x

Pelacur Intelektual

Iklan

Bunk ham

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Januari 2020

Senin, 20 Januari 2020 17:16 WIB

Perempuan Kawe; Unsocial Origine

Dominasi perempuan hanya berfungsi pada IQ (intelligence question) dan EQ (emotional question). Soal-soal hasrat, perasaan hanya berguna pada pledoi “poligami”, bukan ekonomi dan sosial kemanusiaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak disangka, sesuatu yang nampak tidak akan lajim didengar, dan sesuatu yang terlihat sangat sukar digelapkan.

"Memang kebohongan menjadi daur dimana kejujuran bisa diabstrakan kembali".

Wanita sangat elok ketika kecerdasan mampu menumbangkan, dan meruntuhkan hak-hak kemanusian dan dirinya. Mereka digambarkan semacam cermin, ketica pecah dan hancur berkeping-keping, maka harus diperbaiki dan diupayakan perbaikan kembali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Literasi ini yang kemudian menjadi mantel dan baja bagi wanita untuk mempertahankan kemelaratan, sosial dan kesenjagan pribadinya.

Setiap perjuangan harus dipentaskan keadilan, setiap langkah harus dibalaskan dengan darah, dan setiap setiap keberanian harus dijawab oleh kematian.

Siapa yang terselubung ketika hak-hak pendidikan perempuan dibatasi, ekonomi dipatriarki, dan sosial politik dibasmi dan dimatikan oleh penguasa.

"Kalau tidak cukup kuat untuk jadi penghianat, jangan jadi penikmat".

Setidaknya gaun yang dipakai itu kaen lantera atas kemiskinan dan kemanusiaan yang dimadu. Selepas manis yang diambil maka pahitnya dibuang.

Janganlah lagi menjadi wanita!

berubahlah menjadi penentang, dan pembangkang. Tidak ada gunanya engkau dilahirkan bila hak-hak yang engkau miliki dikuras dan dihisap oleh mereka yang tidak ada hati dan jiwa bertanggung jawab.

Perubahan dan kekinian akan diraih bila pertarungan dan perlawanan terus dihidupkan, Lenin; Sosialisme.

Kalau seandainya Rose Abendanon masih hidup, mungkin “jatah” menerima pendidikan menumbang. Tetapi kenapa problematika kemiskinan dan kesenjangan tidak pernah dituntaskan dan diselesaikan oleh pergerakan perempuan?

Menjadi wanita kan’ hanya soal bagaimana mengurus anak, suami dan dapur!

Tidak ada ruang ataupun tempat bahwa manusia budak tidak pernah mengalami penindasan dan ataupun manusia bodoh dan terpuruk tidak pernah mengetaskan pendidikan. Itukan yang kemudian suasana keperempuanan harus bertahan dan siap tumpang tindih.

Dominasi perempuan hanya berfungsi pada IQ (intelligence question) dan EQ (emotional question). Soal-soal hasrat, perasaan dianggap pledoi “poligami”, masalah-masalah ekonomi dicitralkan “dominasi” dan politik dikemas dan diklaim sebagai tipu muslihat, dusta dan nista.

Semua mengidam masalah, tidak ada proteksi akan hak-hak wanita origin dan wanita kawe. Tidak ada yang realita, terbukti, dan fakta. Semuanya pemalsuan, terjadi dipergerakan dan perubahan wanita. Salah satu faktanya adalah wanita lebih mengedepankan hidup mewah, eklusif dan penuh glamor. Secara tidak sadar, itu kapitalisme hidup sedang membunuh dan melumpuhkanya. 

Apakah pantas saya mengatakan dia layak sebagai pelacur intelektual?

Tidak, terlalu naif dan sakral bagi seorang lelaki menepikan kata wanita dengan “pelacur inteletual”. Ada yang lebih utama harus dicari tahu dalam soal wanita. Yaitu, kesuacian hati dan kepekaan jiwa, sehingga yang tersembunyi bisa dibongkar dan cium bila perlu itu “membusuk”.

Masalah itu akan mendidih bila bukti belum padam.

Silahkan cari tahu sekuat fisik, akal dan mentalitas. Satu-satunya tujuan hidup dan mati, dikarenakan menolak kebenaran atas kenistaan dan melawan keadilan atas pembangkang. Itulah kemudian saya mengatakan wanita itu “pahlawan” dan sekaligus “pejuang”.

Meski dia dituding, dicaci dan hina; tidak ada salahnya dalam soal manusia. Tuhan lebih tahu mana wanita baik dan mana wanita buruk. Kalian diidentikan rupiah, materi berlabeling “ruh keadilan, kemanusian dan kesetaraan”.

Menariknya ketika saya membaca artikel Muhammad Saad yang merujuk pada buku Qosim Nurseha Dzulhadi terkait “membongkar kedok Liberalisme diindonesia. Dalam konten dan sub bab buku tersebut dijelaskan bahwa, seorang pelacur intelektual disebut orang yang diberi ilmu agama namun disalagunakan atas kepentingan pribadi.

Kalau soal kapitalisme dan sosialis yang dipakai. Maka pergerakan wanita menolak tidak ada ruh kedalam materi. Yang ada bagaimana logika, dialektika dan materi mampu mendominasi hak-hak manusia dengan manusia lainnya.

Dari dasar, wanita sudah tidak berpraktis dan tidak konsen atas logika, namun masih bertahan diantara dialektika hasrat antara materi dengan konsumsi perasaan. Sangat wajar jika kemudian wanita selalu memetakan dirinya ekslusif daripada inklusif. Evoria tinggi dan expektasi rendah, artinya sangat relevan sekali “hidup hedonis” mendaur dan menjamur diera kewanitaan.

Kalau ini yang terjadi dimasa kekinian, apakah mungkin perubahan tiba?

Ada salah satu tokoh yang menyatakan “ menonton artis lebih ringan daripada melawan terorisme. Terorisme itu lebih bahaya daripada gambar artis. Lalu sang tokoh mulai bersentuhan makna dan mengatakan “ketika menonton artis sambil berdoa”. Adakah contoh perempuan “gonggongan” yang tidak layak disebut sebagai intelektual.

Kalau ini diucapakan dipublik, maka antusias masyarakat penuh signifikan. Dari istilah semantik saja mengandung makna dan penuh arti. Sekarang intelektualitas dan kecerdasan perempuan bertumpu pada materi dan kematangan fisik. Siapa yang banyak kekayaan dan kedudukan tinggi. Dia lebih layak untuk dipuji dan dihormati.

Serta dijadikan istri ataupun suami, tidak ada yang fasik tentang persoalan mahar harus dibayar dengan kalkulasi rupiah tinggi. Asalkan dia mampu. Maka dari itu wanita harus belajar bagaimana kemudian soal pemikiran menjadi dunia dimana dia berpijak, dan melangkah.

Ikuti tulisan menarik Bunk ham lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler