x

Iklan

Era Sofiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Juli 2019

Senin, 18 November 2019 07:04 WIB

Inklusivitas Keuangan Syariah Percepat Indonesia Menuju Pusat Industri Halal Dunia

Terkait akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, perkembangan industri jasa keuangan syariah yang cepat dan dinamis, sejatinya membuka peluang inovasi bagi pengembangan industri halal nasional, dimana Indonesia memiliki sektor-sektor halal yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti makanan-minuman, fesyen, jasa keuangan, dan pariwisata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 disebutkan bahwa ekonomi syariah diartikan sebagai sistem ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Cakupannya adalah seluruh sektor perekonomian yang ada, baik keuangan maupun sektor riil. Sistem ekonomi syariah juga harus memberikan manfaat (maslahah) yang merata dan berkelanjutan bagi setiap elemen dalam perekonomian. Hal inilah yang mampu menyebabkan keuangan syariah bergerak di luar intermediasi keuangan sebesar triliunan dolar AS dan mampu menghubungkan dirinya dengan industri halal yang adalah turunan dari aktivitas ekonomi syariah.

OJK mencatat dalam dua dekade terakhir pengembangan industri jasa keuangan syariah nasional telah mengalami banyak capaian dan kemajuan dari aspek kelembagaan, infrastruktur penunjang, regulasi dan sistem pengawasan, serta awareness dan literasi masyarakat terhadap layanan jasa keuangan syariah. Per Juli 2019, total aset keuangan syariah Indonesia telah mencapai Rp1.359 triliun dan telah berkontribusi sebesar 8,71 persen dari total aset industri keuangan nasional. Capaian tersebut menunjukkan bahwa industri jasa keuangan Syariah memiliki potensi sebagai penunjang perekonomian nasional dan perlu disokong dengan berbagai terobosan guna mendukung pengembangan industri keuangan syariah yang semakin kompleks ke depan.

Terkait akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, perkembangan industri jasa keuangan syariah yang cepat dan dinamis, sejatinya membuka peluang inovasi bagi pengembangan industri halal nasional. Sebabnya adalah Indonesia memiliki sektor-sektor halal yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti makanan-minuman, fesyen, jasa keuangan, dan pariwisata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Core (Center of Reform on Economics) Indonesia, melalui para pakar ekonomnya yaitu, Akhmad Akbar Susamto, Ph. D , Muhammad Ishak, Mohammad Faisal, Ph.D, berkeyakinan, bahwa peluang Indonesia untuk menjadi pusat ekonomi halal semestinya sangat besar. Alasan yang paling pertama dan mendasar, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat muslim sebesar 87 persen. Bahkan jumlah atau komposisi tersebut merupakan yang terbesar di dunia sehingga tak jarang Indonesia disebut sebagai negara muslim terbesar di dunia. Selain itu, diramalkan populasi muslim global juga akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Laporan State of The Global Islamic Economy 2016/2017 menempatkan Indonesia di peringkat pertama untuk konsumen produk makanan halal, yaitu sebesar $154,9 Miliar.

Alasan kedua, tren hijrah yang semakin mengemuka di kalangan masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah. Sebagai kelas yang secara ekonomi telah mapan, maka mencari kehidupan yang lebih menentramkan tengah menjadi trends. Salah satu jalannya adalah dengan berhijrah yaitu mengubah kebiasaan-kebiasaan sebelumnya menjadi kebiasaan yang lebih islami.

Turunan atas fenomena tersebut di atas adalah munculnya aktivitas ekonomi berlabel syariah atau halal dimana salah satu industri atau sektor yang menikmati limpahan trend ini adalah industri fesyen. Dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 disebutkan bahwa industri fesyen Indonesia secara global pada tahun 2018 menduduki peringkat ke-2 dalam top 10 GIE indikator bidang fesyen Muslim. Posisi Indonesia pada tahun 2018 tersebut telah berhasil menggeser Turki yang sebelumnya menduduki peringkat ke-2 dan menggeser Maroko dari jajaran top 10.

Alasan ketiga adalah potensi wisata halal di Indonesia. Potensi ini terlihat dari trend wisata halal global yang meningkat. Indonesia sendiri telah memenangkan tiga kategori Halal Travel Award di United Arab Emirates (UAE) pada tahun 2015. Selain itu, Lombok yang dijuluki sebagai Pulau Seribu Masjid meraih World’s Best Halal Tourism Destination dan World’s Best Halal Honeymoon Destination, sementara Sofyan Hotel Jakarta mendapatkan penghargaan World’s Best Family Hotel.

Selain Lombok, terdapat tiga daerah lain yang menjadi sorotan dalam wisata halal. Tiga daerah tersebut adalah, Aceh, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian Indonesia dapat membuktikan bahwa dengan penduduk mayoritas muslim tidak hanya dapat menjadi konsumen, namun juga produsen dalam industri halal.

Besarnya aktivitas ekonomi syariah serta meningkatnya awareness masyarakat terhadap keberadaan produk halal semestinya menjadi potensi pasar pembiayaan terhadap industri halal. Pun, ketika Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) dikumandangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 dan diluncurkan pada 27 Juli 2017, kalangan masyarakat dan dunia usaha banyak menaruh ekspektasi bahwa pertumbuhan industri keuangan yang berbasis syariah akan pesat. Sebagian lainnya berharap dengan tumbuhnya industri keuangan syariah akan dapat menggerakkan industri halal di Indonesia.

Disisi lain, harus diakui pola relasi Industri keuangan syariah di Indonesia saat ini belum mampu menggarap potensi industri yang berbasis pada produk halal lokal. Beberapa industri yang saat ini masih bergantung pada impor dan juga belum cukup siap untuk mengikuti standar halal, seperti pada industri farmasi dan industri kosmetik, perlu mendapatkan perhatian serius. Sebaliknya, produk halal, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menurut data statistik berjumlah 3,79 juta produk sampai hari ini belum mampu terjamah sertifikasi halal. Ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya sertifikasi halal sebagaimana dimaksud Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), di samping juga masih minimnya kesadaran pelaku usaha UMKM untuk melakukan sertifikasi halal.

Dapat diasumsikan, untuk melakukan sertifikasi halal 3,79 juta produk UMKM diperlukan paling sedikit 35.000 sampai 40.000 orang auditor halal. Itu pun memerlukan waktu sekitar 35 tahun dengan asumsi 3,79 juta produk dibagi 35.000 orang auditor dan lamanya proses sertifikasi halal tiga bulan per produk, maka masing-masing auditor memeriksa 105 produk.

Bila sertifikasi dapat diselesaikan rata dalam tiga bulan, maka waktu yang diperlukan adalah 317 bulan atau kurang lebih 26 tahun untuk menyelesaikan 3,7 juta produk UMKM tentu saja diperlukan upaya serius dan kecukupan anggaran dari pemerintah.

Pola relasi yang baik yang mengintegrasikan industri halal dengan industri keuangan syariah tentunya mutlak diperlukan dengan berbagai insentif dan instrumen baik berupa kemudahan maupun regulasi serta instrumen hukum guna menggerakkan dua industri tersebut. 

Dalam hal ini, penguatan dan perluasan peran lembaga sertifikasi halal yang saat ini masih dikelola MUI hingga Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal BPJPH terbentuk, harus dijadikan sebagai lembaga yang efisien dalam melayani baik yang berskala nasional maupun internasional. Sementara kegiatan usaha UMKM yang berbasis produk halal juga harus diarahkan menggunakan jasa perbankan syariah sehingga terjadi relasi hubungan yang saling bersinergi sesuai tujuan bahwa kegiatan usaha dan atau industri halal harus dibiayai dengan jasa keuangan syariah dan bukan malah menganggap beban terutama dari sisi biaya maupun proses yang rumit.

 

Ikuti tulisan menarik Era Sofiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB