x

Iklan

Muhammad Radhi Mafazi

Penulis Bebas
Bergabung Sejak: 15 Januari 2020

Selasa, 14 April 2020 15:23 WIB

Dehidrasi Rasa Kemanusiaan di Tengah Pandemi Covid-19

Ternyata Pandemi yang disebabkan oleh Wabah virus Covid-19, pada hari ini, bukan saja menyerang jasmani manusia. Imunitas yang semakin hari digoyangkan naik turun, diikuti dengan gejolak kemanusiaan dalam diri yang semakin hari terkikis. Disisi lain kebijakan pemerintah tentang penanganan covid-19, dianggap ancaman serius bagi sebagian orang yang memahami hanya setengah atau hanya dari "katanya". Keinginan individu menjadi atau memiliki sudah di rumuskan oleh Erich Fromm jauh-jauh hari. Kini kita harus memilih ingin menjadi oase ditengah gurun yang melegakan dahaga atau bagian dari terik panas yang menyala-nyala ditengah pandemi ini. Hari ini sudah 4.000 kasus lebih, oase ini kemungkinan akan mengering apabila kita tidak ikut didalamnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Covid-19, virus ini ternyata tidak sedang bermain-main di Indonesia, terbukti dari data terakhir sudah di angka 4.000 lebih dari masyarakat kita yang terkena virus ini. Pandemi ini ternyata bukan hanya ujian medis dan pola perilaku sehat saja untuk masyarakat Indonesia,  sikap dan perilaku masyarakat kita terhadap individu dalam masyarakat yang terjangkit virus covid-19.

Kebijakaan pemerintah yang sempat membuat heboh masyarakat terkait pembebasan 30 ribu Narapidana, yang begitu hebat dikemas oleh media, sehingga menambah daftar kepanikan di tengah pandemi, sampai dengan penolakan jenazah korban dari virus covid- 19. Bahkan korban dari paramedis, menjadi sebuah ide dari tulisan ini.

Dalam paragraf-paragraf selanjutnya penulis akan membagi poin besarnya, antaralain, bagiamana kepanikan  ini bisa terjadi, dan apa saja yang harus kita lakukan ditengah-tengah pandemi seperti ini, diluar dari kebiasaan pola hidup sehat dan anjuran terbaru dari WHO mengenai pengunaan masker kain, setiap keluar rumah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setiap manusia yang belum pernah mengalami operasi frontal lobotomy pasti dapat merasakan  kepanikan. Suatu reaksi dari campur aduknya emosi  didalam diri manusia, atas hasil respon dari informasi yang ia telan secara mentah dari media yang tidak bertanggung jawab. Hal inilah yang sedang terjadi dalam diri sebagian besar masyarakat kita.

Di lain sisi manusia kita sedikit sekali yang mau “mengulik” berita yang ia terima dari pesan berantai. Atau setidaknya ia mau membatasi diri menerima informasi hanya dari media-media terpercaya saja. Sumber dari rasa panik ini adalah suatu informasi yang tidak benar. Pada ilmu psikologi sosial hal ini disebut sebagai streotipe. 

Apa sebenarnya streotipe ini dan bagaimana proses terjadi di dalam masyarakat sehingga menjadi suatu keyakinan kolektif? Menurut Robert A Baron (2004) dalam bukunya psikologi sosial, streotipe merupakan keyakinan dan harapan terhadap anggota berbagai kelompok, bahwa semua anggota dari kelompok-kelompok tersebut menunjukkan trait-trait tertentu.

Trait dalam hal ini merupakan perilaku dari sekelompok orang yang menimbulkan perhatian besar dari masyarakat umum, seperti halnya mereka yang terkena covid-19 baik korban dari umum maupun paramedis, termasuk juga pencegahan covid-19 di lingkungan Lapas dan Rutan. Sikap yang sudah masuk dalam takaran penilain negatif disebut dengan prasangka, sedangkan yang sudah mengarah pada satu tindakan tertentu disebut sebagai diskriminasi.

Tiga hal ini, yakni streotipe, prasangka dan diskriminasi mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, membentu suatu proses yang bernama stigma.

Bagaimana proses terjadinya Stigma  dalam masyarakat khususnya mengenai penolakan jenazah korban Covid-19 dan pemberian asimilasi di rumah kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang jumlahnya 30 ribu untuk seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia. Menurut  Dr.Rr. Siti Suminarti Fasikhah dalam diskusi online  yang diadakan oleh MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center) mengenai Stigma ODP, PDP, Perantau, Tenaga Medis dan Jenazah (terduga Covid-19), pada tanggal 13/04/2020 memparkan bahwa proses terjadinya stigma terhadap penolakan jenazah terduga korban Covid-19, serta kepanikan lain di masyarakat termasuk dalam hal ini hampir sama dengan pemberian asimilasi di rumah dan integrasi bagi warga binaan pemasyarakatan sebagai berikut ;

  1. Adanya isyarat, sebagian individu dalam masyarakat menganggap dirinya dalam kondisi tidak aman dari covid-19 dari segi medis dan sosial ekonomi.
  2. Keyakinan Stigma (Streotipe), tahap ini sudah masuk tataran kognitif, dimana masyarakat sudah menggeneralkan segala sesuatu yang ia terima termasuk dari sumber yang tidak bertanggung jawab. Seperti halnya, orang yang baru bebas dari Lapas pasti dia adalah orang jahat, padahal tidak semuanya, dan ada kemungkinan berubah.
  3. Pendirian Stigma (Prasangka), tahap ini adalah tahap konfirmasi dari segala informasi yang ia terima sehingga sudah tidak dapat di pilah pilih lagi, semua yang masuk Lapas ia anggap jahat dan semua yang berdekatan atau menangani dengan covid-19 bahkan hanya terduga saja, ia anggap sama
  4. Proses terakhir adalah perilaku terhadap stigma (diskriminasi), tahap ini sudah masuk dalam tataran perilaku individu, seperti halnya perilaku penolakan terhadap paramedis yang merawat pasien covid-19 atau sama halnya sebagian masyarakat yang tidak terima dilingkungannya ada ex-Warga Binaan Pemasyarakatan yang mendapatkan Asimilasi di rumah atau integrasi (read ; disebut klien pemasyarakatan) dengan mencari-cari kesalahan, sehingga memancing Warga Binaan Pemasyarakatan.

Empat proses terbentuknya stigma di masyarakat hari ini, menambah buruk penanganan dari Covid-19, media-media besar yang selalu membagikan informasi menarik tampaknya tidak sampai ke seluruh lapisan masyarakat, pemerintah yang sudah mencoba, menggunakan berbagai media elektronik bahkan via SMS pun tidak semuanya dibaca dan cermati.

Segala daya dan upaya sudah kita lakukan bersama, jumlah terpaparnya virus-19 semakin hari semakin naik. Perilaku memanusiakan manusia di daerah yang menerapkan PSBB sudah cukup memanusiakan. Pemberian sembako, uang dan kebutuhan lainnya sebentar lagi mungkin akan terealisasi, hingga muncul kabar ada istilah OTG (Orang Tanpa Gejala) setelah kejadian 24 Awak diduga terpapar corona dari harian Tempo.co.

Sudah saatnya hidup kita menjadi bukan memiliki, Fromm (2018) dalam bukunya The Art Of Living, bahwa modus eksistensi menjadi berarti hidup, tertarik, melihat hal-hal, melihat orang, mendengarkan orang, menempatkan diri sendiri di tempatnya, membuat hidup menarik, membuat sesuatu yang indah bagi kehidupan. Kini cara mengatasi rasa dehidrasi rasa kemanusiaan ditengah pandemi ini ada pada diri kita, didukung dengan lingkungan sekitar, memposisikan diri sehingga kita menjadi manusia berguna.

Mulai tumbuhkan dalam diri kita sifat “kepo” terhadap informasi yang kita terima. Bahkan untuk masyarakat sekitar, yang masih khawatir tentang pemberian asimilasi di rumah terhadap warga binaan pemasyarakatan, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM akan menindak tegas bersama aparat penegak hukum bagi warga binaan yang melanggar syarat ketentuan dari pemberian asimilasi di rumah dan integrasi akibat dari Covid-19 dengan pengembalian di straft cell (Sel Pengasingan) sebagai wujud pelindungan masyarakat.

Kita sedang memilih diri kita ditengah pandemi yang jumlah penyebarannya sudah tidak kenal lagi ras,suku,bangsa, golongan dan agama, bahkan virus ini sempat disebut sebagai virus untuk semua, karena, itu kita akan memilih diri ini akan seperti apa, sesuai tulisan sebelumnya mengenai dampak sosial covid-19. Virus ini sangat berbahaya, tapi lebih berbahaya lagi sifat manusia, yang bisa dibawah seekor binatang, dimana Jalaludin Rumi dalam bukunya Fihi Ma Fihi, menyebut sebagai manusia lemah. Dimana setengah dirinya malaikat, dan setengah yang lain adalah binatang, malaikat selamat karena pengetahuannya, binatang selamat karena ketidak peduliannya.

Diakhir Paragraf dari tulisan ini, penulis ingin menutup dengan satu pepatah bijak Jadilah diri kita seperti tangan apabila tangan kanan satunya penepuk nyamuk tangan satunya membersihkan. Jangan seperti telinga, yang saling bejauhan dan sering iri apabila yang satu diberikan perhiasan, satunya tidak.

Ternyata kita sedang benar-benar dehidrasi rasa kemanusiaan, pemberian asimilasi di rumah bagi warga binaan pemasyarakatan yang sudah memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, bantuan sosial dari para influencer, dan donasi-donasi bagi paramedis, bagaikan aase rasa kemanusiaan di tengah pandemi ini. Kini saatnya kita memperluas rasa kemanusiaan itu, bangsa ini besar karena tekad gotong royongnya, bukan karena bambu runcing, atau senjata pengusir penjajah lainnya.

Mulai sekarang sirami jiwa kita dengan hal-hal yang membuat rasa kemanusiaan kita semakin tumbuh subur.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Radhi Mafazi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB