x

Buku berjudul Perempuan yang Dibiarkan Pergi, karya Akiko Lahitani.

Iklan

M. Fitrah Wardiman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Maret 2020

Kamis, 2 April 2020 16:35 WIB

Bacaan Untuk Perempuan yang Ditinggal Pergi Karena Pacarnya Dijodohkan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awan mendung menyelimuti batin Lara. Cinta yang mengoyak, tradisi yang doktriner, lingkungan konservatif, serta kehadiran pahlawan oposisi, tak luput menjadi pemicunya.

Demikian sepintas kisah dalam novel berjudul Perempuan yang Dibiarkan Pergi karya Akiko Lahitani, perempuan kelahiran Sumedang yang belum menikah.

Meski berangkat dari tema mainstream, roman setebal 326 halaman ini tetap saja memikat dan memberi pandangan baru perihal pertempuran batin yang tak pernah selesai dibicarakan: cinta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Semua kisah yang tertuang adalah investasi berpikir yang meleburkan pengalaman dan harapan," begitu kata penulisnya dalam kata pengantar, sekaligus mengonfirmasi kalau ada narasi kuat kehidupan personal.

Terbagi ke dalam dua belas chapter, novel yang diterbitkan Beatzy Publishing ini mengisahkan perjumpaan sepasang insan yang bubar lantaran tradisi perjodohan.

Peristiwa berawal dari Irlandia. Lara, tokoh utama dalam cerita, tertawan pada pria bernama Faas. Keduanya lantas menyatu seperti hidung dan upil, menjalin hubungan asmara.

Namun diseparuh jalan, Lara tak menyangkan harus kehilangan sosok yang begitu ia cintai. Faas dijodohkan dengan perempuan lain bernama Mutiara, wanita pilihan keluarganya. Nggak cantik, sih. Tapi kaya.

Mengetahui itu, Lara diguncang kesedihan. Batinnya berontak. Emosinya menggerutu, “Betapa malangnya manusia yang tunduk bukan pada kehendaknya sendiri, bukan pada pilihannya sendiri,” protesnya. Menyiratkan pesan kalau kultur perjodohan membuat manusia kehilangan pilihan.

Tak disangka, Lara pun sempat dijodohkan dengan pria lain. Tapi ia menolak. Ini berkebalikan dengan sikap Faas. Alasannya, Lara ingin memperjuangkan pilihannya sendiri, dan itu adalah hak atas hidupnya di dunia. Manusia tanpa pendirian, bagi Lara, layaknya musim panas tanpa matahari. Keteguhan prinsip ini kemudian mewarnai konflik batin yang berpusat pada kehidupannya.

Perkara lain juga datang dari gesekan lingkungan yang konservatif. Tekanan keluarga turut memperkeruh situasi. “Kapan kamu berhenti mengecewakan keluarga, berhenti mengikuti egomu, berhenti mengintimidasi orang-orang di barat itu. Sopan santun dan adat istiadat yang nenek perhatikan sudah tidak ada lagi di dalam dirimu,” dinukil dari salah satu dialognya.

Terlepas dari kisahnya, melalui penuturan dialog, sulit untuk tidak curiga kalau ada pesan perlawanan kultur di dalam buku ini. Terutama pada tradisi doktriner serta budaya patriarki yang selama ini banyak merugikan kaum perempuan. Tak terkecuali di Indonesia.

Hal ini tampak jelas pada gaya wacana yang sengaja dibangun secara provokatif. "Toh perempuan mau setinggi apapun pendidikannya, ya tugasnya tetap saja melayani keluarga, mengurus rumah tangga, memuaskan perut dan batin suaminya." Kedengaran klise. Tapi perempuan mana yang tidak marah dikatai begitu? Juga semacam tamparan keras yang tidak terasa menyerang langsung dalil-dalil agama.

Dikemas dengan gaya bahasa populer, cerita ini sebetulnya bukan sekadar hikayat asmara. Lebih dari itu, menyampaikan betapa rumitnya kehidupan batin manusia yang tak kasat mata. Tergambar dari bagaimana tokoh utama melewati pengalaman traumatik, guncangan psikis, depresi, tekanan lingkungan, hingga keinginan bunuh diri.

Setiap kata dirangkai dalam babak peristiwa yang nyentol di kepala. Tidak ada drama yang kedodoran, seperti kebanyakan film korea, sehingga tampak dekat dengan realitas sehari-hari. Itu sebabnya sulit untuk membedakan apakah ini karya imaginer atau sebaliknya.

Berlatar dunia Eropa, narasinya melayang ke berbagai tempat. Dari Irlandia ke Kota Zurich, habis itu ke Irlandia lagi. Lalu ke Indonesia, balik ke Dublin dan sempat jalan-jalan ke Swiss sebelum akhirnya Lara terbangun dari mimpi.

Meski begitu, tidak ada kesulitan mengikuti alurnya yang berkelok-kelok. Hanya saja, deskripsi suasana yang kendur seringkali menjauhkan pembaca dari jangkauan sensori. Terlebih bagi yang kurang familiar dengan lingkungan Eropa.

Lebih dari itu, buku ini menyampaikan kalau relasi cinta bukan sekadar nyala api diatas ranjang King Koil. Itu, sih, pemain smackdown. Melainkan sebuah upaya merelakan. Pandangan ini tampak tersirat diakhir cerita.

Artinya, perempuan yang ditinggal pergi sama pacar karena dijodohkan, jangan langsung marah. Tetaplah merelakan sebagaimana karakter Lara yang diceritakan diatas. Tapi jangan lupa jatuh cinta kembali.

Ikuti tulisan menarik M. Fitrah Wardiman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler