Tokoh Agama Tak Perlu UU Perlindungan
Selasa, 21 Januari 2020 09:52 WIBMasuknya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 tidak dilandasi alasan yang kukuh dan tepat. Dilihat dari berbagai sudut pandang RUU tersebut tidak memiliki urgensi apa pun untuk dibahas dan diteruskan jadi sebuah undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah harus membatalkan pembahasan soal ini dan lebih memprioritas pembahasan RUU yang dibutuhkan warga negara.
Masuknya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 tidak dilandasi alasan yang kukuh dan tepat. Dilihat dari berbagai sudut pandang RUU tersebut tidak memiliki urgensi apa pun untuk dibahas dan diteruskan jadi sebuah undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah harus membatalkan pembahasan soal ini dan lebih memprioritas pembahasan RUU yang dibutuhkan warga negara.
RUU ini adalah satu dari 50 rancangan undang-undang yang disetujui Badan Legislasi untuk masuk dalam prolegnas. Alasan utama disusunnya rancangan ini adalah bahwa ulama harus dilindungi dari ancaman persekusi dan kriminalisasi saat menyampaikan ajaran agama. Jadi, ini semacam hak imunitas yang dimiliki anggota dewan saat bertugas.
Alasan tersebut sangat mengada-ada. Karena bukan hanya ulama, tetapi juga setiap warga negara Indonesia harus dilindungi dari ancaman-ancaman serupa apa pun latar belakang dan status sosialnya. Kedudukan ulama sama belaka di hadapan hukum dengan anggota masyarakat lain. Memaksakan harus ada aturan soal ini adalah ide yang ganjil dan secara mendasar bertentangan dengan salah satu prinsip negara hukum, yakni persamaan di depan hukum (equality before the law).
Lagi pula, soal kriminalisasi terhadap ulama selama ini hanya klaim sepihak saja. Sederet nama yang ditunjukkan telah mengalami kriminalisasi, faktanya memang bermasalah dengan hukum. Ada pun soal persekusi, KUHP menyediakan sekian pasal pidana yang dapat menjerat pelaku aksi tersebut. Mulai dari pasal-pasal terkait perbuatan tidak menyenangkan (ancaman penjara satu tahun) hingga merampas kemerdekaan seseorang dengan ancaman hukuman delapan tahun penjara.
Pendeknya, soal kriminalisasi ulama itu lebih terasa isu elitis dan politis, karena di mana-mana para pendakwah saat ini masih bebas melakukan kegiatan kerohanian dan mensyiarkan ajaran agama. Isu itu pun hanya muncul saat riuh-rendah masa pemilihan presiden lalu, dan kini tak terdengar lagi. Saat itu terjadi komodifikasi agama untuk kepentingan politik.
Bisa diperkirakan, jika beleid ini diberlakukan, justru serangkaian persoalan akan muncul. Salah satunya, aturan ini rawan dijadikan komoditi politik dan tunggangan untuk menguatkan politik identitas. Atas nama hak perlindungan, mislanya, para tokoh agama bebas bicara di mimbar demi memperjuangkan tujuan politik pribadi atau kelompok. Ajaran-ajaran tentang iman yang menjangkau jauh untuk keselamatan ukhrawi, bisa ditelikung demi tujuan duniawi.
Para tokoh agama, atau siapapun yang menasbihkan diri sebagai tokoh agama, juga akan menjadi kebal hukum saat bicara di atas podium. Mereka bisa bicara apa saja termasuk meyinggung (bahkan menyerang) keyakinan kelompok umat lain, dan tentu ini berpotensi merusak keharmonisan masyarakat.
Undang-undang ini sungguh tidak diperlukan dan terkesan sangat mengada-ada. Tokoh agama di Indonesia bukanlah kelompok sosial yang rentan seperti anak-anak, penyandang difabel, kaum migran dan sebagainya. Mereka justru menempati posisi sosial kuat dalam masyarakat. Sebagai agamawan mereka juga telah memasrahkan diri pada spiritualitas dan perlindungan ilahi, dan bukan mengandalkan perlindungan jasmani dari negara.
Editor Indonesiana
1 Pengikut
Gelombang Tuntutan Pecat Miftah Makin Besar, Prabowo Belum Merespon
Jumat, 6 Desember 2024 06:30 WIBMenjejak Puncak Lawu Setelah 35 Tahun
Minggu, 6 Oktober 2024 08:19 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler