x

cover buku Lelaki di Simpang Jalan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 2 Mei 2020 08:06 WIB

Lelaki di Simpang Jalan - Bunga Rampai Cerita Pendek Filipina

Karya-karya penulis Filipina dalam Bahasa Inggris dari tahun 1930-1988.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Lelaki Di Simpang Jalan – Bunga Rampai Cerita Pendek Filipina

Penyunting: F. Sionil Jone

Penterjemah: S. Maimun

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 1988

Penerbit: Yayasan OBOR Indonesia                                                                     

Tebal: xii + 302

ISBN: 979-461-026-7

 

Kumpulan cerita pendek Filipina ini berisi 13 cerpen yang ditulis oleh para penulis Filipina dengan Bahasa Inggris. Rata-rata mereka berkarya dari tahun 1930-an sampai dengan akhir tahun 1988. Namun cerita pendek yang terkumpul dalam buku ini kebanyakan adalah karya dari tahun 1930-akhir 1960-an.

Para penulis Filipina berkarya dalam Bahasa Spanyol, Inggris dan bahasa lokal Tagalog. Pada era Amerika dan awal kemerdekaan banyak penulis Filipina yang menulis dalam Bahasa Inggris. Namun pelan-pelan mereka mulai beralih menulis dalam bahasa Tagalog.

Meski menulis dalam Bahasa Inggris, namun para penulis ini menggunakan tema-tema lokal kehidupan sehari-hari masyarakat Filipina. Demikian juga dengan latar cerita. Mereka menggunakan nama-nama lokal, tempat-tempat lokal, keyakinan lokal – termasuk kepercayaan kepada Agama Katholik yang sudah merasuk daging, budaya lokal dan opini-opini lokal tentang bangsanya.

Leoncio P. Deriada dalam cerpennya yang berjudul “Pekan Ikan Paus” menggunakan latar sebuah desa nelayan yang akan digusur menjadi pabrik mutiara oleh sebuah perusahaan Jepang. Gregorio C. Brillates dalam cerpennya berjudul Banjir di Tarlac menggunakan kisah sengketa tanah antara orang miskin dengan seorang baron. Hanya satu cerita yang menggunakan latar belakang Amerika Serikat. Cerpen berjudul “Hari Ketika Penari Itu Tiba” karya Bienvenido N. Santos mengisahkan dua orang Filipina yang tinggal di Amerika dan menyambut kedatangan para penari dari negerinya.

Tentang tema cerita, kumpulan cerpen ini sangat beragam. Ada cerpen yang bercerita tentang penderitaan rakyat, seperti cerpen Pekan Ikan Paus, Kelaparan di Barok dan Banjir di Tarlac. Ada cerita yang bertema hubungan antar manusia seperti cerpen “Lelaki di Simpang Jalan” karya Lina Espina Moore. Tokohnya bunuh diri karena tidak menemukan jalan keluar akibat dari perselingkuhannya dengan sekretarisnya di kantor yang selama ini membanggakannya. Demikian juga dalam cerpen “Istri Tanabata” karya Sinai C. Hamada (keturunan Jepang?) yang berkisah tentang pernikahan seorang tuan Jepang dengan perempuan penduduk setempat. Sebuah kisah cinta yang unik dan penuh pengampunan. Ada juga kisah seorang penulis yang dituang oleh Paz M. Latorena dalam cerpennya yang berjudul “Hawa Nafsu.”

Namun ada juga yang mengambil kisah sejarah, yaitu tentang tentara Spanyol yang tinggal di Manila yang ikut berlayar sebagai serdadu menuju Ternate. Kisah seorang berkelakuan buruk tetapi kemudian ingin menebus keburukan hidupnya, karya Nick. M Joaquin dituangkan dalam cerpen berjudul “Kisah Si Bejat Menghadapi Maut.”

Tentang kepercayaan dan Agama Katholik bisa ditemukan diantaranya dalam cerpen pertama “Pekan Ikan Paus” dimana kepercayaan Katholik yang lebih rasional terpaksa dikalahkan oleh kepercayaan lama saat penduduk miskin menghadapi tanda-tanda alam, yaitu bangkai paus yang terus menerus mendarat di pantai di tempat mereka tinggal. Dalam kisah “Kisah Si Bejat Menghadapi Maut” terlihat sekali cara pikir Katholik dalam memandang hidup dan mati.

Berbeda dengan Kumpulan Cerpen Thailand yang baru saja selesai saya baca, tema dalam cerpen-cerpen Filipina ini lebih beragam. Cerpen-cerpen Thailand yang terkumpul dalam “Dalam Cermin -Kumpulan Cerita Pendek Thailand” secara gamblang berkisah tentang penderitaan orang miskin dan rakyat jelata. Namun dalam kumpulan cerpen dari Filipina ini tema ceritanya sangat luas. Para penulis Filipina di era tersebut tidak fokus kepada sastra rakyat seperti rekan-rekannya di Thailand. Dalam membahas tema religius pun mereka tidak secara mendalam mempertentangkan keyakinan iman asli dengan agama-agama baru yang masuk ke Filipina.

Artinya, penulis-penulis Filipina ini benar-benar menulis untuk bersastra, tanpa dibebani oleh moralitas tertentu, kecuali beberapa cerpen yang mempertentangkan rakyat dengan penguasa/orang kaya. Cerita-cerita pendek ini mempunyai ciri penokohan yang kuat, detail dalam penggambaran situasi/suasana dan alur cerita yang sangat jelas, meski terasa lambat bagi saya.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler