x

Iklan

Muh. Yazid Alfatih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Februari 2020

Jumat, 28 Februari 2020 09:25 WIB

Perantau, Apa Kontribusimu Untuk Daerah Asalmu?

Mewakili suara hati perantau yang menjadi sebab mengapa para perantau belum dapat memberi kontribusi nyata untuk daerah asalnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sejatinya hidup di dunia ini adalah merantau, kita kelak akan kembali pada hidup yang lebih kekal, yaitu akhirat. Kita di dunia hanya mencari bekal untuk hidup selanjutnya.

Lantas merantau yang seperti apa yang dimaksud?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merantau yang dimaksud adalah perpindahan seseorang atau sekelompok orang dari daerah asal ke daerah yang padat penduduk atau ke daerah yang tingkat ekonomi, pendidikan dan insfrastruktur yang lebih baik, guna memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Ada yang merantau dengan tujuan mengadu nasib guna mensejahterakan hidupnya dan keluarganya, ada yang merantau untuk menimba ilmu, ada pula yang merantau hanya sekedar mencari pengalaman hidup, entah apa saja tujuan hidup para perantau yang pasti untuk tujuan yang baik.

Lalu apa kontribusi kita sebagai perantau untuk daerah asal?

Ini pertanyaan yang kadang selalu terngiang dalam pikiran para perantau sekalian, termasuk saya. apa yang bisa kita perbuat untuk daerah asal kita? Pernahkah kita berpikir berulang-ulang apa saja yang ingin kita berikan untuk daerah asal kita?

Sering kali kita merasa terbebani dengan perasaan-perasaan bahwa kita belum bisa berbuat untuk daerah kita, merasa tidak enak, merasa segan bahkan khawatir yang berlebihan.

Ada orang yang telah merantau sejak lama, ia telah menjadi figur sukses di perantauan dan juga menjadi kaya, tapi tak pernah ada sesikitpun kontribusi untuk daerah asalnya, bahkan jejaknya hilang untuk daerah asalnya.

Ada yang telah sukses di perantauan, namun ia kembali ke daerah asalnya, menuangkan segala ide dan pikiran serta mengabdi untuk daerahnya.

Ada yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dan memiliki kompetensi yang mumpuni, tapi ia hanya menjajakan namanya dengan mencari pamor di politik daerah asalnya dan berkompetisi di pemilu, ketika tidak menang ia pun hilang.

Ada pula yang belum dapat memberi apa-apa untuk daerah asalnya, termasuk saya, pulang malu tak pulang rindu. Lalu apa sebabnya?

Berdasarkan teori hierarki kebutuhan menurut Abraham Maslow, bahwa kebutuhan manusia seperti gambar piramida atau segitiga. Tersusun dari kebutuhan yang paling dasar yaitu kebutuhan akan rasa lapar, rasa haus dan sex, naik pada kebutuhan selanjutnya yaitu kebutuhan akan rasa aman, kemudian kebutuhan akan rasa kasih sayang (mencintai dan dicintai), lalu kebutuhan akan penghargaan diri, dan puncak tertinggi adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.

Lalu bagaimana hubungan teori tersebut dengan kontribusi para perantau?
Baik, saya akan mencoba paparkan secara sederhana bagaimana hubungannya.

Merujuk pada teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow tersebut, kita dapat mempetakan bahwa kebutuhan tertinggi adalah kebutuhan mengaktualisasikan diri, yaitu kebutuhan untuk membuktikan dan menunjukan dirinya kepada orang lain. Pada tahap ini, seseorang mengembangkan semaksimal mungkin segala potensi yang dimilikinya.

Dalam hal ini termasuk bagaimana kita dapat memberi kontribusi positif untuk daerah asal kita, mengerahkan segala kemampuan yang kita miliki sebagai bentuk pengabdian pada daerah asal, biasanya para perantau merasa belum ada sesuatu yang luar biasa untuk ditunjukkan kepada daerah asalnya, sehingga sering ia merasa malu atau segan.

Kebutuhan akan aktualisasi diri tidak akan terpenuhi dengan baik jika kebutuhan akan penghargaan tidak dapat dicapai dengan baik. Kita membutuhkan penghargaan atas prestasi-prestasi, penghormatan, ketenaran dan harga diri, dan hal itu sering kali belum cukup dimiliki oleh para perantau dalam memberikan kontribusi positif untuk daerah asalnya.

Selanjutnya untuk memperoleh kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri, kita membutuhkan rasa kasih sayang di antara sesama, kita butuh dicintai oleh orang lain, pemenuhan kebutuhan ini seperti berteman dengan banyak orang, bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan. Pada aspek kebutuhan ini hampir semua perantau memilikinya dan mudah mendapatkannya.

Kebutuhan akan rasa aman juga jauh lebih diutamakan seseorang daripada kebutuhan akan rasa nyaman, kasih sayang dan cinta. Seseorang tidak akan mendapatkan rasa nyaman dan kasih sayang yang penuh dari orang lain jika ia tidak dalam keadaan aman, atau jika rasa aman telah dipenuhi maka akan lebih mudah meraih kenyamanan dan kasih sayang.

Rumah atau tempat tinggal adalah salah satu aspek untuk memperoleh rasa aman. Ia aman dari hujan dan terik, aman dari tindak kriminal dan sebagai tempat berlindung dari segala marabahaya.

Banyak sekali perantau yang mengadu nasib hanya untuk memperoleh rupiah guna membangun rumah atau tempat tinggal yang layak, sehingga mereka merantau dahulu untuk memperoleh itu semua.

Terakhir, seseorang tidak akan mendapatkan semua tingkatan kebutuhan tersebut, jika ia belum memenuhi kebutuhan dasarnya. Apa itu? Yaitu kebutuhan akan rasa lapar dan haus.

Kebutuhan dasar ini adalah kebutuhan yang tidak dapat ditunda, ia harus selalu ada dan hadir sebagai pondasi untuk mencapai tingkat kebutuhan lainnya.

Semua orang termasuk para perantau bekerja dengan keras hanya untuk memenuhi kebutuhan akan rasa lapar dan haus. Ada yang menabung jutaan bahkan puluhan juta hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum di setiap bulannya, bahkan jika kita mengkalkulasikan kebutuhan, maka pengeluaran akan kebutuhan makan dan minum ini jauh lebih besar daripada kebutuhan lainnya, belum lagi jika dikalikan dengan berapa banyak anggota keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh salah satu anggota keluarga atau kepala keluarga.

Maka dengan demikian menjadi alasan utama sebab mengapa para perantau ini belum ingin pulang ke daerah asalnya dan memberikan kontribusi nyata untuk daerahnya.

Sederhananya begini, bagaimana seorang perantau bisa maksimal memberi kontribusi yang lebih baik untuk daerahnya jika untuk memenuhi kebutuhan dasarnya setiap hari ia juga belum mampu? Apalagi untuk memenuhi kebutuhan yang tinggi.

Nah, kiranya penjelasan tentang kebutuhan di atas hanya mengarah pada para perantau yang yang mencari nafkah. Tapi bagaimana dengan para perantau yang menimba ilmu dan mencari pengalaman hidup, seperti pelajar atau mahasiswa?

Saya pikir hampir sama saja, mahasiswa yang masih kuliah pun tuntutan hidupnya tidak hanya menimba ilmu, tapi dituntut untuk memperoleh pengetahuan sebagai modal mencari kerja. Kasarnya adalah status mahasiswa diperoleh untuk mendapatkan ijazah sebagai syarat lamaran pekerjaan yang lebih layak, sehingga dapat memenuhi kebutuhannya.

Ada banyak sarjana yang setelah lulus ia memilih untuk tidak langsung pulang dan mengabdi untuk daerahnya, tapi ia merantau untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Biasanya setelah kebutuhan hidup dirasa cukup terpenuhi, kemudian ia baru dapat pulang dan memberikan kontribusi untuk daerahnya.

Jadi, untuk menjawab pertanyaan tentang apa kontribusi para perantau untuk daerah asalnya?

Ringkasnya adalah hampir semua perantau ingin memberi kontribusi untuk daerahnya sebagai pemenuhan akan beban moral para perantau yang merasa belum mampu memberi kontribusi. Hanya saja ia harus memenuhi semua kebutuhan pribadinya sebagai modal bahwa selanjutnya ia akan mampu memberi kontribusi untuk daerah asalnya.

Selain itu ia merasa belum memiliki cukup kompetensi dan ilmu yang mumpuni untuk diberikan kepada daerahnya, sehingga ia pun masih ingin merantau untuk menambah ilmu dan pengalaman sebelum akhirnya kembali memberi kontribusi positif untuk daerah asalnya.

Selanjutnya bentuk kontribusi itu banyak macam, bisa dalam bentuk materi atau pun non materi.  Para perantau yang merasa memiliki materi lebih seperti uang ia dapat memberi kontribusi berupa materi tersebut.

Kontribusi non materi dapat diberikan berupa pengabdian di bidang sosial, pendidikan dan politik dengan kompetensi dasar ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Ia dapat membangun sumber daya manusia dan generasi daerahnya dengan ilmu dan pengalaman baik yang didapatkan.

Kesimpulannya adalah bahwa mayoritas para perantau belum dapat memberikan kontribusi secara baik untuk daerah asalnya jika kebutuhan-kebutuhan individu para perantau belum dapat terpenuhi secara maksimal.

Lalu apa kontribusi penulis sendiri untuk daerah asalnya?

Saya?

Iya, siapa lagi? Wong yang nulis adalah kamu Irfansyah Masrin.

Hehe.. Jawaban saya sama kok seperti penjelasan saya di atas.
Saya belum memiliki banyak harta atau materi sehingga belum dapat memberi kontribusi secara materi untuk daerah asal saya, saya belum dapat memenuhi kebutuhan pribadi saya dan keluarga saya secara baik. Saya juga belum memiliki cukup ilmu dan pengalaman yang tinggi, sehingga saya belum bisa pulang untuk melakukan pengabdian secara langsung untuk daerah asal saya.

Sekarang saya hanya bisa memberi secuil kontribusi pengetahuan berupa tulisan yang mungkin dapat bermanfaat, selain itu saya hanya baru bisa memberi sedikit pembinaan moral pada adik-adik mahasiswa daerah di tempat perantauan saya, mungkin dari mereka akan lahir generasi yang akan lebih memajukan daerah asal saya. Aamiin..

Sekian...

Irfansyah Masrin

 

 

Ikuti tulisan menarik Muh. Yazid Alfatih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB