Rektor Heri Hermansyah: Bersih-Bersih UI di Tengah Riuh Kepentingan
2 jam lalu
Universitas Indonesia dalam dua tahun terakhir menjadi sorotan nasional. Di satu sisi, prestasi akademik melesat
***
Jakarta - Universitas Indonesia dalam dua tahun terakhir menjadi sorotan nasional. Di satu sisi, prestasi akademik melesat: QS World University Rankings 2025 menempatkan UI di posisi 189 dunia, melampaui Ohio State University di Amerika Serikat.
Sebuah lompatan bersejarah, pertama kalinya UI menembus 200 besar global. Namun di sisi lain, hiruk-pikuk isu integritas akademik nyaris menenggelamkan capaian monumental ini.
Kasus yang paling ramai adalah skandal program doktoral Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG). Nama Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi, menyeruak karena mendapat perlakuan istimewa dalam perjalanan akademiknya.
Sorotan publik makin tajam setelah dua promotornya, Athor Subroto (mantan Direktur SKSG) dan Prof. Chandra Wijaya (Dekan FIA), menggugat keputusan Rektor Heri ke PTUN Jakarta. Media sosial dipenuhi narasi sarkastik: “UI kampus kelas dunia tapi disandera kepentingan lokal.”
Di sinilah keberanian Heri diuji. Alih-alih tunduk, ia memilih jalan terjal. SKSG dimoratorium penerimaan mahasiswa baru. Dosen-dosen yang terbukti melanggar aturan dijatuhi sanksi. Dan puncaknya: SKSG resmi ditutup. Semua prodi dilebur ke Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL).
Sebagai gantinya, Heri mendirikan Sekolah Pembangunan Berkelanjutan, menyatukan kekuatan dua sekolah pascasarjana. Keputusan ini bukan sekadar administrasi, melainkan deklarasi: UI tidak lagi memberi ruang bagi tata kelola yang abu-abu.
Langkah Heri seketika menimbulkan gelombang opini. Di X (Twitter), tagar #SaveUI sempat trending, banyak alumni yang mendukung keberanian sang rektor. Seorang netizen menulis: “UI akhirnya punya pemimpin yang berani menutup pintu kepentingan politik di kampus.”
Namun serangan balik juga deras. Athor Subroto dan Chandra Wijaya memosisikan diri sebagai pihak yang dizalimi. Mereka mengajukan gugatan hukum, seolah-olah kebijakan Heri adalah bentuk kesewenang-wenangan.
Tapi Heri tidak berhenti di sana. Ia tahu, perlawanan internal tidak cukup hanya dengan kebijakan struktural. Ia lalu melangkah ke ranah hukum.
Rektor UI bersurat langsung kepada Jaksa Agung, meminta penugasan jaksa aktif untuk mengawal bersih-bersih kampus. Responnya tegas: Sri Haryanto, jaksa karier, ditugaskan masuk ke dalam tubuh UI. Publik menyebut ini “langkah radikal” — kampus terbesar negeri ini kini diawasi langsung oleh aparat penegak hukum.
Hasilnya, efek gentar mulai terasa. Proses-proses akademik yang sebelumnya rawan manipulasi menjadi lebih disiplin. Audit keuangan diperketat. Praktik-praktik yang dulu dianggap “lazim” kini mulai runtuh.
Di balik semua ini, publik makin menyadari satu hal: persoalan UI bukan sekadar akademik, melainkan benturan kepentingan. Kasus Bahlil dan para promotornya adalah contoh paling vulgar bagaimana politik dan bisnis mencoba menunggangi dunia kampus.
Bahwa kini keduanya melawan kebijakan rektor lewat jalur hukum, hanya mengonfirmasi bahwa langkah Heri telah menyentuh saraf paling sensitif dari jaringan kepentingan itu.
Namun sejarah berpihak pada yang berani. Jika UI hari ini bisa berbangga menempati posisi 189 dunia, itu bukan sekadar karena publikasi ilmiah yang meningkat atau kolaborasi internasional yang meluas. Ada faktor lain yang lebih mendasar: integritas. Dan integritas itu ditegakkan dengan harga mahal — menghadapi serangan, gugatan, hingga fitnah.
Rektor Heri Hermansyah sedang membuktikan, universitas kelas dunia bukan hanya soal ranking, tetapi juga keberanian menolak kompromi dengan kepentingan sempit. Di titik inilah, keberanian seorang pemimpin diuji. Dan Heri, setidaknya sejauh ini, tidak gentar. (*)
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler
96
0
Berita Pilihan









