secara politik demi tujuan elektabilitas, lalu meninggalkan aspek-aspek moral politik sebagai kelompok elit yang limbung dalam menjaga kewarasan berpikirnya. Bukankah belakangan marak dimana terdapat kelompok santri justru lebih kental dalam mendukung salah satu kandidat politik, ikut asik dalam ruang-ruang kekuasaan, membelanya tanpa reserve, bahkan secara terang-terangan mendedikasikan dirinya untuk penguasa? Terkadang hampir tercerabut makna kesantrian sebagai pemegang teguh nilai etika dan moral sebagai kelompok elit masyarakat yang gandrung akan ilmu pengetahuan.

Sudah selayaknya, repolitisasi santri diperkuat sebagai kelompok elit masyarakat yang siap membenahi seluruh aspek kehidupan sosial-politik dengan cita rasa moralitasnya yang tinggi, menjaga jarak dengan kekuasaan seraya memperkuat ikatan-ikatan solidaritas sosial tanpa membedakan agama, kelompok, atau afiliasi politik. Santri harus terdepan sebagai kelompok terdidik yang kuat sebagai penganjur nilai-nilai moral, memoderasi setiap konflik untuk tidak terlibat didalamnya tetapi mendamaikannya, memiliki posisi bargaining politik yang penting dihadapan kekuasaan sehingga tak mudah dimanfaatkannya, sekaligus menjadi penjaga tradisi dan budaya karena santri tentu saja satu-satunya entitas genuine budaya Islam Indonesia.     

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB