x

Iklan

Rudi Fitrianto

Pengamat Kebijakan Publik, Politik dan Hukum
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemilu Serentak Dan Masa Depan Era Multi Partai

Pemilu serentak membawa kekhawatiran bagi beberapa kalangan terkait keberadaan masa depan Era Multi Partai di Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kontestasi politik dari awal kemerdekaan Indonesia sampai saat ini sudah berlangsung dengan berbagai macam kisahnya masing – masang. Era Demokrasi terpemimpin sampai dengan reformasi memberikan pelajaran berharga bagi Demokrasi Indonesia kedepan. Berbagai sistem pemilihan umum di Indonesia sudah pernah dilaksanakan di negeri tercinta ini – mulai dari pemilu melalui perwakilan sampai dengan pemilu langsung melalui keterlibatan rakyat untuk menggunakan haknya dalam memilih para wakil mereka untuk duduk di lembaga legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota) dan tetunya juga memilih jabatan bergengsi di Republik ini yakni lembaga eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia).

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-IX/2013 mengamantkan pemilihan umum nasional dilaksanakan serentak artinya Pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota) serta Pemilihan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan dalam waktu dan hari yang sama. Hal itu juga membawa konsekuensi tersendiri bahwa seharusnya tidak ada lagi batas ambang ( Presidential Treshold) atau zero percent pada tahun ini untuk mengusung calon Presiden dan wakil presiden tetapi dalam kenyataannya Politik kita belum menghendaki demikian masih banyak kepentingan di dalamnya untuk melaksanakan hal tersebut. Logika dalam hukum akan berbeda dalam kenyataanya jika sudah berbenturan dengan kepentingan politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Dalam hal lain yang menjadi keluhan berbagai partai politik di tanah air saat ini adalah batas ambang Parlemen ( Parlementary Treshold) yang dianggap sangat tinggi yakni 4 %. Angka tersebut tentunya tidak boleh dianggap enteng dan angin lalu. Beberapa bulan yang lalu dan bahkan beberapa hari terakhir berbagai macam lembaga survei seperti litbang Kompas memberikan hasil analisis dan datanya terhadap berbagai macam partai politik yang berkompetisi di Pemilu 2019 besok, dan hasilnya hanya beberapa partai politik yang masuk atau lolos dalam kedalam parlemen dan sisanya? Mereka rata – rata masih berada di angka dibawah 4 % , mereka kebanyakan bukanlah partai – partai yang baru saja lahir kemarin sore yang tidak lolos dalam parlemen, ada juga partai besar dan lama yang di dalam survei tidak lolos Parlemen tahun ini dan ini tentunya membuat kita kaget. Walaupun ini hanya sebatas angka – angka survei yang belum terbukti kebenaranya, tetapi bisa kita jadikan tolak ukur segala sesuatu yang akan terjadi kedepan. Jika hal ini terus berlanjut tentunya kedepan hanya

akan tersisa beberapa partai yang mampu “survive’ di dunia perpolitikan Indonesia kedepan. Apakah ini sebuah solusi dan perbaikan atau ancaman terhadap demokrasi Indonesia kedepan?

 

Era multi partai di Indonesia

 

Upaya untuk membenahi sistem pemilu kita sudah kita laksanakan dari tahun ke tahun hal ini tentunya agar membawa kebaikan bagi demokrasi Indonesia – dengan tantangan dan kompleksitas zaman wajib hukumnya sebagai sebuah bangsa harus bisa mengikuti dinamika zaman dan menjawabnya dalam bentuk sebuah kebijakan atau Undang – Undang. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dan salah satu terpanjang di dunia memiliki kekayaan suku, agama, dan etnis yang memberi warna pada negara ini. Kemajemukan itulah yang menjadikan negara ini “kaya”, dan tugas generasi sekarang dan mendatanglah yang wajib menjaga dan merawatnya. Dengan kemajemukan inilah agar keinginan, dan keluhkesah yang mereka sampaikan sebagai bagian dari warga negara Indonesia, dibutuhkanlah sebuah kendaraan politik yakni partai politik.

 

Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang partai politik pasal1 ayat 1, partai politik didefinisikan sebagai organisasi yg bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untukmemperjuangkan dan membela kepentigan politik anggota, masyarakat,bangsa dan negara, serta mempeliharakeutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu menurut beberapa ahli Partai politik merupkan bagian dari infrastruktur politik yang menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu. Menurut Carl J. Freiderich, partai politik adalan suatu kelompok manusia yang diorganisir secara stabil dengan tujuan mengamankan atau memelihara penguasan para pemimpinya atas suatu pemerintahan , dengan demikian dapat memberikan angota anggotanya keuntungan serta kelebihan ideal maupun material. Partai politik mempunyai fungsi : a). Sebagai sarana komunikasi politik, b). Sebaga sarana sosialisasi politik, c). Sebagai sarana rekrutmen politik, d).sebagai sarana pengatur konflik.

 

Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini negara kita sudah mengalami pasang surut sejarah dari tiga orde yakni Orde lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, tiga fase tersebut memberikan pelajaran sejarah penting bagi perjalanan bangsa kita kedepan. Ketika Orde lama negara Indonesia tengah berjuang untuk mempertahankan hasil kemerdekaan yang sudah diperjuangkan oleh para pahlawan agar tidak kembali jatuh ketangan penjajah. Pada saat inilah fondasi bernegara kita tegah disusun dan dikonsepkan oleh para founding fathers dan founding mothers negara ini. Dimana konstitusi dasar dan ideologi bangsa kita disusun oleh tangan – tangan suci dan pemikir ulung serta handal yang berfikir kedepan. Partai politik pada saat itu sudah ada, pemilu pertama kali diikuti oleh sekitar 172 partai. Jumlah yang sangat banyak dan sebenarnya tidak efektif karena masing-masing partai lebih mementingkan kelompok dan golongannya. Dari 172 partai yang ada, hanya ada 4 partai besar sebagai pemenang pemilu, yaitu Partai Nasional Indonesia, Partai Masyumi, Partai Nadhatul Ulama, dan Partai Komunis Indonesia.

 

Pada masa Orde Baru negara Indonesia tengah giat – giatnya membangun infrastruktur dan Sumber Daya Manusia, Indonesia banyak mengirimkan para putera – puteri terbaik bangsa untuk belajar di Luar Negeri dari jenjang Magister hingga Doktor dengan harapan agar mereka kembali dari menuntut ilmu dapat membangun Indonesia kedepan lebih baik. Pemiliha umum pada era ini berlangsung sekitar enam kali sejak tahun 1971 sampai 1998. Pada pemilu tahun 1977, 10 partai peserta pemilu ikut serta dan dimenangkan Golongan Karya yang diketuai oleh Soeharto, Namun, sejak dikeluarkannya UU Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik, peserta pemilu menjadi berkurang, hingga menyisakan tiga partai yakni; Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia ( PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan. Setelah rezim Orde Baru lengser pada tahun 1998 karena tuntutan para mahasiswa yang menginginkan reformasi diakibatkan keadaan sosial, hukum dan ekonomi waktu itu yang dianggap kurang baik maka membawa konsekuensi perubaan cukup drastis bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia saat itu. Partai politik pada era ini makin tumbuh subur dan sistem pemilihan umumpun sudah berubah, Pemilihan umum secara langsung pertama kali dilaksankan pada tahun 2004 yang menghantarkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, pada tahun ini kontestasi pemilu diikuti oleh 24 partai politik diantaranya; Partai Nasional Indonesia Marhaenisme , Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Merdeka, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Amanat Nasional, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Damai Sejahtera, Partai Golongan Karya, Partai Patriot Pancasila, Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Daerah dan Partai Pelopor. Dari ke 24 partai tersebut hanya 15 partai politik yang lolos ke DPR RI dan mempunyai wakil rakyat duduk disana.

 

Pada tahun 2009 seperti tahun 2004 pemilu ketika itu menggunakan menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh antara lain. Partai Politik Nasional pada tahun ini yang ikut dalam kontestasi antara lain; Partai NasDem , Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Sedangkan partai lokal Aceh antara lain; Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA), dan Partai Bersatu Aceh (PBA). Dari 38 partai politik nasional hanya 14 partai yang mendapatkan kursi di DPR RI. Sedangkan pada tahun 2014 yang lalu konstetasi politik kita juga dimeriahkan oleh wajah – wajah lama dan baru, ada 12 partai politik nasional yang lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPU dan tiga partai lokal Aceh. 12 Partai Nasional tersebut antara lain; Partai NasDem , Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Sedangkan ketiga partai daerah asal Aceh diantaranya ialah Partai Damai Aceh (PDA), Partai Nasional Aceh (PNA), Partai Aceh (PA). Partai Nasional yang lolos parlemen pada tahun ini hanya berjumlah 10 partai dari 12 partai yang ada.

 

Bagaimana dengan 2019 besok? Tahun ini pemilihan umum dilaksankan dengan serentak antara pemilihan anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota) dengan pemilihan Presiden dan wakil Presiden. Tahun ini ada 16 partai politik nasional yang dinyatakan lolos verifikasi oleh KPU dan empat partai daerah Aceh. Partai Nasional tersebut ialah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasdem, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), Partai Berkarya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Sedangkan empat partai daerah Aceh diantaranya yakni Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Daerah Aceh (PDA), dan Partai Nanggroe Aceh (PNA). Dari 16 partai yang berlaga tahun ini ada berapakah yang mampu lolos Parlementary Treshold tahun ini? Hanya menunggu hitungan hari yang akan menjawabnya besok.

 

Antara Solusi dan Ancaman

Seperti diutarakan sebelumnya pemilihan umum tahun ini sangat berbeda dengan tahun 2004, 2009, dan 2014, apa yang membedakan? Hal yang membedakan adalah pelaksanaan pemungutan suara antara Pileg dan Pilpres. Pada tahun – tahun sebelumnya pileg dan pilpres di laksanakan secara terpisah dalam artian tidak dilaksanakan dalam hari dan waktu itu juga tetapi berbeda bulan dan hari. Pada tahun 2004, 2009, dan 2014 hasil pemilihan legislatif menjadi prasarat bagi partai politik mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mereka dukung dalam bentuk koalisi untuk memenuhi Presidential Treshold (PT). Hal yang menarik dalam sejarah pemilihan umum langsung yang dilaksanakan dalam sejarah bangsa ini ialah pada tahun 2009 ketika Partai Demokrat menang mutlak mendapatkan suara nasional sebesar 21 % yang artinya waktu itu sudah mencukupi hanya Partai Demokrat saja tidak perlu adanya koalisi untuk mendukung SBY- Boediono, karena PT pada waktu itu hanya 20% tetapi kenyataanya Partai berlambang mercy tersebut memilih membentuk koalisi yang “gemuk” untuk mengusung SBY- Boediono menjadi berlaga merebut RI 1 periode 2009 – 2014. Sebenarnya dalam sistem Presidential pada hakekatnya tidak mengenal sistem koalisi partai, seperti halnya Amerika Serikat mereka tidak mengenal koalisi dan sistem pemerintahan mereka adalah Presidential murni.

 

Dalam berbagai kesempatan bahkan di dalam buku “Selalu Ada Pilihan” yang ditulis oleh Presiden SBY, beliau mengatakan bahwa beliau memilih membuat koalisi yang terdiri dari berbagai macam partai politik dengan alasan agar Politik kita lebih stabil dan program – program pemerintah dapat berjalan dengan baik. Dan memang kenyataanya saat ini DPR kita mempunyai “power” lebih besar dari seorang presiden (legislatif heavy), jika dulu dalam era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, Presidenlah yang mempunyai power lebih besar dari lembaga legisliatif (eksekutif heavy). Tidak berbeda dengan Presiden SBY (2004 – 2014), Pasca pilpres 2014 Presiden Jokowi juga mengikuti jejak Yudhoyono, memilih untuk membuat koalisi yang dulu mengusungnya pada pilpres 2014 ditambah partai – partai “baru” yang loncat dari Koalisi Merah Putih seperti Golkar dan PPP.

 

Pemilihan umum tinggal beberapa hari lagi berlangsung beberapa lembaga survei berlomba mengumumkan data mereka dalam melakukan survei, seperti halnya survei terakhir dari litbang kompas yang dirilis tanggal 21 maret 2019 dan telah dilakukan pengambilan data sekitar 22 februari – 5 maret 2019 menyebutkan ada tujuh partai politik lama dan baru yang tidak lolos parlemen. Sedangkan klasemen satu dan dua di isi oleh PDIP dan Gerindra. Selain itu menurut survei dari CSIS Indonesia (Center for Strategic and Internasional Studies) yang baru saja dirilis tanggal 28 maret 2019 , menampatkan PDIP dan Gerindra menjadi juara satu

dan dua. Sedangkan menurut CSIS ada empat partai politik yang tidak lolos Parlemen Treshold. Lalu bagaimana dengan Partai Demokrat yang menjadi juara umum pada Pileg 2009 yang lalu? Menurut kedua survei tersebut dan beberapa survei Partai Berlambang Mercy ini masih berkejaran dengan PKB untuk menduduki posisi empat besar sedangkan Golkar stabil di posisi tiga besar. Walaupun hanya sekedar hasil survei tentunya memang dapat berubah tetapi ini bisa menjadi gambaran dan tolak ukur para politisi dalam berkampanye kedepan.

 

Mengapa partai politik seperti PDIP dan Gerindra bisa menempati urutan satu dan kedua? Ini karena faktor capres utama yang mereka usung, Pak Jokowi merupakan kader partai PDI Perjuangan sedangkan Pak Prabowo ketua umum Partai Gerindra. Partai – partai pendukung utama capres dan cawapres inilah yan mendapatkan berkah secara elektoral dari tingkat elektabilitas para kandidat tersebut. Bagaimana dengan partai – partai lain yang “terseok – seok” dalam pemilu tahun ini? Partai – partai tersebut bukanlah pendukung utama capres dan cawapres sehingga secara elektoral mereka tidak cukup mendapat berkah. Bagaimana dengan Golkar dan Demokrat serta PKB? Golkar merupakan salah satu partai modern saat ini, partai ini walaupun tidak mempunyai kader utama yang bertanding di Pilpres 2019 tapi elektabilitas mereka tetap stabil karena akar ruput dan konstituen Partai Golkar sangat kuat dan loyal. Sedangkan PKB bisa berebut juara ke empat dengan Demokrat, ini karena faktor Pak Kyai Maaruf Amin yang secara emotional sangat dekat dengan partai ini. Jika benar PKB kelak dinyatakan KPU menjadi juara ke empat ini merupakan lompatan yang baik karena sebelumnya masih dibawah Demokrat. Lalu mengapa Demokrat pada tahun 2009 menjadi juara umum dan tahun 2014 menjadi juara ketiga kini sedang berjuang posisi ke empat? Partai berlambang mercy tersebut tentu saat ini tidak punya kader utama yang berlaga di Pilpres 2019, sedangkan pada tahun 2009 menjadi juara umum mereka partai yang sedang naik daun karena partai ini dulu sangat konsisten memerangi korupsi dan partai utama pendukung SBY. Sedangkan 2014 posisi demokrat bisa disalip oleh Gerindra dan PDIP karena berbagai kasus kader partai berlambang mercy ini sering menjadi pemberitaan utama berita nasional saat itu khususnya kasus korupsi yang menjerat ketua umum dan kader utamanya.

Ada sejumlah kegelisahan dari berbagai pihak di sosial media dan berbagai forum diskusi tentang pemilu kita saat ini, jika pemilu serentak ini tetap di pertahankan apakah sistem multi partai yang sekarang Indonesia anut akan lenyap dan hilang menjadi dua partai seperti Amerika Serikat? Apakah ini solusi untuk perbaikan demokrasi Indonesia kedepan ataukah sebuah permasalahan baru? Lantas cocokah Indonesia menganut sistem dua partai?

 

Pemilu serentak saat ini dilaksanakan adalah konsensus para stakeholders tentunya keputusan politik DPR kita saat ini. Mungkin beberapa partai saat pembahasan setuju ada pula yang menolaknya. Jika ada yang keberatan tentunya kemarin bisa mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi seperti beberapa perwakilan kelompok yang menggugat batas ambang presiden. Memang batas ambang parlemen tahun ini secara objektif sangat tinggi dibandingkan tahun – tahun sebelumnya dan wajar seperti pernyataan AHY pada saat itu partai Demokrat menjalankan Double Track Strategi yakni fokus pada Pilpres tetapi juga tidak meninggalkan Pileg. Karena mereka sadar Pileg tahun ini sangat berat dan secara elektoral mereka tidak cukup banyak mendapat elektoral dari Capres yang mereka usung. Jika pemilu serentak tetap dilaksankan kedepan menurut saya inilah merupakan langkah sebuah penghematan anggaran negara karena tidak harus dua kali pemilihan umum yang terpisah seperti tahun – tahun sebelumnya, dan apabila sistem ini tetap dilaksanakan dengan PT yang sama sistem multi partai akan tetap ada kecuali sistem pemilu serentak dilaksanakan dengan PT yang lebih tinggi pastinya sistem multi partai akan lenyap dan menyisahkan dua partai seperti Amerika Serikat – bisa keduanya nasionalis atau nasionalis dan religius atau agama. Kedepan perlu musyawarah bersama untuk mendiskusikan sistem pemilu kita untuk mencapai konsensus dan solusi atas kekhawatiran ini.

 

Apakah sistem dua partai merupakan solusi dari berbagai peristiwa politik dewasa ini atau sebuah ancaman bagi demokrasi? Sistem dua partai juga membawa dampak yang baik bagi demokrasi, politik dan sistem ketatanegaraan kita. Di aspek demokrasi sistem dua partai akan menghasilkan kualitas demokrasi yang baik seperti hoaks dan ujaran kebencian juga lebih bisa diminimalisir, parlemen kita akan diisi oleh orang – orang yang sangat terpilih. Di aspek politik keuntunganya sistem politik biaya mahal di Politik kita akan berkurang dan masyarakat akan cenderung memilih partai dan pemimpin secara rasional, pemerintah juga dapat bekerja secara efektif karena kabinet di isi oleh orang – orang yang profesional dari latar belakang mereka masing – masing bukan berasal dari titipan partai koalisi, serta sosial politik kita akan lebih stabil karena partai oposisi hanya tersisa satu saja. Sedangkan aspek ketatanegaraan juga ada manfaatnya yakni penguatan sistem presidential yang kita anut, seperti halnya Amerika tidak mengenal sistem koalisi. Sistem dua partai juga mempunyai beberapa hal negatif yakni apabila partai politik yang tersisa hanya kedua – duanya nasionalis saja maka mereka yang berasal dari kelompok agama dikhawatirkan aspirasi mereka tidak didengar, karena partai tidak mewadahi kepentingan mereka. Berbeda dengan sistem multi partai yang ada saat ini dan tahun – tahun sebelumnya, partai politik tidak hanya berasal dari kalangan agama saja tapi juga

nasionalis, semua aspirasi dan kepentingan mereka dapat diperjuangkan melalui partai politik yang mereka pilih. Apakah Indonesia sudah siap dengan sistem tersebut? Indonesia saat ini belum siap untuk sistem dua partai yang paling rasional ialah masih sistem multi partai seperti sekarang ini karena didasarkan pada historis dan latar belakang bangsa ini yang majemuk.

Fitrianto

Pemerhati Politik dan kebijakan publik

Ikuti tulisan menarik Rudi Fitrianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler