x

Didi Kempot menghibur di Goa Pindul, Gunung Kidul, Yogyakarta, 22 Juni 2019. Tempo/Imam Sukamto

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 5 Mei 2020 09:45 WIB

Mengenang Didi Kempot, Perjalanan Kemanusiaan yang Paripurna

Seniman Didi Kempot dikabarkan berpulang pada Selasa, 5 Mei 2020, pukul 07.30 di Rumah Sakit Kasih Ibu, Surakarta. Menurut informasi beberapa media penyanyi yang berjulukan Lord Of Broken Heart itu meninggal dunia karena sakit jantung. Perjalanan kemanusiaannya memberikan banyak inspirasi dan ia layak mendapat penghormatan tinggi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tetapi rasanya dugaan itu belum lengkap, katakanlah karena ada pertanyaan berikutnya: Lalu kenapa terpilih Didi Kempot, dan bukan penyanyi-penyanyi lain juga mendedangkankan lagu-lagu bertema patah hati?

Saya mencoba mencari jawab hal itu. Saya mulai dari lirik-lirik lagunya. Barangkali ada keunikan di sana. Hasilnya, memang ada beberapa ciri yang sangat khas Didi. Ia memang menggunakan diksi-diksi yang mudah dicerna, tetapi cerdik dalam menyelipkan frasa yang menerbitkan nuansa puitik.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mari lihat potongan bait dalam lagu Dalan Anyar ini.

Kembang tebu sing kabur kanginan
Saksi bisu sing dadi kenangan
Prasetyamu kui mung kiasan
Tresnamu saiki wis ilang

Atau pada lagu Sewu Kutho,

Sewu kuto uwis tak liwati
Sewu ati tak takoni
Nanging kabeh
Podo rangerteni
Lungamu neng endi

Satu lagi, pada Banyu Langit,

Sworo angin
Angin sing ngreridu ati
Ngelingake sliramu sing tak tresnani
Pengen nangis
Ngetokke eluh neng pipi

Tetapi jika memang kecerdikan Didi ini yang memikat kaum milenial, bagaimana penjelasannya dengan para penggemar yang bukan pengguna bahasa Jawa? Apa yang membuat merreka bisa asyik-masyuk dengan karya-karya Sang Godfather? Jadi, sepertinya masih ada alasan lain lagi.

Saya mencoba mencari jawabnya dari arena konser-konser Didi Kempot yang selalu dipenuhi penggemar itu. Persisnya, saya mengamati dari massa yang selalu berjoget asyik “senajan” yang dinyanyikan adalah kesedihan. Kenapa ini bisa terjadi?

Sepertinya, ini adalah cara baru dalam merayakan patah hati, yakni dengan berjoget. Salah satu ciri kaum milenial adalah sangat terbuka dengan pembaruan-pembaruan yang bahkan mungkin berlawanan dengan kondisi lama. Termasuk saat patah hati, mereka pun ingin mengalaminya dengan cara baru. Sedih boleh, tapi itu bisa dilakukan dengan gembira.

Maka mereka menyambut baik tawaran Didi Kempot: Kalau patah hati, ya, dijogetin saja!

Nyatanya, seluruh bangunan karya Didi memang mendukung hal itu. Lirik lagunya mendayu (sering menggunakan diksi nelangsa, eluh alias air mata, mung lamis, dan sebagainya), namun aransemen musiknya asyik untuk jogetan. Dan itulah yang meggerakkan mereka. Ada asupan untuk hati yang merasa lara dari lirik lagu, tapi raga mereka dilayani alunan musik yang cukup rancak. Mereka pun bergoyang dan saya menyebutnya sebagai sebuah jogetan syahdu. 

Dengan semua itu, Didi Kempot tampil menjadi penyambung lidah kaum patah hati di era milenial ini. Ia dan karyanya diterima sebagai cara terkini mengungkapkan kegembiraan ber-patah hati secara massal dan syahdu. Karya-karya Didi Kempot telah membebaskan perasaan-perasaan terkungkung yang ingin lolos dan mencari bentuk baru tersebut.

Barangkali demikian. Namun, jika analisis enteng-entengan ini kurang tepat, ya, mari jogetin saja. Ambya

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB