Tradisi Tionghoa dan Iman Kristen
Minggu, 27 Oktober 2019 15:34 WIB
Pandangan sebagian Gereja Kristen Protestan tentang tradisi orang Tionghoa.
Judul: Tradisi Tionghoa dan Iman Kristen
Penulis: Markus T. Suryanto
Tahun Terbit: 1995
Penerbit: Pelkrindo
Tebal: 84
ISBN:
Orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya menganggap semua agama itu baik. Mereka cenderung religius tetapi tidak terlalu peduli dengan ritual agama tertentu. Orang Tionghoa sangat yakin akan adanya kekuatan di luar dirinya sendiri. Itulah sebabnya mereka sangat menghargai hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan supranatural.
Dalam hal keberagamaan, orang Tionghoa, khususnya yang berada di Jawa telah mengalami beberapa peristiwa. Pertama adalah saat penjajahan Belanda. Pada jaman penjajahan Belanda, beberapan orang Tionghoa memilih agama Kristen (atau Katholik) sebagai agama barunya. Perubahan keyakinan ini karena faktor pendidikan Belanda. Kesempatan anak-anak muda Tionghoa bersekolah di sekolah Belanda membuat mereka mengenal kekristenan dan kemudian memilih agama Kristen sebagai agama barunya.
Peristiwa kedua adalah setelah tahun 1965. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah memosisikan orang-orang Tionghoa sebagai pihak yang ikut tertuduh. Setelah persitiwa G 30 S, banyak orang-orang Indonesia – termasuk Tionghoa, masuk ke salah satu agama yang diakui negara pada saat itu. Pada saat itu Konghuchu yang banyak dianut oleh orang Tionghoa belum dianggap sebagai agama. Oleh sebab itu banyak orang Tionghoa yang memilih agama Kristen. Namun ada juga sebagian kecil yang memilih agama Islam.
Peristiwa ketiga adalah di jaman Orde Baru. Pada jaman orde baru, dimana aliran asimilasi didukung oleh rezim, maka orang Tionghoa yang masuk Islam semakin banyak. Hal ini karena Islam dianggap sebagai salah satu cara mujarab untuk menyelesaikan masalah Tionghoa. Orang Tionghoa yang menjadi Islam telah memangkas jarak sosial dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam.
Peristiwa kelima adalah ketika Gus Dur menjadi Presiden. Pengakuan Gus Dur terhadap budaya dan tradisi Tionghoa membuat orang-orang Tionghoa berani kembali menjalankan religiusitasnya yang sesuai budaya. Apalagi ketika Agama Konghuchu diakui sebagai agama resmi. Pada periode ini banyak orang Tionghoa yang “kembali” memeluk agama Budha dan Konghuchu.
Dalam proses memeluk agama baru tersebut, Orang Tionghoa mengalami pergumulan. Sebab agama-agama yang yang dianut tersebut (Islam dan Kristen) berasal dari budaya yang berbeda dari budaya orang-orang Tionghoa. Itulah sebabnya pergumulan untuk mencari titik temu antara budaya dan agama terus dilakukan oleh orang-orang Tionghoa dan oleh agama-agama yang melakukan syiar kepada orang Tionghoa.
Buku kecil berjudul “Tradisi Tionghoa & Iman Kristen” ini juga membahas isu di atas. Sebagai buku yang ditulis oleh seorang rohaniawan, buku ini tentu saja menggambarkan pandangan gereja dimana Markus Suryanto berada di dalamnya.
Kita tahu bahwa beberapa Gereja Kristen (Protestan) mempunyai dogma yang kurang toleran terhadap tradisi di luar tradisi kekristenan. Gereja-gereja ini menganggap bahwa budaya di luar kekristenan adalah budaya yang harus diganti dan ditinggalkan. Memang tidak semua gereja Kristen mempunyai pandangan seperti ini. Meski ada kecenderungan menolak tradisi, namun gereja-gereja ini juga berupaya memberi makna baru pada ritual-ritual yang berbasis pada tradisi lama.
Pada bagian pertama, Markus Suryanto membahas tentang “Konsep Kepercayaan Kuno Orang Tionghoa.” Orang Tionghoa menjadikan alam dan orang-orang sebagai dewa karena jasa-jasa alam dan orang-orang tersebut bagi manusia. Markus Suryanto kemudian menyimpulkan bahwa pada dasarnya relasi orang Tionghoa dengan dewa-dewanya adalah relasi upeti dan tidak berdasarkan rasa bakti. Pemujaan pada para leluhur di sini tidak murni pemujaan, sebagai ungkapan rasa hormat dan sayang. Lebih banyak dilakukan karena rasa takut, ada perhitungan untung dan rugi (hal. 3).
Pendapat ini kemudian dipakai oleh Markus Suryanto sebagai titik berangkat untuk menguatkan orang-orang Tionghoa Kristen memutus tradisi-tradisi seperti mengurus abu leluhur. Di saat yang sama, Markus Suryanto mencoba memaknai ritual mengunjungi makam yang sudah mandarah daging menjadi suatu ritual bermakna penghormatan kepada leluhur yang telah berjasa tanpa perlu melakukan pemujaan kepada para leluhur tersebut.
Di bagian kedua, buku ini membahas “Lambang/Simbol Dalam Kepercayaan/Tradisi Tionghoa.” Suryanto memberikan informasi berbagai simbol/lambang yang sering dipakai oleh orang Tionghoa dalam menjalani hidupnya. Lambang-lambang tersebut ada yang berhubungan dengan tanaman dan posisinya, hewan-hewan, posisi bangunan (hong sui), makanan. Pada bagian ini Suryanto tidak menghubungkan simbol/lambang tersebut dengan Iman Kristen.
Di bagian ketiga Suryanto membahas tentang hubungan tradisi/kepercayaan Tionghoa dengan praktik Iman Kristen. Orang Tionghoa yang cenderung toleran bisa dengan mudah terjerumus kepada sinkretisme. Dengan alasan adat hao (berbakti), percaya ramalan dan orang-orang pintar menyebabkan orang Tionghoa dengan mudah mencampur-adukkan keyakinan Kristen dengan hal-hal tersebut. Bahkan bisa saja mengubah tradisi Kristen dengan pemahaman tradisi lama. Seperti misalnya meminta ramalan dari pendeta, atau memosisikan pendeta sebagai “orang pintar.”
Buku ini ditutup dengan sebuah kesaksian dari seorang mantan suhu yang menjadi Kristen. Seorang suhu yang bisa melihat hal-hal yang tak terlihat. Sang Suhu akhirnya memilih kehidupan dalam Yesus sebagai hidup barunya. Dan dia menjadi lebih berbahagia dalam hidupnya.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Terbang Menembus Langit - Perjuangan Lepas Dari Kemiskinan
Kamis, 2 Oktober 2025 21:11 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler