x

Sejumlah pengendara menembus kabut asap yang menutupi kawasan jalan Nasional Medan-Banda Aceh di Desa Suak Raya, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, 23 Oktober 2017. ANTARA FOTO

Iklan

Yopi Ilhamsyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2019

Jumat, 19 Juli 2019 20:29 WIB

Mengapa Karhutla di Barat-selatan Aceh Terjadi?

Artikel ini membahas penyebab kebakaran hutan dan lahan di barat-selatan Aceh. Pembukaan lahan perkebunan sawit baru sebagai dampak kebijakan pemerintah Aceh terkait pengadaaan bibit sawit disinyalir berada dibalik kebakaran hutan dan lahan ini. Apakah dengan hadirnya perkebunan sawit (baru) kondisi iklim masih sama seperti saat berwujud hutan alam?. Bentuk mitigasi bencana melalui refleksi diri dengan menyadari kodrat kita sebagai makhluk sosial merupakan wujud mitigasi prinsipil dalam mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebakaran hebat yang melanda Kabupaten Aceh Barat hingga Nagan Raya selama dua pekan terakhir saat Aceh mengalami musim kemarau telah menyebabkan kerusakan hutan dan lahan masing-masing sekitar 45 dan 37,5 hektar (sumber: BPBA Aceh) dan penyebabnya masih dalam penyelidikan. Opini yang berkembang, ini musibah yang disengaja sebagai upaya pembukaan lahan untuk perkebunan, mengingat seluruh lahan yang terbakar hampir seluruhnya mencakup lahan gambut di bagian barat Aceh. Kalau terbakar secara alami, dengan meninjau kondisi iklim yang lebih kering dan berada di daerah bayangan hujan tentunya wilayah timur Aceh yang lebih rentan terhadap kebakaran lahan dan hutan. Komoditi perkebunan yang menjanjikan dari pembukaan lahan ini tentu saja kelapa sawit. Selama ini penghasil sawit terbesar di Aceh berasal dari kawasan timur meliputi Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur dan Aceh Utara yang dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui PT Perkebunan Nusantara I. Kebijakan Pemerintah Aceh untuk menganggarkan dana pembibitan sawit sebagai program percepatan perekonomian masyarakat disinyalir mendorong pembukaan lahan-lahan sawit baru di sejumlah Kabupaten di Aceh sebagaimana dikutip dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Kondisi iklim

Wilayah barat-selatan (Barsela) Aceh dari Calang hingga Singkil adalah wilayah yang memiliki potensi besar untuk perkebunan sawit yang membutuhkan banyak air dalam fase pertumbuhannya. Karakteristik iklim di Barsela sangat mendukung untuk pengembangan perkebunan sawit. Kawasan ini berada pada daerah di atas angin (windward) yang banyak mendatangkan hujan karena faktor pegunungan. Curah hujan di Barsela melebihi 3.500 milimeter setiap tahunnya dengan mengalami dua puncak musim hujan yaitu Maret-April (330 milimeter) dan Oktober-November (400 milimeter). Nilai lebih lainnya, setiap hari Barsela masih memiliki sumber air yang cukup karena masih terbentuknya hujan disebabkan adanya angin laut yang berhembus menuju pegunungan. Uap air yang dibawa dengan cepat mengalami kondensasi di lereng pegunungan dan menimbulkan hujan pada sore hari, kondisi yang dikenal dengan sebutan hujan orografi. Demikian juga saat musim kemarau, angin barat yang bertiup dengan kecepatan tinggi dari Samudera Hindia mendorong pembentukan awan-awan hujan di Barsela. Air yang melimpah, udara yang bersih, tanah yang subur menjadikan sawit Barsela memiliki produktifitas tinggi dengan kualitas baik. Namun apakah kondisi lingkungan akan tetap sama dengan hadirnya perkebunan sawit Barsela?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Iklim berubah

Bila kita amati dari intensnya pemberitaan tentang banjir dan longsor yang melanda Barsela dalam lima tahun terakhir, tampaknya ada yang sudah berubah. Dalam sebuah kuliah umum di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 25 Maret 2019, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan bahwa korban jiwa tidak bisa dihindari dalam suatu bencana Hidrometeor bahkan kerugian material yang dialami konon melebihi kerugian akibat peperangan, kalau kita komparasi boleh jadi akan melebihi keuntungan yang diperoleh dari sawit. Studi kami menunjukkan perubahan suhu sebesar 0,35 derajat Celcius dalam tiga dekade terakhir di Barsela, ini artinya konversi lahan dari hutan alam menjadi kebun sawit menimbulkan suhu permukaan yang semakin panas sehingga mendorong akselerasi siklus air di udara (siklus hidrologi). Kami juga mendapati bertambahnya curah hujan sebesar 5 persen dan diproyeksikan berdasarkan skenario gas rumah kaca menengah dan tinggi dengan dan tanpa mitigasi, semakin memanasnya suhu mencapai 0,7 derajat Celcius, hujan akan mengalami peningkatan sebesar 10 persen (300 milimeter) pada tahun 2030, angka yang cukup besar bahkan bisa melebihi curah hujan pada puncak musim hujan. Pelepasan karbon di atmosfer akibat pembakaran lahan gambut meningkat sementara rosot karbon (carbon sink) menyusut karena hilangnya vegetasi hutan. Aceh dengan hutan alamnya yang terkenal sebagai penyuplai oksigen Bumi kini menjadi penghasil karbon (carbon emitter), pemicu perubahan iklim. Berubahnya iklim global selanjutnya mengubah frekuensi El Niño dan La Niña, dari yang tadinya berlangsung selama 5 tahun-an menjadi lebih sering dalam periode 2 tahun-an saja. Sebagai contoh El Niño terakhir terjadi pada tahun 2015, namun kita kembali mengalami El Niño pada tahun ini (2019), ini mengindikasikan kita sedang mengalami iklim yang berubah. Lazimnya setelah kejadian El Niño yang diikuti oleh La Niña, Barsela dan juga perkebunan sawit lainnya di Indonesia harus segera kembali bersiap dengan ancaman banjir. Saat El Niño pun seperti sekarang ini wilayah Barsela yang memiliki keragaman hujan tinggi menjadi defisit air. Hal ini disebabkan karena melemahnya angin laut dan angin barat karena selisih tekanan udara yang kecil. Tanpa angin-angin ini tidak ada lagi awan-awan hujan di pegunungan, inilah yang memicu kekeringan berkepanjangan di Barsela sehingga menjadi mudah terbakar.

Refleksi

Perlu kita renungkan apakah sawit masih menjadi komoditi primadona negeri ini?, Belum lagi keanekaragaman hayati kita yang terusik akibat konversi lahan ini. Konflik gajah dan manusia yang berkepanjangan di Aceh bersumber dari transformasi lahan hutan. Bahkan pada awal Juli ini kita tertampar dengan pemberitaan Orang Utan yang ditemukan sekarat akibat dianiaya karena dianggap hama kebun sawit di selatan Aceh pada sampul depan koran New York Times. Apakah benar sawit penyebab banjir dan kekeringan, konflik hewan-manusia, hingga carbon emitter? Terkait banjir, luas daun dan perakaran antara hutan alam dengan sawit saja sudah berbeda, apakah kemampuan hutan untuk mengikat dan menyimpan air masih kita ragukan?, hutan penyedia makanan bagi hewan, saat hutan berubah menjadi kebun kemana lagi para hewan ini mencari makanan?, apakah kita menyalahkan hewan yang memakan hasil kebun kita?, hutan sebagai rosot karbon siapa yang menyangsikan?. Upaya mitigasi dampak bencana iklim memang bisa dilakukan melalui energi terbarukan hayati (biofuel) dari buah sawit. Perekonomian memang menggeliat dengan hadirnya industri sawit, namun hal yang perlu kita sadari adalah keinginan kita sebagai seorang manusia bersifat semu dalam arti ketika keinginan itu sudah tercapai, semua akan terasa biasa-biasa saja. Dengan menyadari kodrat kita sebagai makhluk sosial, pernyataan sebelumnya menjadi wujud mitigasi nyata untuk berinteraksi dengan alam guna kehidupan yang berkesinambungan dan selaras dengan alam. Semoga!        

Dosen Meteorologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sedang menyelesaikan Doktoral di Klimatologi Terapan IPB

Ikuti tulisan menarik Yopi Ilhamsyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu