Debt Collector dan Potret Hukum Rimba Dunia Finance
3 jam lalu
Perusahaan pembiayaan bersembunyi di balik klausul perjanjian kredit, sementara tangan-tangan kotor mereka beraksi brutal di jalanan.
PEMBERITAAN nasional hampir setiap hari diwarnai oleh aksi para penagih utang -- istilah kerennya "debt collector" (DC) -- yang brutal dan intimidatif. Mereka datang bukan sekadar menagih, tetapi juga mengancam, mengintimidasi, bahkan memancing perlawanan warga.
Tak jarang, aksi mereka terekam kamera dan viral di media sosial: kendaraan disergap di jalan, debitur dihardik di depan umum, bahkan ada yang diseret hingga terjatuh. Ironisnya, di tengah maraknya kekerasan semacam ini, aparat penegak hukum tampak lemah dan tak berdaya. Negara hadir, tetapi hanya setelah kekacauan terjadi.
Padahal secara hukum, praktik penagihan dengan kekerasan jelas dilarang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengatur secara rinci melalui Peraturan OJK (POJK) No. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, serta Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 17/SEOJK.05/2019 tentang Penagihan kepada Debitur.
Kedua regulasi tersebut menegaskan bahwa penagihan wajib dilakukan secara sopan, beretika, dan tanpa ancaman kekerasan fisik maupun verbal. DC bahkan diwajibkan memiliki sertifikasi dan identitas resmi yang terdaftar. Namun di lapangan, ketentuan itu sering hanya menjadi teks mati di atas kertas.
Surat kuasa dari perusahaan pembiayaan kerap dijadikan “senjata legal” untuk merampas kendaraan di jalanan tanpa proses hukum yang sah. Ada pula yang memaksa masuk ke rumah debitur, mengancam anggota keluarga, bahkan mengajak berkelahi.
Dalam sejumlah kasus, DC justru berani melawan dan melecehkan aparat ketika diingatkan atau dicegah. Mereka menantang polisi, mengeluarkan kata-kata kasar, seolah merasa memiliki kekuasaan lebih tinggi dari penegak hukum. Fenomena ini menunjukkan bahwa yang dihadapi masyarakat bukan sekadar penagih utang, melainkan preman finansial yang berseragam hukum.
Jadi Kedok Pembegalan
Kekhawatiran lain yang kini muncul adalah penyamaran pelaku kejahatan di balik identitas DC. Di beberapa daerah, sudah terjadi kasus penodongan dan perampasan kendaraan oleh orang yang mengaku sebagai penagih utang. Begitu ditelusuri, mereka bukan DC, melainkan pelaku begal dengan kedok dan modus DC.
Kekacauan sistem ini membuka ruang gelap bagi kejahatan baru: siapa pun bisa mengaku DC, membawa surat kuasa palsu, dan menakut-nakuti warga di jalan. Ketika aparat tak tegas menindak, publik tak lagi tahu mana penagih resmi dan mana perampok berkedok penagih. Celah inilah yang bisa menjadi ancaman serius bagi keamanan publik.
Ketika hukum tak lagi berfungsi sebagai pelindung keadilan, maka yang berlaku adalah “hukum rimba dunia finance". Kekuatan modal menggantikan supremasi hukum; kekerasan menjadi bahasa penyelesaian. Perusahaan pembiayaan besar merasa cukup bersembunyi di balik klausul perjanjian kredit, sementara “tangan kotor” mereka beraksi di lapangan.
Debitur Dianggap Pesakitan
Di sisi lain, debitur kecil yang kesulitan membayar cicilan karena faktor ekonomi dianggap tak pantas dilindungi. Ia ditempatkan sebagai pesakitan sejak awal, tanpa ruang negosiasi yang manusiawi.
Masalah ini juga memperlihatkan ketimpangan kuasa antara korporasi dan rakyat kecil. Aparat penegak hukum kerap ragu mengambil tindakan tegas, seolah bingung menentukan posisi: melindungi warga atau membantu proses penarikan barang. Di titik ini, hukum kehilangan keberpihakan sosialnya. Hukum tak lagi berdiri di atas keadilan, tetapi di bawah bayang-bayang kepentingan finansial.
Dampak sosialnya luar biasa. Kepercayaan publik terhadap aparat dan lembaga hukum terus tergerus. Warga semakin sering melawan, bukan semata karena keberanian, melainkan karena frustrasi. Mereka merekam, mengeroyok, atau memblokade jalan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang terus dibiarkan. Media sosial pun menjadi arena baru untuk mencari keadilan yang gagal ditemukan di ranah hukum.
Tak Boleh Kalah
Negara tak boleh kalah dari premanisme, apalagi yang bersembunyi di balik institusi keuangan. Aparat harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu: DC yang menggunakan kekerasan harus diproses secara pidana, dan perusahaan pemberi kuasa wajib ikut bertanggung jawab.
Tidak boleh ada lagi alasan bahwa tindakan mereka “hanya menjalankan tugas.” Tugas yang melanggar hukum bukanlah tugas, melainkan kejahatan.
Selama hukum tunduk pada kekuasaan modal dan aparat menutup mata terhadap kekerasan penagih utang, maka dunia keuangan kita sesungguhnya sedang hidup dalam hukum rimba — yang berkuasa bukan lagi aturan, melainkan ancaman.
Dan, di tengah rimba seperti itu, rakyat hanya bisa bertahan dengan nyali, bukan dengan hukum. Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka yang hancur bukan sekadar kepercayaan pada lembaga hukum, melainkan juga keyakinan bahwa negara masih mampu melindungi rakyatnya.

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
4 Pengikut

Mr Q
Sabtu, 27 September 2025 06:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler