x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berdebat Sampai Jari-jemari Kaku

Kita bahkan sanggup berdebat sampai kehabisan napas atau hingga jari-jemari kaku lantaran capek memijit tombol handphone tanpa ada kesimpulan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Debat di media sosial tampaknya lebih seru dibandingkan debat (tatap muka) pertama antar pasangan calon presiden. Debat pasangan capres terkesan kurang spontan, kaku dan menahan diri, serta lari kesana kemari dalam menjawab pokok pertanyaan yang diajukan panelis. Kesan umum yang terlontar di berbagai media umum seperti itu. Kedua pasangan capres tampil tegang walau berusaha tampak rileks.

Di gelanggang yang lain, dunia maya, di mana nama-nama akun yang tercantum dan dapat dibaca oleh siapapun tidak selalu menunjukkan identitas aslinya, keseruan memang tidak terhindari. Banyak orang merasa bebas ngomong di media online maupun media sosial, hingga komentar sangat pedas pun meluncur deras, silih berganti. Banyak yang bersembunyi di balik anonimitas atau nama palsu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak mudah bagi awam untuk mengetahui mana komentar asli yang ditulis netizen umumnya dan mana komentar yang ditulis para buzzer kedua pasangan capres. Para buzzer lazimnya ditugasi untuk memborbadir ruang publik dengan seruan, pendapat, maupun komentar yang menyokong capres mereka. Tujuannya tidak lain untuk memengaruhi persepsi masyarakat agar terhadap pasangan capres: agar capresnya terkesan oke dan capres kompetitor memble.

Netizen umumnya punya favorit capres masing-masing, walau tidak kurang yang sebenarnya menginginkan capres di luar kedua kontestan. Dengan hanya ada dua pasangan capres, saling serang yang bersifat diametral merupakan risiko yang sukar dihindari. Pilihannya seolah hanya kita dan mereka. Bandingkan misalnya bila pasangan capres yang ikut dalam Pilpres ada tiga, maka konsentrasi akan terpecah dan ini bisa jadi menurunkan ketegangan. Capres lebih dari tiga pasang bisa menjadi pengalaman menarik bagi demokrasi kita.

Preferensi atau kecondongan keberpihakan secara politik jelas punya kecenderungan emosional, dan ini biasanya terbawa ke dalam komentar-komentar yang terlontar di media online (komentar pembaca) maupun media sosial. Pilihan kata atau diksi menggambarkan emosi penulis komentar.

Kerap terjadi para pendukung kedua capres merasa benar sendiri. Bahkan, nyaris semua orang menuntut agar pendapatnya diperlakukan sebagai kebenaran. Preferensi politik betapapun memengaruhi kemampuan orang dalam memberi penilaian terhadap kandidat presiden. Kecondongan politik yang berlebihan berpotensi mengaburkan pandangan bahwa mungkin saja ada kebenaran pada pendapat orang lain, bahwa mungkin saja ada kebaikan pada orang lain, dan tentu saja juga mungkin ada kekeliruan pada capres yang difavoritkan.

Persoalannya ialah karena kita memiliki sifat dan kecenderungan alami untuk mencari bukti yang sesuai dengan keyakinan kita. Kita juga cenderung lebih mudah menerima kabar baik apa saja yang sesuai dengan harapan, angan-angan, dan keinginan kita tentang figur yang kita sukai. Kita juga cenderung mudah menolak atau membantah kabar buruk apa saja tentang figur kita—“tidak mungkin dia begitu”, “ah, itu hanya hoax yang dibuat kubu lawan”. Kita memlintir apa yang disampaikan capres kompetitor. Kita hanya memilih apa yang buruk dari capres kompetitor dan menonjolkan hanya yang baik dari capres kita.

Klaim-klaim kebenaran yang kaku membuat pertukaran pendapat tersendat-sendat, bila bukan mampet. Masing-masing pihak merasa benar sendiri. Kita cenderung membantah apapun yang diucapkan lawan bicara di media sosial hanya karena beda pilihan. Kita bahkan sanggup berdebat sampai kehabisan napas atau hingga jari-jemari kaku lantaran capek memijit tombol handphone. Kraam habis bahkan.

Mestikah kita bersikap seperti itu, memaksakan kehendak kepada orang lain bahwa pendapat kita benar atau bahkan yang paling benar? Benarkah tudingan kita bahwa orang lain selalu berbohong dan kita bersih dari dusta? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler