x

Iklan

Iman Haris

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gelap-gelapan Politik Anggaran di APBN?

Tidak seperti lampu merk anu yang mengaku terus terang terang terus, angka cicilan pokok utang di APBN tampaknya lebih senang gelap-gelapan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tidak seperti lampu merk anu yang mengaku terus terang terang terus, angka cicilan pokok utang di APBN tampaknya lebih senang gelap-gelapan layaknya adegan ranjang. Aksi penumpang gelap dalam APBN ini diungkapkan oleh Direktur Lingkar Survey Perjuangan, Gede Sandra dalam salah satu artikelnya yang dipublikasikan Berdikari Online (Sabtu, 3/11/2018).

Merujuk rilis APBN 2019 pada 31 Oktober 2018 yang lalu, pengamat politik dan ekonomi tersebut menunjukkan ketidaksesuaian antara jumlah total anggaran non-KL dengan angka per item pada anggaran tersebut. Misalnya saja, total anggaran non-KL pada kolom Outlook 2018 tertulis sebesar Rp 640,2 triliun untuk pembelanjaan antara lain a) pembayaran bunga utang Rp 249,4 triliun dan b) subsidi energi Rp 163,5 triliun yang jika dijumlahkan hanya sebesar Rp 412,9 triliun dan bukannya Rp 640,2 triliun sebagaimana tertulis pada tabel Belanja Pemerintah Pusat pada rilis tersebut. maka terdapat selisih jumlah sebesar Rp 227,3 Triliun. Lalu, belanja apakah gerangan yang mencapai Rp 227,3 triliun ini? Menurut kalkulasinya, angka selisih tadi merupakan anggaran cicilan pokok utang yang mungkin sengaja disembunyikan oleh pemerintah agar masyarakat tidak menyadari bahwa pembayaran cicilan utang menjadi anggaran terbesar APBN kita. “Apakah Kemenkeu takut nanti bila diketahui publik, ternyata belanja APBN untuk utang, meliputi pembayaran bunga utang dan cicilan pokok utang, menjadi yang terbesar di APBN? Ujarnya dalam artikel tersebut”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini juga menyatakan hal yang serupa. Dalam menanggapi RAPBN 2019 yang telah dirilis oleh pemerintah sebelumnya, Didik berkesimpulan bahwa, "di sisi belanja ada pemborosan. Sebagian besar untuk bayar utang dan bayar gaji. Studi kami, belanja ini untuk urusan rutin saja," ungkapnya dalam diskusi Indef di Jakarta (Rabu, 29/8/2018) sebagaimana dikutip Liputan6.com.

Politik anggaran seringkali memang bukan sesuatu yang cukup mudah dicerna publik, terlebih ketika dia bersembunyi di balik angka-angka. Bagaimanapun, besaran anggaran yang dialokasikan pemerintah pada pos tertentu dapat mencerminkan kepentingan politik siapa yang sesungguhnya tengah mereka usung. Ironisnya, kita dibuat percaya bahwa, misalnya saja, alasan di balik pencabutan subsidi BBM adalah ketidak tepatan sasaran penerima manfaat subsidi ini atau fluktuasi harga minyak dunia, padahal kebijakan pengalihan subsidi BBM ke dalam bentuk program-program semacam jaring pengaman sosial sebetulnya merupakan bagian dari Letter of Intent (LoI) pemerintah Indonesia kepada IMF sebagai syarat pemberian utang oleh lembaga tersebut kepada Indonesia pada tahun 2000, di samping agenda-agenda reformasi struktural lainnya. LoI yang berujung pada lahirnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas sebagai payung hukum kebijakan pencabutan subsidi BBM, yang secara ironis dikritik oleh Kwik Kian Gie sendiri yang merupakan salah satu penandatangan LoI tadi sebagai kebijakan berwatak neoliberal. Demikian juga dengan mutasi SJSN yang semula bernama Jamkesmas menjadi BPJS sesungguhnya bukan sekedar perubahan nama, tetapi benar-benar perubahan logika jaminan kesehatan, yang semula merupakan bagian dari tanggungjawab negara, menjadi sistem asuransi kesehatan biasa layaknya dikelola oleh lembaga keuangan swasta, atau dengan mengutip Prof. Sri Edi Swasono (2011), "UU ini menggeser kewajiban negara kepada rakyat." Lagi-lagi, neoliberalisme ditenggarai sebagai ideologi di balik pergeseran keberpihakan politik anggaran kita.

Kita dibuat percaya bahwa subsidi kebutuhan pokok publik (public goods) lah yang membebani anggaran negara, padahal utanglah yang sebenarnya yang menjadi beban, kebijakan pembangunan berbasis utang ini pula yang selama ini mengakibatkan Indonesia ke dalam krisis yang berkepanjangan dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengorbankan kepentingan masyarakat. Kenaikan harga BBM yang memicu inflasi berdampak pada lonjakan harga kebutuhan pokok masyarakat di pasaran, demikian juga dengan tambahan pengeluaran yang harus disediakan setiap bulannya untuk membayar premi asuransi pun semakin membebani masyarakat, belum lagi ditambah berbagai beban hidup lainnya. Pada akhirnya, masyarakat lah yang harus membayar dampak dari kebijakan politik anggaran yang dipilih oleh pemerintah dan wakil-wakil mereka di legislatif.

Pemerintah ke depan berkewajiban merumuskan politik anggaran yang lebih berpihak kepada rakyatnya, yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Sudah saatnya politik anggaran yang hanya melayani kepentingan pasar, para pemilik modal atau lembaga-lembaga kreditur ditinggalkan, karena rakyat lah pemilik sah dari negara ini. Sudah saatnya pula penyusunan APBN dan publikasinya dilakukan secara lebih terbuka dan tidak berlangsung di kamar-kamar gelap yang tidak memungkinkan terjadinya pengawasan oleh masyarakat, tanpa penumpang gelap, tanpa harus gelap-gelapan.

Ikuti tulisan menarik Iman Haris lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler