x

Cover buku Dalam Cermin - Cerpen-cerpen Thailand

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 26 April 2020 06:23 WIB

Dalam Cermin - Kumpulan Cerita Pendek Thailand

Cerpen-cerpen Thailand pilihan Ben Anderson yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Dalam Cermin – Kumpulan Cerita Pendek Thailand

Penyunting: Benedic R.O.G. Anderson

Penterjemah: Marianne Katoppo

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 1989

Penerbit: Yayasan Obor Indonesia                                                                      

Tebal: xvi + 145

ISBN: 979-461-044-5

Mochtar Lubis dalam pengantarnya menyebutkan bahwa jenis sastra yang terhimpun dalam kumpulan cerpen ini adalah “sastra kontekstual.” Yang dimaksud Mochtar Lubis dengan sastra kontekstual adalah penulisan sastra yang didasarkan kepada kondisi masayarakat pada saat itu.

Memang tepat apa yang disampaikan Mochtar Lubis dalam pengantarnya. Sembilan cerpen yang terdapat di buku ini semua berkisah tentang penderitaan yang harus dialami oleh masyarakat kecil akibat dari modernisasi. Kisah-kisah tersebut tentu sesuai dengan konsteks masyarakat Thailand saat cerpen-cerpen tersebut ditulis.

Cerpen pertama berjudul “Seakan-akan Tidak pernah Terjadi” menunjukkan menderitanya masyarakat desa yang didatangi dan “dibantu” oleh para mahasiswa dari kota. Bantuan yang diberikan secara tulus oleh para mahasiswa itu terlalu asing bagi kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Sehingga saat para mahasiswa tersebut meninggalkan desa, semua bangunan yang dibangun oleh para mahasiswa tersebut sama sekali tak punya arti bagi masyarakat desa.

Cerpen kedua berjudul “Sebelum Mencapai Bintang” berkisah tentang seorang mahasiswa yang menulis surat kepada ibunya di desa. Sang mahasiswa memberitahukan bahwa ia terpaksa ikut berjuang dan tidak bisa tinggal diam melihat penderitaan rakyat. Sang mahasiswa ini berakhir hidupnya diterjang peluru tentara. Sang mahasiswa mati sebelum ia mencapai bintang. Betapa sakit hati sang Ibu karena pemuka agama pun ikut-ikutan mengecam perilaku anaknya. Dengan nada sinis sang pemuka agama tersebut bilang kepada Ibu: “Siapa akan menduga bahwa begitu meningkat dewasa, ia akan menjelma menjadi seorang ekstrimis yang merusak Tanah Air.”

Cerpen ketiga berjudul “Bunda Perairan, Tauke Bak dan Seekor Anjing.” Novel ini menggambarkan betapa sebuah upacara keagamaan yang mestinya sangat sacral telah berubah menjadi sebuah kegiatan yang tercampur dengan motif ekonomi. Persembahan yang seharusnya dilakukan dengan sukarela dan sepenuh hati telah berubah menjadi sebuah anjuran dan hitungan untung rugi. Upacara tersebut telah dikelola oleh pihak luar demi mendapatkan keuntungan semata. Si Dao Ruang – sang penulis cerpen ini mengutuknya melalui seekor anjing kurus yang kecewa karena tidak mendapatkan apa-apa di tempat sampah vihara dengan cara meninggalkan tahinya.

Cerpen keempat berkisah tentang nasip buruh kereta api yang tak mampu mengubah nasip. Peng menjadi yatim sejak kecil. Sang ayah meninggal dengan mayat yang tidak utuh karena terseret kereta api yang sedang dilangsirnya. Setelah dewasa Peng berhasil menjadi pegawai kereta api seperti ayahnya. Peng mati dengan cara yang hampir sama dengan ayahnya. Peng meninggalkan seorang anak yang masih kecil. Nasip orang kecil adalah kesengsaraan yang berulang.

Cerpen kelima berjudul “Para Pembaca Buku” menyindir bahwa pendidikan modern belum tentu membawa kebaikan. Kisah sedih seorang anak perempuan yang dipindahkan ke rumah pamannya di kota supaya mendapatkan pendidikan ternyata berakhir tragis. Karena si anak perempuan ini bisa membaca, ia malah kecanduan bacaan drama ala sinetron Indonesia. Ia mengikuti kisah bersambung yang ditulis di sebuah majalah hiburan. Dan ia bunuh diri karena merasa bahwa itulah cara yang harus dilakukan ketika cintanya tak kesampaian.

Cerpen keenam berjudul “Dalam Cermin.” Cerpen ini dijadikan judul buku karena mengisahkan sebuah kenyataan masyarakat miskin di Kota Bangkok. Chiwin adalah seorang pemuda desa yang mempunyai ijazah sebagai seorang guru. Ia pergi ke Bangkok untuk mengubah nasipnya yang menderita sebagai petani. Namun kehidupan di Bangkok yang tidak memihaknya, membawanya menjadi seorang peraga dalam tontonan go go. Ia harus memamerkan adegang sanggama di atas panggung dan ditonton oleh banyak orang. Ia menyesal karena telah meninggalkan pertaniannya. Tetapi apa yang bisa dia buat?

Cerpen ketujuh dengan judul “Pil-Pil Merah Jambu” menggambarkan betapa pelayanan Kesehatan bukanlah untuk orang miskin. Seorang perempuan sebatang kara yang sakit-sakitan dan masih harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia hanya bisa meredakan sakitnya dengan mengoleskan balsam pada pelipis dan dadanya. Serangan sakit kepala dan jantung yang berdebar-debar semakin hari semakin menggila. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan tabungannya sebesar 30 Bath untuk pergi ke dokter. Sang dokter yang sudah memeriksa dengan ramah akan menyerahkan boat yang harus diminumnya. Namun saat tahu bahwa sang perempuan hanya mampu membayar 30 Bath, sang dokter urung memberinya obat tersebut. Sambil berkata dengan sinis, sang dokter mengatakan bahwa uang 30 Bath tidak cukup untuk membayar ongkos periksa. Sang dokter akhirnya hanya memberi dua pil berwarna merah jambu.

Cerpen kedelapan berjudul “Untaian Kalung.” Cerpen ini berkisah tentang pasangan muda dari pegunungan yang pindah ke dataran rendah. Ia berusaha untuk mengembangkan pertanian. Tetapi cara bertani di dataran tinggi dan dataran rendah tidaklah sama. Untuk bertani di dataran rendah dengan sistem yang terkoneksi dengan perusahaan diperlukan modal yang besar. Sementara sang petani dari dataran tinggi ini tidak punya modal. Ketika akan meminjam uang, ia tidak dipercaya. Tidak seperti saat ia di pegunungan. Ia bisa mendapatkan pinjaman dengan sangat mudah ketika akan bertanam opium. Para tetangga menyarankan suaminya untuk ikut koperasi. Ia menggadaikan kalungnya supaya bisa menjadi anggota koperasi. Namun ia tetap tak bisa mendapatkan pinjaman dari koperasi, karena uang koperasi tidak cukup untuk dipinjamkan kepadanya.

Cerpen kesembilan berjudul “Air dan Tanah” berkisah tentang menyerobotan tanah rakyat oleh pengusaha yang berkolusi dengan penguasa. Pu Lu yang berjuang supaya tanah tersebut kembali menjadi milik rakyat terbunuh. Pu Lu menjadi hantu baik yang senantiasa melindungi rakyat. Bahkan untuk melindungi rakyat dibutuhkan keterlibatan hantu. Pemerintah sendiri tidak mampu melindungi rakyatnya. Malah oknum pemerintah tersebut menjadi bagian dari masalah rakyat.

membaca kesembilan kisah ini kelihatan sekali bahwa masalah-masalah rakyat kecil adalah masalah sosial yang dimunculkan oleh para sastrawan Thailand. Masalah-masalah kekalahan rakyat kecil inilah yang membuat Mochtar Lubis memaknai karya-karya ini sebagai sastra konteksstual. Kesembilan cerpen tersebut di atas menunjukkan kekalahan rakyat kecil tanpa bisa melawan. Bahkan terlihat kepasrahan dari rakyat yang tak melihat ada jalan keluar.

Membaca cerpen-cerpen ini mau tidak mau saya membandingkan dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Karya-karya Pram juga sangat kontekstual dengan nasip bangsanya. Bedanya, Pram memasukkan potensi rakyat untuk menang, atau setidaknya melawan ketidakadilan. Pram menunjukkan bahwa jika rakyat bergotongroyong, maka mereka akan mampu memperbaiki nasipnya. Contohnya adalah novel pendek karya Pram yang berjudul “Suatu Peristiwa di Banten Selatan.”

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler