Dosen, Tutor, Aktivis dan Pengamat Masalah Sosial.

Ojol Tewas di Jalan, Kompol Kosmas Tewas di Sistem; Negara Menindas Dua Kali

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi (Sumber:Koleksi Dok Pribadi) Perjuangan Tidak Pernah Selesai Selama Ketidakadilan Masih Ada
Iklan

Tragedi ini adalah Kketelanjangan dari negara yang gagal melindungi rakyat kecil sekaligus menyingkirkan aparatnya sendiri.

Oleh : Serfina Hoar Klau, M. Pd

Tragedi sosial-politik di negeri ini seolah tak ada habisnya. Beberapa hari ini, Indonesia diguncang oleh perang demokrasi, perang keadilan dan hukum yang seolah mati rasa. Publik diguncang oleh dua peristiwa yang meskipun berbeda ruang, memiliki benang merah yang sama: seorang pengendara ojek online (ojol) tewas dilindas kendaraan aparat dan seorang perwira polisi, Kompol Kosmas, diberhentikan secara tidak adil karena sikap kritisnya.

Dua peristiwa itu menyatu menjadi potret telanjang bahwa negara bisa hadir bukan sebagai pelindung, tetapi algojo yang menggilas rakyat dan aparatnya sendiri. Sistem sungguh menjijikkan dan kejam. 

Fenomena ini mengingatkan kita pada tesis klasik Michel Foucault tentang kekuasaan. Ia menyatakan kekuasaan bukan hanya mengatur, tetapi juga mendisiplinkan tubuh, membungkam suara, dan menentukan siapa yang berhak hidup serta siapa yang pantas disingkirkan. Dalam kasus ini, negara telah melakukan penindasan ganda_pertama terhadap rakyat kecil di jalanan, kedua terhadap aparat yang memilih berpihak pada kebenaran.

Nyawa Murah di Jalanan Negara

Kematian seorang ojol akibat dilindas kendaraan aparat menunjukkan betapa rapuhnya posisi rakyat kecil di hadapan kekuasaan. Pekerja jalanan, yang seharusnya menjadi subjek pembangunan, justru diperlakukan sebagai objek yang mudah dikorbankan. Hannah Arendt pernah menyinggung konsep banalitas kejahatan, bahwa kejahatan besar seringkali terjadi bukan karena kebencian, tetapi karena sistem yang membiarkan ketidakadilan berlangsung tanpa pertanggungjawaban.

Di Indonesia, tragedi ojol yang dilindas seakan direduksi menjadi sekadar kecelakaan lalu lintas. Padahal, ini adalah simbol politik: rakyat jelata tak punya harga di mata penguasa. Ketika nyawa bisa hilang begitu saja, tanpa jaminan keadilan, negara gagal menjalankan kontrak sosial ala Jean-Jacques Rousseau, di mana negara lahir untuk melindungi kehidupan rakyat. Alih-alih melindungi, negara justru merenggut nyawa tanpa syarat. Sungguh ironi nasib rakyat. 

Integritas yang Dihabisi Sistem

Kasus pemecatan Kompol Kosmas menjadi ironi lain. Di tengah institusi yang kerap dipersepsikan penuh penyalahgunaan wewenang, kehadiran aparat kritis seharusnya dilihat sebagai pengingat moral. Namun, sistem lebih memilih menghukum suara kritis daripada mengoreksi kebusukan internal yang ada keberpihakan yang kritis dan bijaksana. 

Di sinilah relevansi Antonio Gramsci tentang hegemoni bekerja. Negara tidak hanya menggunakan kekuatan koersif (pemaksaan), tetapi juga membangun konsensus palsu. Aparat dipaksa tunduk pada aturan main yang sejatinya bukan hukum substantif, melainkan hukum kekuasaan. Kompol Kosmas bukan dihukum karena salah, tetapi karena berbeda. Ia "tewas” bukan secara fisik, tetapi secara institusional_disingkirkan dari sistem karena terlalu lurus di jalan yang bengkok.

Negara Menindas Dua Kali

Jika ditarik garis lurus, tragedi ojol dan pemecatan Kompol Kosmas adalah bentuk represi struktural. Johan Galtung menyebutnya sebagai structural violence_kekerasan yang tidak selalu tampak secara fisik, tetapi bekerja lewat struktur dan kebijakan yang tidak adil. Ojol menjadi korban kekerasan langsung di jalan, sementara Kompol Kosmas menjadi korban kekerasan struktural dalam institusi.

Negara, dalam hal ini, telah menunjukkan wajah ganda: represif terhadap rakyat kecil, dan represif terhadap aparat yang memilih berdiri di sisi kebenaran. Inilah yang disebut Louis Althusser sebagai repressive state apparatus, di mana negara menggunakan kekuatan untuk memastikan stabilitas kekuasaan, bukan keadilan.

Demokrasi yang Retak

Indonesia kerap membanggakan diri sebagai negara demokrasi, tetapi kedua kasus ini memperlihatkan bahwa demokrasi hanya bekerja pada level prosedural, bukan substantif. Demokrasi diukur dari pemilu yang berlangsung, bukan dari bagaimana rakyat kecil mendapat perlindungan hukum. Demokrasi diukur dari stabilitas politik, bukan dari keberanian aparat menjaga integritas.

Pada akhirnya, rakyat dipaksa menerima bahwa nyawa mereka murah, dan aparat dipaksa memahami bahwa integritas mereka berisiko dihukum. Maka benarlah kata Franz Fanon, bahwa kekuasaan kolonial (atau neo-kolonial dalam negara modern) bekerja dengan cara mendomestikasi: membuat rakyat tunduk pada ketakutan, dan membuat aparat tunduk pada perintah.

Penutup: Peringatan untuk Negara

Tragedi ojol yang tewas di jalan dan Kompol Kosmas yang tewas di sistem adalah dua wajah dari kegagalan negara. Ketika negara tidak lagi hadir untuk melindungi rakyat dan menjaga integritas aparat, maka negara sedang menggali liang kuburnya sendiri.

Kekuasaan bisa bertahan karena rasa takut, tetapi kepercayaan rakyat adalah fondasi yang jauh lebih kuat. Jika negara terus menindas dua kali_menggilas rakyat di jalan dan menghabisi aparat yang kritis di dalam sistem,maka lambat laun legitimasi akan runtuh. Sebab sejarah selalu mengajarkan: tidak ada kekuasaan yang abadi berdiri di atas penderitaan rakyat.

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler