x

Iklan

Hamzah Zhafiri Dicky

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korean Wave: Bagaimana Mengekspor Produk Kreatif

Bagaimana Korean Wave mengekspor produk budaya populernya alias Kpop? Saatnya kita berkarya, bukan hanya jadi konsumen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa satu hal yang bangsa ini belum lakukan, tapi bangsa lain sudah lakukan?

Itu pertanyaan yang diajukan Pandji Pragiwaksono, dalam salah satu sesi stand up comedy special yang dibawakannya.

Jawaban dari pertanyaan itu sederhana: “Bangsa lain sudah berkarya, bangsa kita masih baru bekerja.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak hasil kerja industri di Indonesia yang sebenarnya sudah banyak dipakai oleh masyarakat internasional. Pandji sendiri menjadi saksi, ketika ia bertamasya ke Old Trafford, markas besar klub raksasa Inggris Manchester United, ternyata jersey resmi yang dijual di sana asli buatan Indonesia. Alasannya? Karena bagi manajemen klub berjuluk Setan Merah tersebut, jersey buatan Indonesia memiliki kualitas terbaik di dunia.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika Indonesia tengah bersitegang dengan Malaysia, pernah ada pejabat tinggi dari negara jiran tersebut berusaha menengahi dengan berkata: “tidak mungkin Malaysia berani berperang dengan Indonesia, seragam tentara Malaysia saja masih dibuat di Indonesia.

Dalam kesempatan lain, sudah banyak juga cerita tentang beragam komik Marvel dan DC yang diproduksi di Indonesia, oleh komikus Indonesia. Studionya dapat kita temui dengan mudah di Bandung. Jadi jika kita membaca komik Marvel atau DC yang mendunia itu, jangan kaget jika di bagian kredit, dapat ditemui nama-nama khas orang Indonesia.

Kita punya SDM yang berbakat dan kreatif untuk mengerjakan berbagai macam produk, tapi seringkali kita baru menjadi “pekerja” atas karya brand asing. Kita bisa membuat jersey terbaik di dunia, tapi toh nyatanya jersey ataupun produk konveksi dan apparel yang kita pakai di sini masih buatan Vietnam atau China.

Terlebih lagi, dari segi brand saja kita masih lebih gemar memakai produk Nike dan Adidas. Belum pula ada banyak produk brand asli Indonesia yang secara luas begitu digandrungi dunia, kecuali beberapa saja.

Kita bisa mengerjakan komik internasional raksasa seperti Marvel dan DC, namun belum terdengar ada komik asli Indonesia yang bisa menguasai pasar komik dunia.

Kenapa?

Sejak sekitar tahun 2010, negeri ini juga digemparkan dengan ombak raksasa Korea. Fenomena Korean Wave menjalar ke seluruh sendi kehidupan remaja Indonesia. Dari mulai drama korea, lagu korea, modern dance ala Korea, Kpop, bahkan drama realitas korea seperti running man atau the return of superman. Tidak perlu saya jabarkan lebih tentang bagaimana ombak korea-koreaan ini terjadi, karena tentu anda ingat bagaimana hal itu berlangsung.

Yang jadi menarik adalah, di masa itu, bukan saja remaja-remaja begitu menggandrungi korea, mereka bahkan sampai mempelajari bahasa korea secara serius. Les bahasa korea pun menjamur. Yang tidak sanggup les, rela bersusah-payah belajar secara otodidak lewat kanal youtube ataupun aplikasi belajar bahasa. Beragam kosakata korea pun jadi populer digunakan sebagai seruan, seperti “omo”, “aigoo”, dan “opaa”.

Ketika kegemaran akan korea ini sudah matang, barulah boyband dan girlband asal negeri ginseng turun gunung ke Indonesia menggelar konser masing-masing. Penjualan tiket pun membludak dan para Kpopers tergila-gila, hingga cewek-cewek menangis-nangis melihat idola mereka seperti Suju, Big Bang, SNSD, dan Shinee unjuk gigi. Penjualan produk Kpopers seperti album lagu, pernak-pernik, dan aksesoris orisinal pun laku keras.

Barulah kemudian saya sadari, ternyata ekspor produk ekonomi tidak melulu harus barang konsumsi seperti barang elektronik, gawai, migas, beras, atau sebagainya. Baru kali ini saya melihat Korea mengekspor komoditas yang sangat berharga: budaya. Melalui bentuk film, lagu, boyband, girlband, dan produk turunannya. Bahkan dinas pariwisata Korea pun memakai lagu Kpop untuk mempromosikan wisata ke negeri tersebut, coba saja dengar lagu “Fly To Seoul” dari 2PM.

Banyak orang yang mengkritik Korean Wave ini. Dari mulai spektrum bahwa kita dijajah oleh budaya asing, atau bahwa ini adalah konsumerisme budaya yang tidak mendidik dan tidak selaras dengan budaya kita. Saya tidak mau membahas spektrum itu, tapi saya lebih suka justru belajar dari fenomena ini.

Perkara kita telah menjadi sebatas “pasar” bagi gelombang korea ini tentu saja sudah harus diakui. Sebagaimana kita masih menjadi bangsa pekerja bagi karya orang lain, kita pun seringkali masih menjadi pangsa pasar bagi karya bangsa lain. Tidak mungkin ada bangsa yang tidak mau menguasai kita, dengan penduduk berpopulasi terbanyak ketiga di dunia, Indonesia selalu menjadi pasar empuk.

Kenapa kita tidak bisa berbuat sebaliknya? Pandji Pragiwaksono nampaknya mencoba melakukan itu. Dalam melakukan stand up spesialnya, ia melakukan tur keliling dunia di lima benua. Dalam pertunjukan yang ia bawakan, tidak ragu ia menggunakan bahasa Indonesia. Orang-orang pun heran, kenapa tidak pakai bahasa Inggris saja? Kan penontonnya internasional? Pandji pun berpendapat, bahkan band Kpop juga bermusik dan melakukan pertunjukan internasional dengan bahasa Korea, dan akhirnya justru penonton internasional yang rela bersusah-payah belajar bahasa Korea agar paham. Kenapa kita harus malu memakai bahasa Indonesia?

Bahkan kenyataannya, di luar negeri cukup banyak yang mau menonton pertunjukan Pandji. Tidak hanya para WNI yang ada di luar negeri, banyak pula masyarakat luar yang ternyata fasih berbahasa Indonesia.

Sayangnya, tidak semua orang adalah Pandji. Kita masih harus belajar banyak untuk bisa berkarya, tidak lagi sekedar bekerja, apalagi sebatas menjadi pasar konsumen bagi karya bangsa lain. Tidak buruk tentu saja mengkonsumsi produk asing, namun kalau kita tidak segera berkarya juga, selamanya bangsa kita hanya akan menjadi kuli dan konsumen.

Geliat ekonomi kita harus bisa digerakan dalam berbagai sektor kehidupan. Hal itu pula yang ada di benak Bambang Soepijanto. Sebagai Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), Bambang juga berambisi meningkatkan kapabilitas kerja industri kayu panel. Potensi kayu panel di Indonesia sudah diakui dunia, masyarakat internasional sudah biasa membeli hasil produk kayu panel dari Indonesia.

Menjadi pekerjaan rumah besari bagi Bambang Soepijanto untuk mengatur strategi dalam mengembangkan kayu panel, tidak hanya sekedar produksi kasar, namun juga menjadi produk kreatif yang khas Indonesia.

Selain Ketua Umum APKINDO, Bambang Soepijanto juga maju sebagai DPD RI dapil DIY. Dengan semangatnya sebagai DPDnya Wong Cilik, beliau mendukung penuh peningkatan UMKM, terutama melalui pemanfaatan perhutanan sosial. Hal ini pun cukup perlu diapresiasi, karena tulang punggung ekonomi kita adalah UMKM. Jika UMKM kita bisa terus dikembangkan menjadi basis perekonomian yang bisa berkarya dari akar rumput, tidak hanya menjadi kuli bagi industri korporasi, maka kebangkitan ekonomi Indonesia bukan mustahil bisa bangkit.

Ikuti tulisan menarik Hamzah Zhafiri Dicky lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu