x

Iklan

Era Sofiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Juli 2019

Sabtu, 28 September 2019 06:59 WIB

Dilema Pemberantasan Korupsi Dalam Konstruksi Budaya ‘’ethok-ethok’’

korupsi merupakan tragedi moralitas kebudayaan yang sedang bermasalah. Ada suatu kondisi dalam alam kebudayaan kita yang mendorong orang melakukan tindakan korupsi. Begitu pula, ada kendala-kendala kultural mengapa korupsi tetap begitu masif terjadi, sehingga pemberantasan terhadap korupsi selalu tidak pernah tuntas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alam kebudayaan masyarakat kita sesungguhnya adalah masyarakat agraris dengan komunalitasnya. Agar kerukunan dalam masyarakat terjaga, maka seseorang tidak boleh membuat suatu aktivitas yang mengganggu tertib sosial yang sudah ada. Masyarakat yang demikian selalu menunjukkan keinginan untuk hidup bersama secara damai dan harmonis.

Dalam konstruksi tersebut, masyarakat cenderung ‘’diam‟ ketika ada hal-hal yang mungkin tidak disepakatinya. Alasan utama mengedepankan harmonisasi sosial menjadi pilihan untuk membiarkan berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum. Misalnya, ketika ada kolega atau tetangga yang melakukan aktivitas yang mengarah pada tindakan memperkaya diri, cenderung dibiarkan, karena khawatir terjadi konflik di dalamnya.

Inilah yang kemudian membuat kultur pembiaran (ommision culture) terhadap penyimpangan kekuasaan oleh masyarakat, dimana korupsi makin mudah ditemukan diberbagai bidang kehidupan. Yang biasa dilakukan adalah sebatas menjadikannya sebagai perbincangan rutin dalam pos ronda atau warung kopi, tanpa ada penyelesaian yang pasti. Masyarakat sudah terlanjur menerima prinsip rukun sebagai bagian dari tatanan sosial yang harus dijaga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas. Lalu ditahap kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi di bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik. Kondisi yang demikian tentu yang sangat dirugikan adalah rakyat dalam tataran akar rumput, yang seharusnya mendapat jaminan kesejahteraan sesuai dengan yang dituangkan dalam konstitusi.

Di lain pihak, Ketidakpedulian publik terhadap kasus korupsi menjadi bukti konkrit ketidakberdayaan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Mereka merasa tidak pernah kehilangan, karena tidak pernah merasa memiliki harta negara yang dikorupsi. Masyarakat yang demikian lebih sibuk dengan persoalan tubuh personal daripada tubuh sosial. Tubuh personal mengindikasikan tentang kesalehan personal, tubuh sosial mengasosiasikan kesalehan sosial. Tubuh personal lebih sibuk merawat dan memelihara kepemilikan sendiri dan tidak peduli dengan milik (tubuh) sosial.

Karenanya, menjadi wajar jika masyarakat hampir jarang menjadi whistle blower bagi terjadinya kasus korupsi, minimal dari sikap kritis atas perilaku pejabat di lingkungan sekitarnya. Padahal jika masyarakat peduli terhadap kasus korupsi, ia akan menjadi komponen penting dalam pemberantasan kasus korupsi. Mengapa demikian? Karena dalam lingkungan masyarakat (minimal RT/RW), setiap orang bisa memantau perilaku orang lain secara langsung. Sayangnya, kondisi demikian belum diharapkan bisa muncul pada masyarakat yang masih belum bisa memisahkan antara seseorang sebagai individu masyarakat dengan seseorang sebagai pejabat publik yang bertanggungjawab kepada masyarakat dalam pengelolaan kekuasaannya.

Apalagi ketika dalam korupsi terdapat mekanisme ‘’silih‟, yakni suatu mekanisme korupsi yang hasil-hasilnya tidak dinikmati sendiri, tetapi dibagikan kepada publik dalam bentuk bantuan sosial, sodaqoh, dan sebagainya. Pada saat itu, masyarakat akan melihatnya sebagai sosok yang berhati mulia dan dermawan. Mekanisme silih ini mampu mengelabui publik, yang semestinya merupakan korban, tetapi menjadi bagian yang seolah diuntungkan dengan adanya bantuan kepada mereka.

Mengacu pada pemahaman di atas, jelas menunjukkan bahwa ketiadaan perasaan bersalah (quilt culture) para pelaku korupsi, apalagi ketika publik membiarkannya serta menerima hasil-hasil korupsinya. Situasi ini akhirnya hanya mampu menyingkap struktur-struktur kejahatan korupsi dan mentalitas masyarakat yang membentuknya. Korupsi di Indonesia, karena diparktikkan oleh banyak orang dan dalam berbagai tingkat lalu sifatnya sudah menjadi struktural. Tidak heran, jika koruptor-koruptor yang tertangkap adalah orang yang pada masa lalu berteriak hancurkan KKN, berantas korupsi, dan sebagainya. Mereka seolah tidak dapat melepaskan diri dalam jaring kekuasaan yang mendorong penguasan melakukan korupsi.

Korupsi sebagai problem kultural

Upaya untuk meminimalisir terjadinya korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan. Tidak saja melalui aspek yuridis formal, melainkan juga melalui berbagai kampanye anti korupsi lewat poster-poster dan pamflet-pamflet. Bahkan terbaru mulai diselenggarakannya mata pelajaran Pendidikan Anti Korupsi di sekolah-sekolah formal. Berbagai kegiatan ini menunjukkan bukti bahwa korupsi merupakan musuh bersama yang dapat mengancam masa depan bangsa Indonesia ini. Sebagai musuh, maka wajar jika korupsi harus selalu diperangi dan diberantas hingga ke akar-akarnya.

Bahwa korupsi merupakan kasus hukum memang tidak bisa dipungkiri, tapi semata melihat korupsi hanya dalam perspektif hukum semata jelas menyederhanakan persoalan. Dalam banyak hal, aspek hukum lebih banyak menyentuh pada aspek material atau fakta hukum terjadinya korupsi. Seringkali tidak tersentuh adalah bahwa latar sosial budaya mengapa korupsi begitu mudah terjadi serta bagaimana korupsi sulit dicegah sebagai sebuah perilaku.

Dalam konteks demikian, maka korupsi merupakan tragedi moralitas kebudayaan yang sedang bermasalah. Ada suatu kondisi dalam alam kebudayaan kita yang mendorong orang melakukan tindakan korupsi. Begitu pula, ada kendala-kendala kultural mengapa korupsi tetap begitu masif terjadi, sehingga pemberantasan terhadap korupsi selalu tidak pernah tuntas.

Pengertian “membudaya” dalam konteks korupsi memberikan pengertian bahwa perilaku koruptif telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses yang wajar dan tak terbantahkan dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi. Hal tersebut seperti pernyataan Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama) bahwa “prilaku korupsi telah membudaya dalam masyarakat Indonesia”. Pernyataan Hatta tersebut dia lontarkan pada tahun 1970-an, ketika ia menjadi penasehat Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan korupsi saat itu. 

Melabel korupsi sebagai tindakan yang membudaya akan menghubungkan korupsi dengan konsep “determinisme kultural” (cultural determinism). Determinisme kultural ini merupakan konsep yang sering menjadikan acuan beberapa ahli dalam mengamati dan mempelajari korupsi yang semakin tumbuh meluas dalam masyarakat. Dimana determinisme kultural memberikan pengertian bahwa kebudayaan tertentu dalam masyarakat tertentu telah memberikan landasan mentalitas menguatnya tindakan korupsi dan penyelewengan.

Dalam sejumlah kebudayaan, terdapat nilai-nilai yang sedemikian berbeda sehingga korupsi kurang dituntut kepengadilan, lebih dapat diterima, atau bahkan merupakan bagian dari adat istiadat. Nillai-nilai dan adat-istiadat yang sedemikian itu telah menjadikan praktek tindakan korupsi dan penyelewengan semakin masif terjadi di masyarakat. Perbedaan adat-istiadat, kebiasaan, dan pedoman berperilaku masyarakat satu dengan masyarakat lain, pada gilirannya, dapat menjelaskan bagaimana berbagai macam jenis serta tingkat korupsi terjadi. Dimana perbedaan-perbedaan “budaya” disalahgunakan untuk mendukung tindakan korupsi.

Seperti halnya terminologi yang digambarkan Magnis Suseno, masyarakat agraris cenderung memiliki sikap untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Orang Jawa mampu menutupi kekecewaannya melalui kebiasaan berpura-pura (ethok-ethok). Kemampuan ini dianggap sebagai keutamaan hidup, sebagai seni yang tinggi dan bernilai positif. Terhadap yang tidak disukainya, orang Jawa akan menyampaikan melalui sikap tidak langsung atau menyembunyikan perasaan kekecewaan tersebut, kecuali pada keluarga inti. Belum lagi, berbagai kendala kebudayaan lainnya yang turut serta menghambat pemberantasan korupsi, tetapi justru menyuburkan peluang korupsi selalu terjadi.

Salah satu grand strategy KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya yaitu dengan melakukan upaya pencegahan terintegrasi, upaya penindakan terintegrasi, serta upaya pencegahan dan penindakan korupsi terintegrasi. Strategi tersebut tentu dapat tercapai dengan adanya kerjasama lembaga/intansi serta dukungan publik dengan berpartisipasi secara aktif dalam upaya mencegah dan memerangI korupsi.

Bercermin dari realitas tersebut diatas, kondisi kultural masyarakat kita memang masih perlu diarahkan untuk memiliki kepedulian terhadap tubuh sosial. Perlu strategi kebudayaan agar masyarakat berpartisipasi terhadap upaya pemberantasa korupsi. Kalau hanya mengandalkan pada kekuatan aparat hukum, maka seringkali tidak efektif karena, pertama terkait dengan keterbatasan sumberdaya, kedua terkait dengan alat bukti yang membutuhkan waktu lama untuk menunjukkan pembuktiannya. Strategi pencegahan yang sistematis akan meminimalisir terjadinya korupsi, pemetaan yang komprehensif terhadap area, aktor dan modus korupsi akan membuat penindakan pun berjalan efektif. Melalui peran serta masyarakat, maka setiap pejabat publik (yang pasti hidup dalam lingkungan masyarakat) hidupnya selalu terawasi, tidak saja oleh sistem, melainkan juga oleh masyarakat.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Era Sofiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB