x

Iklan

PETRUS KANISIUS SIGA TAGE

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 21 Agustus 2019 20:39 WIB

Oligarki dan Masalah yang Mengakar dalam Demokrasi Indonesia  

Tumbangnya Orde Baru sebagai jalan lapang terbentuknya demokrasi yang lebih substansial ternyata masih mengalami hambatan serius. Partai politik sebagai ujung tombak penggerak demokrasi justru dimanfaatkan oleh kelompok oligarki demi mengejar keuntungan pribadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 sering digambarkan sebagai kemenangan masyarakat sipil menuju proses demokratisasi. Namun, hingga hari ini, perluasan politik elektoral sama sekali belum mengarah pada implementasi demokrasi yang lebih substansial.

Alih-alih bertumpuh pada masyarakat sipil, kontestasi politik justru masih berpusat dan terbatas pada koalisi kepentingan golongan dan kelompok tertentu, yang dalam implementasinya mengarah pada proses marjinalisasi kekuatan masyarakat sipil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu faktor penyebab melemahnya proses demokratisasi melalui partai politik adalah adanya cengkeraman yang kuat pada sistem partai oleh kelompok oligarki. Orang-orang ini menggunakan kekuatan material untuk mendominasi struktur partai, mengendalikan arah politik, dan menghalangi setiap upaya perbaikan sejak dari akar rumput.

Di Indonesia, kelompok oligarki memiliki sejarah panjang dan hidup berkelindan dengan perubahan gerakan politik dari waktu ke waktu. Meski terus berganti rupa, namun, wataknya selalu sama. Reorgansiasai adalah kunci bagi oligarki bertahan dari setiap perubahan.

Mereka akhirnya dapat kembali eksis berkat disorganisasi masyarakat sipil yang endemik dan sistematis serta ditopang oleh puluhan tahun pemerintahan otoriter yang kaku dan seringkali brutal.

Penetrasi yang berujung pada kenaikan dan perluasan pengaruh oligarki ke dalam partai politik Indonesia dapat ditelusuri sejak pemilihan umum langsung dilakukan pada tahun 2004. Pada saat itu, secara signifikan pemilu mulai menelan banyak biaya untuk kampanye, konsultan, survey elektabiltas, dan iklan media. Diperkirakan  biaya kampanye presiden meningkat 10 kali lebih banyak dengan adanya penerapan sistim pemilihan langsung.

Pemilu yang menekankan banyak biaya, memungkinkan oligarki masuk melalui sistem pendanaan kampanye, ruang ini selanjutnya dieksploitasi untuk menekan pimpinan partai melalui upaya memengaruhi keputusan politik partai yang bisa menguntungkan diri sendiri.

Pada perhelatan pilpres tahun 2019 yang terjadi belum lama ini, kelompok oligarki disinyalir berada di belakang dua pasang kandidat presiden. Menurut laporan JATAM sebanyak 86 persen dari biaya kampanye kedua kandidat adalah kontribusi oligarki pertambangan dari masing-masing kubu. 

Di kubu Jokowi, ada Surya Paloh, Luhut Binsar Panjaitan, Hary Tanoesoedibjo  Erick Thohir dan saudaranya Garibaldi Thohir, serta Sakti Wahyu Trenggono. Sama seperti Jokowi, di pihak Prabowo, ada adiknya Hasyim Djojohadikusumo, Sandiaga Salahuddin Uno, Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Sudirman Said, dan Zulkifli Hasan.

Bentuk dukungan para oligarki dalam pilpres, selain melalui pendanaan dalam jumlah besar, juga dilakukan dalam bentuk kampanye melalui media, lagi-lagi melalui kehadiran Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, dan Erick Thohir  sebagai mogul media.

Ketika pemilik media masuk ke gelanggang politik tidak sekadar dalam kerangka politik elektoral. Ada kepentingan bisnis juga di sana. Masuk ke gelanggang politik memungkinkan pemilik media selangkah lebih maju dalam mempengaruhi regulasi agar menguntungkan bisnis media.

Arah perubahan gerak oligarki pasca reformasi semakin hari semakin mengkhawatirkan, mereka dapat masuk melalui agenda populis ke dalam percaturan politik.

Menurut Hadiz, kebangkitan radikalisme Islam yang tak terhindarkan dalam politik Indonesia sangat berkaitan erat dengan kemampuan elit-elit oligarki untuk mengerahkan agen sosial politik populis demi kepentingan mereka.

Dengan memfasilitasi ekspresi frustrasi masyarakat luas melalui penggunaan leksikon politik yang didominasi agama, elit oligarki Indonesia memastikan bahwa politik Islam Indonesia akan semakin bergerak ke arah yang konservatif.

Dalam hal kebijakan, reaksi utama yang dilakukan pemerintah untuk mencegah konservatisme dilakukan dengan mempromosikan simbol-simbol budaya yang terkait dengan nasionalisme Indonesia, yang pada akhirnya justru terjebak dalam gelombang hiper nasionalisme yang membahayakan.

Keberadaan jaringan oligarki yang terdesentralisasi memungkinkan mereka langsung berdiri bersama akar rumput dalam  menggulirkan sebuah isu sehingga mobilisasi agenda  moralitas konservatif—baik  Islam maupun nasionalis—dapat  menjadi fitur yang lebih mengakar.

Bagaimanapun hingga hari ini, isu moralitas, meskipun terlihat amat semu, tetap saja memiliki potensi yang kuat untuk menghubungkan para elit oligarki yang terpisah dengan basis dukungan sosial yang lebih luas. Glorafikasi moralitas dalam slogan-slogan populis dapat menjadi senjata yang efektif untuk menarik masa rakyat.

Agenda populis dengan basis konservatisme agama dan nasionalisme bukan tanpa masalah, menurut Hadiz banyak diskusi tentang kebangkitan populisme di Indonesia dalam pemilu selalu berusaha untuk "menangguhkan" perbedaan, untuk membawa mereka ke belakang proyek politik tertentu.

Dengan kata lain, ada kecenderungan dalam populisme untuk mengedepankan homogenitas di hadapan heterogenitas sosial yang sebenarnya sedang bertumbuh.  Polarisasi yang terbentuk oleh isu-isu sektarian dan rasial selama masa pilpres 2019 menunjukkan hal itu secara gamblang.

Apa yang mungkin kita saksikan secara efektif di Indonesia adalah fase yang lebih baru dari variasi konflik akibat merebaknya populisme agama dan nasionalis yang didukung oleh referensi moralitas Islam atau hiper nasionalisme yang berkembang dari dominasi oligarki dan mekanisme persaingan intra-oligarki atas kekuasaan dan sumber daya dalam demokrasi Indonesia—sesuatu  yang sampai hari ini tidak memiliki obat institusional yang jelas, bahkan, sangat sulit menghadirkan platform politik yang bisa melepaskan diri dari cengkraman oligarki.

 

 

Ikuti tulisan menarik PETRUS KANISIUS SIGA TAGE lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler