Mengapa Kajian Politik Jauh dari Rakyat?

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kompasiana.com Untuk Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Halaman 2 - Kompasiana.com
Iklan

Alasan kajian politik jauh dari diskuruss rakyat, ilmu yang seharusnya membumi menjadi melangit.

***

Di tengah hiruk-pikuk politik praktis yang setiap hari menyapa publik lewat layar televisi dan linimasa media sosial, ada satu ironi besar yang jarang disadari: kajian politik—yang seharusnya menjadi sarana memahami, menuntun, bahkan mengoreksi praktik kekuasaan—justru semakin jauh dari rakyat. Kampus dan lembaga riset sibuk dengan seminar, jurnal, dan teori yang hanya dibaca sesama akademisi; sementara rakyat di lapangan, yang menjadi subjek nyata dari politik itu sendiri, jarang sekali disentuh oleh hasil kajian tersebut. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kajian politik jauh dari diskursus rakyat, diantaranya:

Pertama, politik akademik yang terlalu "Tinggi'. Salah satu penyebab utama adalah watak akademisme yang elitis. Kajian politik di kampus lebih sering berbicara dengan bahasa yang sulit dipahami masyarakat. Teori-teori seperti post-structuralism, neoliberal institutionalism, atau critical theory mungkin menarik di ruang kuliah, tetapi ketika dibawa ke ruang publik, istilah-istilah ini menjadi kabur, bahkan asing.

Para akademisi sering terjebak pada hasrat untuk menulis bagi sesama akademisi. Orientasinya adalah publikasi jurnal terindeks, bukan transformasi sosial. Padahal, politik bukan sekadar ilmu tentang kekuasaan, tetapi juga praktik kehidupan bersama. Rakyat tidak butuh teori kekuasaan dalam bahasa asing; mereka butuh penjelasan yang bisa menjawab pertanyaan sehari-hari: mengapa harga beras naik, mengapa tanah mereka digusur, mengapa suara mereka hanya dihitung saat pemilu tiba. Kajian politik yang tinggi langit ini akhirnya membangun tembok intelektual. Ia menyingkirkan rakyat dari ruang diskusi, seolah rakyat hanyalah objek penelitian, bukan subjek yang bisa berdialog dan berpikir politik.

Kedua, pergeseran fungsi kampus: dari pencerah ke kepentingan korporat. Kampus dan lembaga penelitian politik kini banyak bergeser dari fungsi idealnya sebagai ruang pencerahan rakyat menjadi biro penyedia data untuk kekuasaan atau korporasi. Banyak riset politik dibiayai oleh lembaga donor atau lembaga survei yang kepentingannya tidak selalu berpihak pada rakyat. Akibatnya, arah riset cenderung mengikuti logika proyek: apa yang “layak didanai”, bukan apa yang “penting untuk rakyat”.

Misalnya, kajian tentang “efektivitas kebijakan digitalisasi pemerintahan” mungkin mudah mendapat dana penelitian, tetapi riset tentang “perlawanan petani terhadap tambang” nyaris tak dilirik. Logika kapital pengetahuan inilah yang menjauhkan ilmu politik dari denyut rakyat. Akibatnya, ilmu politik kehilangan daya subversifnya. Ia tidak lagi menjadi alat kritik terhadap kekuasaan, melainkan menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang sedang berlaku. Kajian politik menjadi semacam intelijensia lunak yang memoles citra pemerintah atau korporasi, alih-alih membongkar struktur ketimpangan yang menindas rakyat.

Ketiga, politik praktis menelan ruang kajian. Faktor lain adalah kolonisasi kajian politik oleh praktik politik elektoral. Dalam banyak kasus, kampus dan lembaga penelitian terseret arus politik praktis. Dosen atau peneliti yang seharusnya menjaga jarak analitis, justru menjadi konsultan politik, tim sukses, atau juru bicara partai.

Dalam situasi ini, objektivitas akademik menjadi kabur. Kajian politik berubah menjadi alat justifikasi untuk kandidat atau partai tertentu. Seminar dan riset kehilangan makna kritisnya dan berubah menjadi ajang kampanye terselubung. Maka, yang tersisa hanyalah analisis dangkal: siapa menang, siapa kalah; bukan mengapa sistem politik itu gagal menghadirkan keadilan sosial. Akibatnya, kajian politik tidak lagi berbicara tentang pembebasan rakyat, tetapi hanya tentang strategi memenangkan pemilu.

Keempat, rakyat tidak diundang dalam bahasa ilmu. Masalah lainnya bersifat epistemologis: rakyat seringkali tidak diundang dalam bahasa ilmu. Dalam kebanyakan metodologi penelitian, rakyat diperlakukan sebagai “responden” yang memberi data, bukan sebagai “rekan pengetahuan” yang punya pengalaman politik sendiri.

Padahal, politik rakyat bukan mitos. Di kampung, di pabrik, di pasar, bahkan di gang sempit perkotaan, rakyat berpolitik setiap hari. Mereka mengatur solidaritas sosial, melawan kebijakan yang menindas, dan menegosiasikan ruang hidup mereka. Itu semua adalah praktik politik—tetapi sering tak dianggap sebagai objek sah ilmu politik. Akademisi lebih sibuk menulis tentang parlemen, birokrasi, atau diplomasi, sementara “politik rakyat” diabaikan. Inilah bentuk kolonialisme epistemik yang masih kuat dalam studi politik modern: rakyat hanya dihitung bila sesuai dengan definisi politik versi Barat—negara, partai, dan lembaga formal.

Kelima, krisis bahasa dan representasi. Kajian politik juga jauh dari rakyat karena mengalami krisis bahasa. Bahasa akademik yang kaku dan penuh jargon membuat rakyat merasa asing dengan dunia pengetahuan. “Partisipasi deliberatif”, “kapasitas institusional”, “governance”, atau “demokratisasi prosedural”—semuanya terdengar muluk, tetapi jarang diterjemahkan ke dalam bahasa yang membumi.

Sementara itu, media massa ikut memperparah jarak ini dengan menampilkan politik sebagai pertunjukan elite: konflik partai, drama parlemen, atau manuver kandidat. Politik rakyat—yang sejatinya paling menentukan kualitas demokrasi—nyaris tak punya panggung. Dalam situasi seperti ini, rakyat akhirnya memandang politik sebagai urusan orang di atas sana. Mereka menjadi apolitis, bukan karena tidak peduli, tetapi karena merasa tak punya tempat untuk berpikir dan berbicara politik.

Keenam, lemahnya tradisi pendidikan politik rakyat. Satu hal yang tak kalah penting: pendidikan politik rakyat di Indonesia lemah, bahkan nyaris hilang. Sejak masa Orde Baru, politik rakyat dibungkam lewat doktrin “netralitas” dan “stabilitas nasional”. Setelah reformasi, partai-partai politik lebih sibuk berebut kekuasaan ketimbang membangun kesadaran politik rakyat.

Di banyak desa, pabrik, atau komunitas urban, diskusi politik dianggap tabu atau berisiko. Padahal, politik adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Rakyat berhak memahami bagaimana kebijakan dibuat, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana mereka bisa mengubahnya. Ketika ruang pendidikan politik ini kosong, rakyat kehilangan daya kritis. Kajian politik pun tak punya audiens, karena masyarakat sudah terlebih dahulu dijauhkan dari tradisi berpikir politik yang sehat.

Ketujuh, antara ilmu dan gerakan. Sejarah membuktikan, ilmu politik hanya punya makna bila berpihak pada perubahan sosial. Bung Karno, misalnya, bukan hanya membaca Marx dan Islam, tetapi juga menafsirkan keduanya dari pengalaman rakyat kecil di Surabaya dan Bandung. Dari situlah lahir Marhaenisme—sebuah sintesis ideologi yang membumikan teori dalam praksis rakyat.

Sayangnya, semangat semacam itu jarang ditemukan di dunia akademik hari ini. Kajian politik kehilangan orientasi praksisnya. Ia berhenti di ruang seminar, tanpa menyentuh tanah tempat rakyat berdiri. Padahal, di sinilah mestinya kajian politik berakar: di sawah petani yang tergusur proyek, di pelabuhan nelayan yang terpinggirkan, di kampung kumuh yang bertahan dari penggusuran. Di tempat-tempat seperti inilah teori politik diuji: apakah ia hanya kata-kata, atau sungguh alat pembebasan.

Kedelapan, jalan untuk membumikan politik. Untuk menjembatani jurang antara kajian politik dan rakyat, perlu langkah-langkah radikal: 1) mengubah orientasi pendidikan politik di kampus. Mahasiswa dan dosen politik harus belajar turun ke masyarakat, bukan sekadar meneliti dari balik meja. Field immersion bukan hanya metode riset, tapi cara membangun empati politik. 2) menggunakan bahasa rakyat. Kajian politik harus ditulis dan disebarkan dalam bentuk yang bisa dipahami masyarakat: buku populer, video pendek, podcast, hingga forum komunitas. Ilmu tidak boleh berhenti di jurnal; ia harus menjadi wacana publik. 3) menghidupkan kembali tradisi pendidikan politik rakyat. Organisasi mahasiswa, serikat pekerja, kelompok tani, dan komunitas lokal perlu menjadi laboratorium politik rakyat. Di sana, ilmu dan praksis bertemu; teori diuji oleh kenyataan. 4) menyadari bahwa politik adalah soal keberpihakan. Kajian politik tidak mungkin netral di tengah ketimpangan. Ia harus berpihak pada rakyat, bukan karena sentimen moral, tetapi karena tanpa rakyat, politik kehilangan makna aslinya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Aji Cahyono

Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler