x

Iklan

Evie Luthfiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Februari 2020

Kamis, 2 April 2020 10:25 WIB

Tak Ada Lagi Senja

Kisah ini saya tulis dari kisah pribadi sahabat saya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Evie Luthfiyah

 

“Nadin, tolong beres-beres rumah yah, Umi mau ke pasar dulu.” Teriak umi sambil berlalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ah... ada apa ya? Fikirku dalam hati, tak seperti biasanya hari ini umi sibuk sekali, tapi ya sudahlah yang penting sebagai anak yang baik aku harus melakukan apa yang umi katakan. Akhirnya aku pun membersihkan rumah yang seperti kapal pecah, maklumlah di rumahku banyak sekali abang-abangku yang selalu membuatku kesal, dasar laki-laki maunya dirapihkan saja, tapi aku senang karena abang-abangku begitu baik, aku anak bungsu dari empat bersaudara kakakku semuanya laki-laki jadi tak heran jika kelakuanku seperti anak laki-laki, karena dengan siapa lagi aku bermain kalau bukan abang-abangku yang katanya nakal.

Aku begitu bersyukur kepada Allah karena telah memberikan orang-orang yang begitu sayang padaku, apalagi umi yang begitu lembut yang selalu sayang padaku dan abang-abangku, meski aku tahu, aku hidup tak seperti orang lain yang selalu didampingi ayahnya. Tapi, aku berbeda aku tak pernah melihat sosok itu bahkan aku tak pernah tahu seperti apakah ayah itu, semenjak aku dalam kandungan, ayah pergi entah kemana, ah... dia begitu tega, tapi biarlah aku masih bisa tersenyum walaupun tanpa adanya seorang ayah.

“Assalamu’alaikum...” terdengar suara itu dibalik pintu dan mengagetkan lamunanku saja.

“Waalaikumussalam...” jawabku, dan setelah kubuka pintu ternyata umi.

“eh, Umi sudah pulang...?” tanyaku sambil mencium tangannya yang lembut.

“iya sayang...” jawab Umi sambil tersenyum.

“oh iya Mi, sepertinya hari ini Umi sibuk sekali, ada apa Mi?” tanyaku lagi sambil meminum segelas air putih.

“Nak, kamu mau tahu tidak kalau hari ini ayah akan datang!” jawabnya dengan raut muka yang begitu senang, aku tersentak kaget.

“Ayah???, kenapa dia mesti datang? Bukankah dia sudah meninggalkan kami?” gerutuku dalam hati sambil berlalu dari hadapan umi.

“Nadin, kenapa?” tanya Umi begitu heran, melihat raut wajahku yang begitu tak senang mendengar kata ayah.

“Tidak Mi!” teriakku sambil memasuki kamarku, aneh sekali kenapa umi begitu senang dengan datangnya ayah, padahal kita sudah ditinggalkan ayah, ah...aku benci kenapa dia mesti datang, aku jarang melihat sosok ayah yang begitu tega meninggalkan kami, rasanya ingin sekali aku menjerit...

Lagi pula enak sekali ayah, sekarang saat kami sudah dewasa dia datang, tapi kenapa saat kami kecil dan sangat membutuhkan seorang ayah sedikitpun ia tak pernah hadir apalagi sampai membiayai kami sekolah, dasar laki-laki tak tahu diri!” gerutuku dalam hati.

“Nadin...” ah siapa itu mengagetkanku saja.

“iya!” sahutku kesal.

“Nadin, sini dong ada kejutan nih.” kata abangku yang super nakal.

“iya iya nanti Nadin kesitu!” jawabku, akhirnya dengan begitu penasaran aku keluar menuju ruang keluarga, di sana umi dan abang-abangku, sudah berdiri menungguku.

“Nadin, coba tebak apa kejutannya?” tanya abangku yang pertama.

“apa sih bang?” tanyaku lagi penasaran.

“satu...dua...tiga..., Nadin lihat kebelakang siapa itu?,” seru ketiga abangku, aku tersentak kaget, ah...sosok itu, ayahkah? Atau siapa itu.

“Ayaaah...!!!” ketiga abangku memeluk sosok laki-laki itu.

Yah...itu ayahku, lelaki yang begitu aku benci!,aku langsung lari menuju kamarku,rasanya aku tak tahan melihat semua ini.

“Nadin...” teriak Umi sambil mengejarku.

“Umi biarlah mungkin Nadin masih syok” kata abangku sambil menahan umi.

“Ya Allah... apa yang harus kulakukan, dosa apa aku sehingga kau datangkan seorang yang aku benci” kataku sambil menangis.

 

* * *

            Waktu pun terus berlalu namun aku masih tetap membenci lelaki itu, meski sering kali dia mencoba mendekatiku tapi, aku selalu menghindar meski aku tak tega melihat wajahnya yang sudah mulai keriput itu seperti ada raut-raut kesedihannya, tapi dia juga tega terhadapku, kenapa aku harus tidak tega, aku bisa membalas semua yang pernah ia lakukan terhadapku, umi dan abang-abangku.

            Pagi yang begitu sejuk, hari ini tak biasanya aku tak melihat lelaki itu di taman belakang rumahku, ah...dimana dia?, ku akui meski aku benci dengannya tapi aku selalu mencarinya jika dia tak ada, seperti hal nya saat ini saatku lewati kamar umiku aku mendengar seperti ada seseorang yang mengeluh kesakitan, aku begitu cemas tapi, rasa cemas ini seperti hilang oleh rasa benci yang begitu menderang, aku langsung pergi ke kamarku tanpa memperdulikannya, tapi saat kulihat kembali dia sudah tidak ada di kamar itu lagi.

“Ah dimana?... rasanya sepi sekali, umi, abang, kemana mereka?” tanya dalam hatiku, baru kusadari aku hanya sendiri disini.

“tring...tring...tring...” Bunyi telepon itu mengagetkanku saja, aku pun langsung mengangkatnya.

            “Assalamu’alaikum..” terdengar suara disana.

            “Waalaikumsalam” jawabku

            “Nadin, kamu cepet ke rumah sakit yah, ayah sakit dia memanggil-manggil namamu sayang, tolong datang” pinta abangku dengan nada memohon, tanpa menjawab apapun aku langsung menutup telepon itu.

            “Peduli apa sih aku! Terserah dia, mau sakit atau pun apa, yang pasti dia adalah orang yang tega dan itu balasannya,” kataku sambil menuju ke taman belakang karena di situlah aku bisa mendapatkan ketenangan jika aku sedang merasakan kesedihan. Tak sengaja kumembuka buku agenda yang sudah begitu kumuh yang kudapati dibawah vas bunga melati, tanpa berpikir lagi aku langsung membukanya dan aku mendapati tulisan yang sepertinya membuatku ingin membacanya.

“15 Mei, Bandung...

Ingin rasanya kupeluk erat sang mutiara hati, namun sang mutiara sepertinya membenciku, aku tak mengerti mengapa aku harus menghadapi hal seperti ini, sudah sekian lama aku menunggu dimana hari bertemunya aku dan mutiara-mutiara yang aku sayangi, tapi... kini menyedihkan.. yah aku tahu, mungkin aku terlalu lama pergi... namun, kulakukan semua ini demi mutiara hatiku yang harus aku layari agar mereka menjadi orang yang sukses. Tapi... sekarang setelah aku kembali, ah...rasanya hatiku ini seperti terluka, putri satu-satunya yang aku miliki dan yang aku sayangi, dia seperti tak menganggapku, dosa apakah aku Ya Allah... aku tahu mungkin semenjak ia lahir aku tak ada disampingnya karena jarak yang begitu jauh, aku hanya mendapatkan kabar tapi sering kali aku meminta foto anak-anakku dan setelah kulihat anak terakhirku ternyata perempuan, aku begitu senang... rasanya aku ingin sekali memeluknya, tapi... jangankan sekarang memeluknya menyentuhnya pun aku tak kuasa karena dia membenciku, ku akui ini semua bukan salahnya tapi salahku.

Ayah..”

            Tak terasa air mataku mulai mengalir, rasanya seperti mimpi. Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Ternyata aku salah, ternyata dia adalah sosok yang begitu baik, Ya Allah aku begitu berdosa, Ya Allah maafkan hambamu ini.

Ayah!!!, aku tak tahan lagi, Aku langsung pergi ke rumah sakit karena aku tahu ayah membutuhkanku. Setelah sesampainya aku di sana, aku terlambat aku hanya mendapati suara tangisan yang memilukan dari abang-abangku, umiku dan di sana kulihat jasad yang tak berdaya... rasanya jantung ini berdetak-detak dan darah ini seperti berhenti mengalir, aku yang tak bisa menerima semuanya akhirnya aku menjerit dan meronta-ronta. ”Ayah...Ayah..Ayaah... bangun, peluk Nadin ayah...ayah maafin Nadin, ayaah..ayah..jangan diam, ayah bangun”. Tatapku seperti orang gila.

“Nadin, sudahlah nak... Ayah sudah tiada” kata umi sambil memelukku.

“Umi, bangunkan Ayah Mi.. katakan pada Ayah suruh peluk Nadin” kataku lagi sambil menangis.

“Abang tahu perasaan Nadin, tapi sudah yah.. Nadin jangan menangis, Ayah sudah tidak ada” kata abangku yang akhirnya memeluk erat tubuhku.

“Umi... kenapa Umi tidak kasih tahu Nadin kalau ayah itu pergi bukan karena tega, tapi Ayah pergi untuk biayain Nadin, kenapa Umi??” gurutuku kesal!

“Nadin, Umi baru ingat sekarang dan saat Umi ingin kasih tahu semuanya disini, Nadin malah keras kepala dan  tidak mau datang ke rumah sakit” jelas umi

Aku yang tak bisa mengalahkan siapa pun akhirnya aku kembali menjerit-jerit sambil memeluk jasad ayahku yang kini terbujur dan tak berdaya. Kini aku hanya bisa menyesali atas keangkuhanku dan aku seperti tak ada kekuatan untuk hidup, jantuk yang seolah tak ingin lagi berdetak  dan darah yang seolah ingin berhenti dipersendiannku dan seperti halnya senja yang kan hilang selamanya dari pelupuk mataku.

 

Alfaqiiroh_

Ikuti tulisan menarik Evie Luthfiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler