x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 16 Mei 2019 17:21 WIB

Sssttt... Jaga Pikiran, Bung Besar Mengawasimu

Novel 1984 ditulis George Orwell 70 tahun yang lampau. Masih terasakah relevansinya kini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

‘Perang ialah damai. Kebebasan ialah perbudakan. Kebodohan ialah ketakutan.’

--1984, George Orwell

 

Di suatu siang, memasuki sebuah toko, terbaca sebuah tulisan di dinding kaca. Tertulis di situ: toko ini dilengkapi dengan CCTV. Maknanya jelas: ini peringatan agar pengunjung toko jangan mencoba-coba mengutil barang dagangan, sebab urusannya bisa berabe. Tak cukup permintaan maaf agar dimaafkan oleh penjaga toko. Sejenak saya agak kaget, lalu kesadaran saya tiba-tiba sampai kepada ingatan tentang novel karya George Orwell, judulnya 1984.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pesan penting yang ingin disampaikan figur dalam cerita rekaan Orwell, yang ditulis pada tahun 1949, itu senada dengan pesan yang tertulis di dinding kaca toko tadi: kamu diawasi, jadi jangan macam-macam. Di beberapa sudut toko itu memang terpasang kamera, sedangkan di atas kasir terpampang layar monitor yang menayangkan gerak-gerik pengunjung toko.

Dalam novel 1984, bos dari pengawas itu tentu saja bukan kasir, melainkan sosok yang dijuluki big brother—edisi terjemahan Indonesia karya ini, yang dikerjakan oleh Landung Simatupang, memakai sebutan Bung Besar. Bung Besar merupakan sosok terpenting dalam masyarakat superstate Oceania—masyarakat rekaan Orwell. Siapapun harus patuh kepada Bung Besar, pemimpin puncak Partai yang mengatur kehidupan warga.

Dikisahkan oleh Orwell, wajah Bung Besar menghiasi poster-poster di seantero Oceania maupun layar-layar teleskrin berukuran raksasa di Victory Square, di London, salah satu kota di Oceania. Mata Bung Besar tidak lepas mengawasi warga yang berlalu-lalang, makan, minum, bekerja, berbicara, bercakap-cakap, maupun tidur. Sedetikpun warga tidak lepas dari kamera dan mikropon. Jangan pernah berbicara perkara privasi. Ruang tidur pun tak luput dari pengawasan.

Seperti di toko tadi, warga terus-menerus diingatkan melalui slogan ‘Bung Besar sedang mengawasimu’. Ke arah manapun warga berpaling, mereka akan melihat layar lebar itu berpendar-pendar dan mengeluarkan suara-suara, yang berfungsi mengawasi, memperingatkan, dan merekam gerak-gerik warga. Ucapan dan gerak-gerik warga Oceania dipantau terus oleh Bung Besar dan bawahannya, lalu dianalisis ada atau tidak ucapan yang menghasut atau membahayakan negara. Tak boleh ada keraguan sedikitpun kepada Bung Besar.

Bersiaplah untuk "dicyduk". Itulah yang dialami salah satu karakter dalam cerita Orwell ini. Namanya Winston Smith, seorang pegawai kecil di Kementerian Kebenaran. Ia ditugasi untuk menulis ulang sejarah sesuai petunjuk Partai dan Bung Besar. Smith memantau media, memeriksa perkataan tokoh-tokoh, dan jika tidak sesuai dengan kenyataan masa kini seperti dikehendaki Partai, perkataan itu direvisi dan diterbitkan ulang. Narasi baru (newspeak) dibangun, narasi lama (oldspeak) yang bisa dimanfaatkan untuk membangkang dilenyapkan.

Meski ditugasi memantau media, Smith bukannya orang bebas. Ia adalah pegawai yang juga diawasi. Bukan hanya perilaku Smith yang diawasi, tapi juga kata-katanya, bahkan pikirannya diawasi, dicatat, dan dianalisis. Hingga kemudian Smith dikategorikan oleh Bung Besar sebagai warga yang pikirannya harus dibersihkan. Rupanya ia ketahuan menyimpan rahasia dalam sudut pikirannya.

Dalam novel yang diterbitkan oleh Bentang Budaya pada 2003 itu (dan sudah diterbitkan ulang oleh Bentang Pustaka), Orwell menggambarkan bagaimana pengaruh kekuatan Bung Besar. Orwell menulis: “Mata yang menghipnotis itu menatap ke dalam mata Winston. Seolah suatu kekuatan yang sangat besar sedang menekanmu—sesuatu yang menembus tengkorakmu, memukul-mukul otakmu, menakut-nakuti kamu supaya melepaskan keyakinan itu, membujukmu untuk menyangkal bukti yang tertangkap indramu. Pada akhirnya Partai akan mengumumkan bahwa dua tambah dua itu lima, dan kau akan terpaksa mengakuinya.”

Jika Bung Besar berkata dua tambah dua sama dengan lima, tidak ada pilihan bagi siapapun kecuali berkata dua tambah dua itu lima. Jika kali lain Bung Besar bila dua tambah dua itu sama dengan tujuh, siapapun harus mengiyakannya. Kepatuhan yang sama dituntut dari Smith. Di sebuah kamar, otak Smith dicuci berulang kali sampai bersih sehingga ia kini cinta Bung Besar. Ya, ia kini cinta Bung Besar dan tak punya rahasia lagi. >>>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB