x

Iklan

wilup jambi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 4 Maret 2020

Kamis, 5 Maret 2020 07:47 WIB

Kebijakan Pemerintah Dianggap Intoleran, Konsep Kerakyatan Jadi Tandingan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wilayah Kelola Rakyat (WKR) adalah konsep tandingan yang diajukan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) agar pembangunan di indonesia bisa berubah arah dan maindset-nya. Sebab dari Kementrian Koperasi dan UMKM mengatakan bahwa yang menyelamatkan ekonomi indonesia di krisis 1998 adalah usaha-usaha mikro, usaha-usaha skala kecil, pahlawan-pahlawan ekonomi ini yang tidak dilihat tapi pemerintah justru mendorong RUU Omnibus Law, Mendorong kembali investasi skala besar yang terbukti sudah merusak dan menimbulkan krisis ekologis, bencana dan kemiskinan di banyak tempat.

Kebijakan pembangunan seperti itu dinilai intoleran terhadap rakyat jika dilihat dari keberagaman ekonomi yang hidup di masyarakat.

Sebab semua mau diseragamkan, semua mau dijadikan sawit, semua mau dijadikan batubara, semua mau dijadikan hutan tanaman industri, yang secara alamiah juga bertentangan dengan hukum alam karena yang namanya hukum alam semakin tinggi keberagaman di suatu wilayah maka semakin stabil ekositemnya, jadi kebijakan ini yang harus di evaluasi kembali, diperbaiki model dan konsepnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Demikian ungkap Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional saat jumpa pers di Festival Wilayah Kelola Rakyat, Rabu (3/3) di Kota Jambi.

“Dengan festival WKR kami ingin memunculkan rakyat sebagai aktor utama dari pembangunan ekonomi sekaligus memunculkan keberagaman ekonomi di komunitas yang sudah menyatu dengan wilayah hidupnya, dan ini yang kami lihat sebetulnya potensi yang sangat besar yang lupa dilirik pemerintah” ujar Nur Hidayati.

Festival WKR di Jambi menurutnya salah satu dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Walhi daerah seperti di Palu, Donggala, Sulawesi Tengah, Disana ada festival Lokal Rano Ekosistem Danau yang mana ekonomi disana bisa bertahan paska gempa.

Upaya seperti ini penting di promosikan dengan begitu muncul aktor-aktor ekonomi di komunitas yang memang harus lebih banyak mendapatkan perhatian pemerintah, difasilitasi pemerintah, sehingga mereka bisa tetap menjadi aktor dan subyek kuat dalam membangun ekonomi negara.

Konsep WKR adalah suatu proses integratif yang dalam prosesnya dilakukan secara partisipatif, pelaksanaannya selaras dengan kondisi ekosistem setempat, sesuai dengan fungsi-fungsi ekologis yang ada di wilayah tersebut, ini yang sebenarnya penting di garis bawahi agar pembangunan kita ke depan tidak lagi eksploitatif tapi bagaimana sekaligus memulihkan kondisi ekosistem yang sudah rusak.

Lokasi WKR

Di tahun 2016 Walhi sudah mengidentifikasi ada seluas 643.600 hektar yang lokasinya tersebar di 24 provinsi di 310 desa, di wilayah dampingan Walhi itu kondisinya berkonflik dengan perusahaan dan dengan wilayah konservasi karena masuk dalam wilayah masyarakat adat maupun masyarakat lokal.

“Kami tidak memiliki target capaian tertentu dalam setiap tahunnya karena bagi kami yang lebih penting adalah prosesnya. Proses legitimasi itu harus partisipatif melibatkan masyarakat dan harus ada proses resolusi konflik yang permanen,” tutur dia.

Misalnya, Kalau itu berkonflik dengan perusahaan bagamana ketika wilayah itu di ciut kan, dikembalikan ke masyarakat, perusahaan tidak mengganggu gugat lagi itu yang harus dipastikan seperti yang sudah di lakukan di Riau di Sungai Tohor yang mana izin perusahaan dicabut 10 ribu hektar dan dikembalikan ke masyarakat melalui akses legal perhutanan sosial - hutan desa.

“Itu yang kami inginkan proses yang benar-benar permanen dan dihormati legalitasnya, keamanannya, secara tenurial untuk kelompok-kelompok di komunitas,” ujar dia. 

Posisi WKR di RUU Omnibus Law

Pemerintah selalu mengundang investasi dan sampai sekarang dinilai tidak berhasil. Sudah empat tahun pemerintah melakukan deregulasi sampai mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi yang isinya semua deregulasi.

Disisi lain, sambil menunggu-nunggu yang tidak datang di depan mata ada model ekonomi jutaan rakyat yang mau berproduksi tapi tidak punya akses.

Kalau di lihat sekarang sekitar 60 persen daratan di indonesia sudah di kuasai oleh konsesi, koorporasi, padahal tanah itu adalah basis produksi.

Jadi kalau pemerintah mau ekonomi indonesia bangkit segera lakukan dekonsentrasi.

Pemilik yang kuasai lahan skala besar harus segera di restribusikan kepada rakyat, harus dilakukan reforma agraria secara benar, dan lokasi-lokasi kawasan hutan harus diberikan akses ke masyarakat dan fasilitas-fasilitas yang menunjang produksinya.

“Kayak sekarang kenapa masyarakat susah mendapat akses finansial karena mereka dianggap tidak punya surat, tidak punya legalitas, padahal kalau ke bank harus ada jaminan, karena pemerintah tidak memberi pengakuan kepemilikan asetnya sehingga bagamana mereka mendapatkan akses pendanaan?” tanya Direktur Nasional Walhi tersebut.

Terkait dengan peningkatan kapasitas produksi rakyat kalau di asistensi cara bertaninya, cara budidayanya, produktifitasnya bisa meningkat, harga juga semakin baik, ini sudah terbukti dan yang harusnya lebih banyak dilakukan oleh pemerintah.

Kemudian soal akses pasar bagaimana supaya jangan lagi di kuasai kartel, rakyat kalau tidak punya bekingan, pemodal besar, tidak bisa bermain di pasar juga, udah produksi tapi tak bisa di jual, harusnya ini yang dilakukan terobosannya oleh pemerintah dibanding sibuk mengurus RUU Cilaka yang isinya tidak ada hubungan dengan menciptakan lapangan kerja justru akan menghilangkan pekerjaan orang-orang, pekerjaan rakyat yang sudah berproduksi menjadi terancam oleh investasi besar karena bisa mendapatkan tanah lebih gampang misalnya, bisa seenaknya melegalisasi suatu tempat, suatu wilayah, padahal disitu sudah ada masyarakat.

Suku Talang Mamak Tebo

Menyikapi wilayahnya masuk dalam izin restorasi PT ABT yang mana jalan dari dan menuju lokasi/rumah mereka dipasangi portal dan harus lapor/izin jika mau mengeluarkan hasil hutan non kayu seperti madu, rotan kepada perusahaan, itu sama artinya sudah berkonflik.

“Jadi Walhi tidak hanya melihat jenis industrinya karena dalam WKR itu ada empat pilar yang paling utama harus ada kejelasan tata kuasa bahwa keberadaan masyarakat itu yang pertama-tama harus aman disitu. Seharusnya ketika perusahaan masuk atau mengajukan izin dia harusnya tau bahwa ada kelompok masyarakat adat disana. Kalau dia seperti itu dia sama saja sudah menghalangi masyarakat yang sudah lebih dulu ada disana dalam mengakses wilayahnya sendiri,” ujar Nur Hidayati.

Disisi lain, memang masyarakat belum mendapat pengakuan secara legal secara dejure dari pemerintah, nah ini yang harus dilakukan proses resolusi konfliknya, penyelesaian konfliknya, tumpang tindih areal perusahaan terhadap wilayah adat Talang Mamak itu proses penyelesaian konfliknya harus berlandaskan pada hak, artinya masyarakat adat yang lebih dulu disana yang lebih dulu diakui keberadaannya.

“Ini yang sebenarya harus dilakukan entah pemerintah yang memulai atau perusahaannya kalau dia memiliki niat baik untuk menyelesaikan konflik dia bisa jmenginisisasinya” tutup Nurhidayati.

Tujuan WKR

Poin yang mau disampaikan kita meminta kepada para pihak supaya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat karena aspek keberlanjutan dan kearifan lokal di masyarakat dalam mengembangkan potensi menjadi modal utama dalam proses keberlanjutan yang sudah ada.

Selain melakukan work shop, bazar produk UMKM dari dampingan beberapa organisasi masyarakat sipil di acara ini juga ada kegiatan pemutaran film dan talk show perempuan pejuang lingkungan.

“Pemutaran film aspek yang mau ditonjolkan adalah bagaimana perempuan pejuang lingkungan menggelola SDA dan menumbuhkan ekonomi mereka, ini menarik karena yang berbicara adalah kelompok-kelompok perempuan yang nanti juga ada penyampaian dari Kementrian Desa bagaimana peran perempuan di dalam pembangunan desa, Ada juga Milenial Bicara Lingkungan dan hiburan rakyat serta konsolidasi perempuan pejuang lingkungan yang akan mengeluarkan statmen atau deklarasi bagaimana kelompok perempuan mempertahankan lingkungan untuk keberlanjutan generasi yang akan datang dalam acara dua hari ini 3-4 Maret di Kota Jambi" ujar Rudiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi.

Ikuti tulisan menarik wilup jambi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu