x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyaksikan Matilda di Singapura

Sejak awal minggu ketiga Februari hingga pertengahan Maret 2019, drama musikal Matilda dipentaskan di Singapura. Ini adalah kesan penulis atasnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Matilda adalah sebuah drama musikal terpuji.  Bukan saja dia memenangkan penghargaan 7 Olivier Awards untuk produksi West End-nya, dan 5 Tony Awards untuk produksi Broadway-nya, plus sebreg penghargaan lainnya—tetapi juga penonton di seluruh dunia sungguh-sungguh menggilainya.  Mungkin lantaran buku Roald Dahl yang menjadi dasar ceritanya sendiri sudah terkenal sejak penerbitannya di tahun 1988 telah menyihir banyak orang.  Ketika 22 tahun kemudian musikalnya muncul di panggung Royal Shakespeare Company (RSC), tepatnya di bulan November 2010, dunia sudah siap menyambutnya. 

 

Berbekal jutaan penggemar Roald Dahl, tentu musikal itu bisa punya potensi menjadi luar biasa terkenal.  Tetapi beban besar juga jelas menggayut.  Organisasi sehebat RSC-lah yang berani menanggung beban itu.  RSC meminta penulis jagoan dari Inggris, Dennis Kelly, untuk mengadaptasi novel anak-anak Dahl jadi drama.  Musik dan liriknya diserahkan kepada seniman serba bisa dari negeri kangguru, Tim Minchin.  Pilihan RSC tak salah.  Matilda melesat ke puncak popularitas di mata kritikus dan penonton sejak awal kemunculannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Tak butuh waktu lama, Matilda pindah dari RSC ke panggung Cambridge Theatre di West End.  Setahun saja.  Lalu, satu setengah tahun kemudian, Shubert Theatre di Broadway-pun memainkannya.  Antrean menonton Matilda mengular.  Ketika saya berkunjung ke Broadway di musim panas 2016, sama sekali tak ada tanda-tanda popularitasnya memudar.  Dari kedua ibukota musikal dunia itu, Matilda menjelajahi kota-kota lain di seluruh penjuru dunia.  Singapura adalah salah satu saja dari kota di mana Matilda sedang menyapa penggemarnya.  Beruntungnya, ini adalah produksi RSC langsung, bukan hanya lisensinya, seperti yang pernah mampir di Manila di tahun 2017 lampau.

 

Lalu, apa ada bedanya di West End dan Broadway dengan di Singapura?  Saya bisa bilang, tidak ada.  Situs Broadway World yang jadi rujukan para penggila musikal macam saya untuk mengetahui sedahsyat—atau sejelek—apa sebuah musikal dinilai secara kolektif oleh para kritikus, memberi nilai 8,91.  Itu angka yang sangat tinggi.  Dan kalau saya ditanya berapa nilai dari pertunjukan Matilda di Singapura kali ini, saya akan dengan senang hati bilang minimal 8,5. 

 

‘Entah mengapa’, kritikus-kritikus cerewet macam  Ben Brantley yang biasa menulis kolom musikal di The New York Times saja bisa jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada Matilda.  Dia kasih ponten 10.  Richard Zoglin, yang menulis di Time juga sama saja mabuknya, jadi turut memberi nilai sempurna.  Peter Marks, kolomnis seni di Washington Post agak lebih waras sedikit.  Dia kasih nilai 9.  Nilai yang sama juga diberikan oleh Terry Teachout, kritikus yang menulis di The Wall Street Journal.  Pendeknya, segala puja-puji dicurahkan kepada musikal ini.

 

Kadang-kadang saya berpikir, apakah para kritikus itu menjadi lebih ramah dari biasanya lantaran para protagonis di musikal ini adalah anak-anak, apalagi anak-anak yang menjadi korban dari kelakuan buruk orang dewasa.  Matilda mengembangkan mekanisme pertahanan diri dari perundungan oleh kedua orangtuanya dengan membaca buku yang ada di rumahnya, lalu hobinya itu semakin menjadi-jadi ketika mendapatkan pasokan buku dari penjaga perpustakaan dan perhatian khusus dari gurunya. 

 

Para kritikus juga cenderung memberi nilai yang luar biasa murah hati ketika membahas Oliver!, karya Lionel Bart yang disandarkan pada novel Oliver Twist yang ditulis Charles Dickens.  Oliver, protagonis pada musikal itu dimanfaatkan oleh pimpinan pengemis/pencopet untuk memastikan ‘pendapatan tak kena pajak’ bagi begundal itu.  Annie juga begitu.  Bukan cuma Annie seorang, yang disengsarakan dan melawan, tapi sepuluh anak yatim bersama-sama mengalahkan Miss Hannigan, pengurus rumah yatim yang pemabuk itu. 

 

Tapi, jelas sekali dari apa yang saya saksikan dari Matilda, ini bukan sekadar urusan jatuh cinta tak rasional kepada anak-anak yang menjadi protagonis itu.  Mereka memang anak yang malang, dan sudah sepantasnya menjadikan hati kita dipenuhi kasih sayang—seperti halnya perasaan kita pada Simba di paruh pertama musikal yang sempurna, The Lion King—tetapi penjelasan ‘kasihan’ itu tak memuaskan.  Musikal dengan tokoh-tokoh anak-anak itu memang brilian dalam cerita, musik, lirik, maupun koreografi.

 

Cerita beragam musikal itu sungguh terkenal, lantaran novel maupun filmnya adalah bacaan dan tontonan wajib bagi banyak orang, jadi saya merasa tak perlu menjelaskan lebih jauh.  Musik di Matilda adalah pesta bagi telinga siapapun.  Dia tak mengandung banyak reprise, tetapi hampir seluruh nadanya benar-benar mengalir ‘dari telinga turun ke hati’ begitu pertama kali mendengarnya. 

 

Lirik lagu maupun percakapannya adalah gabungan optimal kecerdasan dan selera humor luar biasa.  Saya suka sekali kalimat-kalimat “Even if you’re a little, you can do a lot”; “To change the world, it takes a little genius”; juga “Nobody but me is gonna change my story.”  Kalimat-kalimat itu benar-benar menonjok benak, menaklukkan ketakutan dan keraguan yang banyak dirasakan orang, anak-anak atau dewasa.  Nasihat lainnya, “Just because you find that life's not fair it doesn't mean that you just have to grin and bear it” membuat saya tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk.  Sindiran buat banyak orang diberikan lewat pernyataan ibu Matilda kepada sang guru, “Looks is more important than books” juga “You chose books, I chose looks.”  Banyak kalimat yang tak terlupakan dari musikal itu.

 

Dibandingkan perubahan-perubahan tata panggung yang luar biasa menakjubkan di Les Miserables, apa yang ditampilkan Matilda tentu tak cukup mengundang decak kagum.  Tempat tinggal Phantom yang ditunjukkan ketika dia menculik Christine Daae dalam Phantom of the Opera jelas punya sensasi lebih dahsyat.  Jelas pula, Matilda tak bisa menyaingi tata panggung yang menurut saya masih yang paling memuaskan mata sepanjang sejarah musikal, The Lion King

 

Tetapi, Matilda punya cara tersendiri yang membuat tata panggung yang tak canggih-canggih amat itu untuk bisa memuaskan mata penontonnya.  Kamar Matilda menghadirkan sensasi ganjil dan menakutkan, yang cuma bisa diobati oleh suara Matilda yang tak takut sama sekali berada di situ.  Saya tak tahu siapa yang menjadi Matilda malam tadi, lantaran dimainkan oleh empat anak sepanjang pertunjukan hingga pertengahan Maret nanti—di antaranya Sofia Poston yang berasal dari Singapura—tetapi suaranya yang terdengar luar biasa berani benar-benar mengurangi tekanan ketika menyaksikan dia dihukum ayahnya.  Suara yang sama juga membuat tekanan berkurang ketika buku yang sedang dibaca Matilda dirobek ayahnya karena membawa pengaruh ‘buruk’: kecerdasan dan keberanian melawan tirani.     

 

Ruang perpustakaan yang menjadi tempat perlindungan dan sumber oase bagi Matilda sangat menarik.  Mata yang awas bisa membaca beberapa kata kunci yang terpampang sebagai hiasan.  (Pengakuan: saya tak bisa membacanya secara langsung, tetapi setelah menjepretkan kamera ponsel ke panggung, lalu memerhatikan hasilnya, saya baru menyadari ada kata-kata itu).  Ruang kelas di mana Matilda mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari gurunya sederhana saja, demikian juga ruang keluarga rumah keluarga Matilda.  Gerbang sekolah yang dibuat menakutkan mengingatkan saya pada adegan Cell Block Tango di Chicago.        

 

Kalau tata panggungnya biasa saja, walau efektif untuk menghadirkan cerita yang mau disampaikan, saya harus bilang koreografi Matilda adalah salah satu yang terbaik dibandingkan dengan musikal dengan protagonis anak-anak.  Mungkin hanya adegan Food Glorious Food dan You’ve Got to Pick a Pocket or Two dari Oliver! saja yang bisa disetarakan dengannya.  Ya, memang sebaik itu.  Buat saya, salah satu alasan kuat mengapa Matilda pantas disebut sebagai The Musical of the Decade oleh Sunday Times adalah koreografinya.

 

Saya juga tak bisa menemukan cela dari produksi musikal yang hadir di Singapura ini.  Terkadang saya berpikir bahwa suara nyanyian Matilda dan teman-teman di sekolahnya kurang padu.  Tetapi, saya juga tak keberatan dengan itu.  Kalau membandingkan lagu gacoan musikal ini, When I Grow Up, pada versi West End dan Broadway—yang saya dengarkan berhari-hari sebelum menyaksikan versi negeri singa—dengan yang saya dengarkan semalam, mungkin yang paling saya sukai adalah versi West End-nya.  Tapi, versi Singapura juga tak kurang menggetarkannya. 

 

Bahwa produksi kali ini memilih untuk mengikuti versi West End, lengkap dengan logat British yang kental, juga saya sangat sukai, walau terkadang telinga tak bisa menangkap lirik lagu dengan jelas.  Soal logat, saya merasa hanya logat para penjahat Rusia yang mencari ayah Matilda karena menipu mereka dalam pembelian mobil masih kurang meyakinkan.  Tapi mungkin juga saya terlampau banyak mendengar logat tersebut di film-film Hollywood, sehingga saya merasa yang saya dengar itu kurang medok Rusianya.  Jadi, apakah kurang pas logat itu?  Mungkin da, mungkin juga nyet.    

 

Oh ya, hampir lupa, salah satu kalimat yang paling saya sukai dari musikal ini adalah “Sometimes you have to be a little bit naughty” agar bisa menyelesaikan berbagai tantangan yang menghadang.  Hanya saja, menurut istri saya, kalimat itu punya dua kemungkinan penekanan, yaitu sometimes dan naughty.  Yang berlaku buat saya, menurut dia, adalah penekanan yang pertama.  Saya setuju.

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu