x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 1 Juli 2019 12:30 WIB

Oposisi itu Mirip Sparring Partner

Di negeri ini, oposisi dipersepsikan secara buruk sebagai tukang kritik, tukang bantah, senang mencari-cari kesalahan, bahkan suka ngeyel. Persepsi buruk karena salah paham mengenai fungsi oposisi ini membuat partai-partai yang ada di dalamnya mendapat kesan buruk pula, sehingga mungkin saja partai-partai enggan mengambil posisi ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Siapakah yang akan menjalankan fungsi-fungsi koreksi, kritik, pemberi alternatif kebijakan, dan check and balances bila seluruh partai bergabung ke dalam pemerintahan? Lazimnya, fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh parlemen atau DPR. Tapi, jika seluruh partai yang memiliki kursi di parlemen juga punya wakil di kabinet pemerintah, akankah para anggota DPR menjalankan fungsi-fungsi tadi secara optimal?

Apabila ada satu partai yang memilih duduk di parlemen saja walaupun ditawari masuk kabinet, mungkin saja fungsi-fungsi tadi masih bisa berjalan. Meskipun, fungsi tadi mungkin saja tidak berjalan optimal dan efektif, sebab anggota DPR dari partai ini akan dikeroyok oleh partai-partai pro-pemerintah. Jika ada dua partai serupa, masih lumayan sebab masih ada teman untuk diajak berpikir dan menjalankan fungsi tadi bersama-sama. Jikalaupun dikeroyok oleh mayoritas parlemen, setidaknya masih ada teman untuk curhat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sistem demokrasi, oposisi—ada yang merasa lebih nyaman dengan istilah ‘penyeimbang’, ada pula yang memakai sebutan ‘oposisi konstruktif’ agar tidak terkesan serem—merupakan unsur penting dan sangat diperlukan. Kritik dan koreksi merupakan unsur penting agar kebijakan pemerintah berjalan di atas rel yang benar. Oposisi juga dapat menawarkan alternatif kebijakan sekaligus untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka bukan asal kritik, melainkan punya alasan tertentu dan memiliki alternatif. Ibarat bermain tinju, oposisi mirip dengan sparring partner untuk memperkuat dan mendewasakan demokrasi kita.

Bila pemerintah terlalu kuat berkat dukungan banyak partai yang lebih suka berada dalam habitat pemerintahan, keluhan rakyat berpotensi kurang memperoleh perhatian. Partai-partai penyeimbang di DPR dapat mengefektifkan fungsi penampung keluhan rakyat. Bila saluran resmi tersebut tidak berjalan normal karena anggota DPR enggan mendengarkan keluhan dan menyalurkan aspirasi rakyat, bukanlah hal yang keliru bila kemudian rakyat memilih untuk turun ke jalan. Ketidakpuasan yang tersalurkan melalui institusi parlemen berpotensi akan lebih baik.

Sayangnya, di negeri ini, oposisi dipersepsikan secara buruk sebagai tukang kritik, tukang bantah, senang mencari-cari kesalahan, bahkan suka ngeyel. Persepsi buruk karena salah paham mengenai fungsi oposisi ini membuat partai-partai yang ada di dalamnya mendapat kesan buruk pula. Ini berpotensi kurang baik pada masa-masa pemilihan, sehingga mungkin saja partai-partai enggan mengambil posisi ini.

Situasi kurang menguntungkan yang dihadapi partai-partai oposisi ini tidak mudah diubah mengingat sekarang zaman ‘pasca-kebenaran [post-truth]’. Pertempuran narasi menjadi sangat menentukan apakah sebuah fakta objektif akan mampu bertahan dan diakui kebenarannya atau tenggelam oleh opini yang, karena disebarkan secara luas dan diamplifikasi secara berulang-ulang, dianggap sebagai kebenaran. Kemampuan dan strategi komunikasi partai-partai oposisi menghadapi tantangan serius oleh situasi ini.

Di alam demokrasi, jika ada partai yang bersedia duduk di kursi oposisi alias penyeimbang, maka pilihan tersebut harus diapresiasi. Partai ini menjalankan apa yang baik bagi demokrasi karena mudah-mudahan pengawasan terhadap kerja pemerintah berjalan baik walaupun mungkin mereka harus bekerja keras mengingat minoritas di parlemen. Tanpa pengawasan, koreksi, tawaran kebijakan alternatif, pemerintah dapat berjalan semau gue. Apakah koreksi dan tawaran itu kemudian didengar oleh pemerintah, lain soal. Tidak ada oposisi yang sia-sia karena menyuarakan pandangan rakyat yang berbeda dari pemerintah.

Tidak perlu bersikap nyinyir terhadap partai-partai yang memilih jadi penyeimbang atau oposisi dengan ejekan ‘kasihan, gara-gara gak diajak gabung ke pemerintahan’ atau 'minoritas yang terkucil'. Mereka mengambil posisi berbeda namun sama-sama diperlukan agar sistem demokrasi berjalan semestinya demi kebaikan rakyat, bukan untuk sekedar tampil beda. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu