KB dan Dinasti Politik
Jumat, 17 Mei 2019 08:56 WIBMelalui hubungan kekerabatan, banyak politikus berusaha melanggengkan kekuasaannya.
Koran Tempo edisi Kamis, 16 Mei 2019, menyuguhkan gambar yang sepintas lalu mengingatkan pada logo Keluarga Berencana (KB). Untuk mendorong masyarakat mengikuti program KB, pemerintahan Orde Baru menciptakan logo yang menggambarkan sebuah keluarga dengan dua orang anak. Ketika melihat logo itu di Koran Tempo, saya bertanya-tanya: apakah KB digalakkan kembali?
Rupanya, yang dimaksud Koran Tempo bukan keluarga berencana, melainkan keluarga berpolitik. Asosiasi yang menggelitik. Hanya saja, jika keluarga berencana mendorong ayah dan ibu untuk memiliki dua orang anak saja, keluarga berpolitik jelas berbeda. Koran Tempo mengangkat fenomena yang sudah sama-sama kita tahu: bukan hanya suami, isteri, anak, tapi juga keponakan, sepupu, adik, maupun kakak, ramai-ramai terjun ke dunia politik.
Seperti halnya bisnis, politik menjadi lahan garapan baru yang menarik bagi banyak orang. Mereka tahu, dengan mendekati atau bahkan terjun ke dunia politik, akses kepada kekuasaan dan pengambilan keputusan akan semakin terbuka. Sebagian orang barangkali terjun ke politik dengan tujuan mulia: memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Sayangnya, banyak orang terjun ke politik untuk maksud berbeda—jika belum punya akses ke sumber ekonomi, politik adalah jalannya; jika sudah punya beberapa perusahaan, politik adalah jalan untuk membesarkan kerajaan bisnisnya.
Pemilihan gubernur, bupati, walikota, maupun anggota legislatif yang bersifat langsung telah membuka jalan bagi siapapun untuk mengadu nasib di jagat politik. Sebagian orang dengan percaya diri maju berbekal polularitas namanya. Lainnya maju karena telah memiliki cukup bekal di kantong untuk membiayai pendakian menuju kursi kekuasaan, walau tak menjamin ia tidak akan berusaha mengembalikan modalnya.
Ketika satu orang dalam keluarga berhasil dan terpilih, mulailah sanak saudaranya ikut serta mengadu nasib. Jika suami sudah usai menjabat bupati, ganti istrinya yang maju. Jika bapak ibu sudah selesai menjabat walikota, ganti anak atau keponakan yang maju. Maka, sepupu, kakak, dan adik pun mulai tergoda untuk berkompetisi, tanpa peduli apakah punya bekal pengetahuan dalam isu-isu politik dan pemerintahan atau tidak sama sekali.
Tidak heran bila banyak orang kemudian gagap ketika terpilih sebagai anggota legislatif atau pejabat pemerintahan. Mereka tidak memiliki kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan yang memiliki aturan main tersendiri. Bayangkan, seorang kepala daerah membatalkan pengangkatan puluhan pejabat yang sudah dilantik oleh wakilnya lantaran secara prosedural tindakan wakilnya itu keliru. Rupanya, wakilnya tidak paham seluk-beluk administrasi pemerintahan.
Di DPR pusat, sejumlah nama yang sangat mungkin terpilih dalam pileg tahun ini—walaupun belum diresmikan—masih memiliki hubungan pertalian kerabat. Mereka bisa masuk dalam kompetisi lantaran partailah yang merekomendasikan, sementara banyak partai diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Seperti dipaparkan Koran Tempo, banyak calon anggota legislatif berkerabat dengan pejabat pemerintahan ataupun petinggi partai politik. Hubungan itu bisa orang tua dan anak, suami dan isteri, paman dan keponakan, dan seterusnya.
Pendeknya, mereka mempraktikkan apa yang disebut sebagai politik dinasti, yakni membangun karir di dunia politik atas dasar kekerabatan. Mereka sekaligus mewujudkan apa yang disebut dinasti politik, yakni membangun silsilah kekuasaan melalui gelanggang politik. Sebagai sebuah dinasti, seseorang yang harus melepaskan jabatan tertentu karena aturan membatasi, ia kemudian digantikan oleh kerabatnya. Ada bupati yang habis masa jabatannya, digantikan isterinya. Atau ayahnya selesai jadi walikota, keponakannya menggantikan. Ada lagi walikota yang sudah menjabat dua periode dan kemudian ditahan KPK di akhir masa jabatannya, ia digantikan oleh isterinya yang terpilih untuk periode berikutnya.
Masyarakat kita kelihatannya tidak begitu mempedulikan soal politik dinasti. Bahkan, partai-partai politik tampaknya memakai kekerabatan sebagai cara untuk menarik suara rakyat terhadap pencalonan kandidat baru, yang bisa jadi istri, anak, kakak, atau menantu. Dan praktik seperti dilakukan hampir di semua partai. Rakyat seakan tidak peduli bahwa praktik semacam ini berpotensi merintangi jalan calon-calon lain yang memiliki kapasitas dan kompetensi lebih baik, tapi tidak memiliki kerabat yang menjadi petinggi partai atau sudah lebih dulu menjadi pejabat pemerintahan.
Melalui hubungan kekerabatan, banyak politikus berusaha melanggengkan kekuasaannya. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler