x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 25 Juni 2019 11:35 WIB

Andai Aktivis Berkuasa

Sebagian aktivis mungkin saja berhasrat menjajal kemampuannya menjadi pengambil keputusan di pemerintahan, mengatur nasib orang banyak, dan sedikit bermain-main dengan kewenangan kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebutan atau atribut ‘aktivis’ tampaknya punya bobot tertentu di sebagian kalangan masyarakat. Misalnya saja, aktivis hak asasi manusia, aktivis buruh, aktivis demokrasi, aktivis antikorupsi, maupun aktivis ’66 dan aktivis ’98. Bobot itu muncul barangkali karena adanya kesan di masyarakat bahwa para aktivis ini sungguh-sungguh bergiat diri dalam membela hak asasi manusia, memperjuangkan hak kaum buruh, menegakkan demokrasi, menentang kesewenangan kekuasaan.

Atribut ‘aktivis’ memang memiliki konotasi positif: idealis, penuh semangat, pemberani, jujur, lantang menentang ketidakadilan, menyuarakan kehendak rakyat, dan banyak konotasi positif lainnya. Aktivis dapat diandalkan manakala banyak orang tidak berani bersuara saat rakyat menghadapi tekanan. Sebagian di antara mereka bahkan berjuang hingga titik darah penghabisan dan tidak pernah diungkap kebenaran peristiwanya hingga kini.

Mereka umumnya berusia muda, karena itu dianggap ‘tidak punya pusar’ alias urat takutnya sudah telanjur kebal. Sebagian lagi meskipun sudah beranjak tua tapi tetap disebut aktivis karena memang masih aktif menjalankan aktivitas sehari-hari yang berkelanjutan, seperti mendampingi rakyat yang tergusur ‘atas nama pembangunan’. Tapi, ada pula orang-orang yang menyebut diri atau disebut oleh orang lain sebagai aktivis walaupun kegiatannya sebagai aktivis itu sudah lampau, bahkan berpuluh tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Atribut ‘aktivis’ tetap dipakai oleh sebagian orang, kadang-kadang dengan tambahan ‘mantan’, karena sebenarnya sudah lampau. Atribut aktivis yang terkait dengan momen historis tertentu, seperti peristiwa tahun 1966 dan 1998, lazimnya melekat unsur-unsur nostalgia di dalamnya—sebutlah, kenangan akan heroisme perjuangan menentang kekuasaan yang dianggap lalim.

Berbeda dengan aktivis hak asasi yang masih bergiat diri dalam bidangnya selama bertahun-tahun, aktivis momen historis biasanya terkait dengan momen yang berlangsung mingguan hingga bulanan. Ketika pergolakan mereda, aktivitas pun beralih menuju ke arah normalitas. Sebutan aktivis ’66, aktivis ’78, dan aktivis ’98 hanya terkait dengan momen tertentu dalam sejarah bangsa ini. Bila atribut itu terus disandang, barangkali karena dianggap bernilai sejarah.

Muatan nostalgia akan kejuangan dan heroisme itu memang tidak mudah dilepaskan sebagai bagian masa lalu semata. Sebagian orang merasa senang dapat membawa serta kenangan hingga masa-masa kemudian. Salah satunya karena masa itu, biasanya masa-masa usia muda, semangat melawan kelaliman, ketidakadilan, dan tanpa beban urusan lain, sedang memuncak. Idealisme menyelimuti pikiran dan hati, pantang takut menentang kesewenangan.

Setelah satu generasi berlalu, mampukah aktivis mempertahankan idealisme yang mereka banggakan di waktu muda? Mereka kemudian hidup di ‘dunia nyata’ dan menyadari realitas hidup. Bukan berarti dulu mereka hidup di dunia maya atau virtual, melainkan kini mereka terpaksa atau bahkan memilih secara sadar untuk bersikap realistis menghadapi kehidupan. Gemerlap dunia begitu menggoda, tak terkecuali kuasa. Sebagian orang, seperti George Junus Aditjondro dan Munir, mampu mempertahankan ‘nilai-nilai aktivis’, hingga beranjak tua, bahkan ketika kematian menjemput, tak tergoda nikmat berkuasa.

Sebagian aktivis mungkin saja berhasrat menjajal kemampuannya menjadi pengambil keputusan di pemerintahan, mengatur nasib orang banyak, dan sedikit bermain-main dengan kewenangan kekuasaan. Sebagian lainnya terjun ke politik dan kekuasaan dengan idealisme ingin mengubah sistem dan nilai-nilai yang dulu mereka kritik, tapi kemudian menemukan kenyataan betapa sukar memperbaiki keadaan. Atau, mereka malah larut di dalamnya atau tak berkutik karena terbebani oleh atribut baru: staf ahli.

Tak perlu berandai-andai bagaimana jika aktivis berkuasa, sebab sudah banyak aktivis duduk di kekuasaan. Sebagian mereka tidak lagi sanggup menjadi lidah, mata, dan telinga rakyat seperti ketika menjadi aktivis yang sebenarnya. Dalam posisi baru mereka, mantan aktivis itu tahu benar bagaimana mengatasi gejolak yang dimotori aktivis ‘beneran’. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler