x

Penampilan perempuan kerap kali mendatangkan setan seksis

Iklan

Tista Arumsari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Mei 2020

Jumat, 8 Mei 2020 13:40 WIB

Normalisasi Seksisme Terhadap Tubuh Perempuan

Ternyata, seksisme seringkali menargetkan tubuh perempuan sebagai objeknya. Secara sadar atau tidak, hal itu telah dinormalisasi oleh masyarakat kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kamu gak usah melakukan ini, kamu kan cewek. Nanti gak kuat lho.”

“Ih, cowok kok nangis?!”

“Kamu enak jadi cewek. Gak usah ribet cari duit, tinggal cari suami yang mapan aja.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Ih.. cewek kok gabisa masak sih?”

“Malu-maluin amat, masa disetirin cewek!”

Pernahkah kalian mendengar ungkapan-ungkapan seperti itu? Bila iya, itu seksis namanya! Seksisme merupakan ketidakadilan berbasis gender baik berupa tindakan ataupun ucapan yang seringkali tidak disadari dan digunakan sebagai lelucon atau guyonan.

Tubuh perempuan merupakan salah satu objek gurauan seksis yang tidak ada matinya. Tubuh perempuan seringkali menjadi objektifikasi bagi gurauan-gurauan seksual di tengah perbincangan masyarakat.

Mau di warung kopi, di kantor, di dalam angkutan umum, acara nikahan teman, di rumah saat menonton televisi bersama keluarga, atau bahkan di sekolah dan kampus—yang notabene merupakan institusi pendidikan, tempat yang dianggap paling menjunjung tinggi ilmu pengetahuan—gurauan bernada seksis kerapkali menjadi bahasan yang paling menarik untuk diperbincangkan.

Membicarakan tubuh perempuan adalah hal paling menyenangkan dan cara paling mudah mendapatkan perhatian, terlebih apabila sebagian besar audiens adalah laki-laki.

Contoh paling sederhana adalah ketika pelajaran Biologi semasa sekolah dulu. Khususnya ketika bab reproduksi dibicarakan di kelas. Ketika membicarakan bagian-bagian tubuh perempuan, teman laki-laki kita selalu lebih riang gembira, tertawa lepas, seakan tubuh perempuan itu lelucon, lucu sekali, pantas ditertawakan.

Padahal apa yang lucu dari tubuh perempuan? Tidak ada. Hanya pikiran kotor mereka yang terlalu sering diberi makan video 3gp, yang membuat mereka tertawa dan menganggap lucu tubuh teman perempuannya.

Ketika situasi seperti ini, saya belum pernah menemukan teman perempuan saya senang bagian-bagian tubuhnya menjadi objek tertawaan. Kami biasanya cenderung diam dan malu. Entah mengapa kami harus merasa malu atas tubuh kami sendiri.

Tetapi sebaliknya, ketika tubuh lelaki yang dibicarakan, para perempuan diam. Mereka merasa hal itu tidak pantas dibicarakan karena bagi mereka hal itu merupakan suatu hal yang tabu. Kalau saja ada perempuan yang berani menertawakan balik tubuh laki-laki, ia akan dianggap sebagai perempuan yang kurang baik, tidak sopan, nakal, dan sebagainya. Senada dengan standardisasi perempuan baik dan buruk di mata masyarakat kita.

Seksisme

Kalimat-kalimat seksis bahkan tak luput dalam aksi yang digelar oleh sebagian besar mahasiswa di berbagai daerah di tanah air beberapa waktu yang lalu. Saya tidak akan membahas mengenai aksi dan tuntutan apa yang dibawa mahasiswa.

Saya akan menyoroti fenomena seksisme dalam aksi massa yang baru saja dilakukan mahasiswa bersama elemen masyarakat yang turut peduli pada tuntutan yang dibawa. Para mahasiswa hari ini mungkin bangga dengan adanya aksi yang serentak mereka lakukan di berbagai daerah dengan kajian-kajian yang mendalam tentunya.

Aksi ini berhasil memanggil banyak hati nurani untuk turut bergabung bersamanya. Sehingga banyak masyarakat umum, tidak hanya mahasiswa yang hadir. Tak pelak, aksi ini membawa kita bernostalgia dan merefleksikan kembali aksi 1998 yang memiliki andil besar dalam penurunan Presiden Soeharto masa itu. Tetapi, sayangnya dalam aksi yang notabene memperjuangkan kepentingan rakyat itu, ternyata perempuan masih mendengar ujaran-ujaran yang merendahkan diri mereka.

Dalam aksi massa yang dilakukan di berbagai daerah mulai 23 September 2019 lalu, samasetara.id menerima berbagai aduan yang terjadi semasa aksi berlangsung. Adapun aduan yang diterima adalah mengenai pelecehan verbal, seksisme dan wujud rape culture.

Pelecehan verbal adalah komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual. Misalnya, “daripada capek-capek ikut aksi, mending jadi istriku aja mbak” atau “duh, mbaknya cantik cantik, kasian kalau kepanasan” atau yang bikin kita amat geram “sini aku jagain mbak, biar aman, siapa tau kita khilaf”. Betapa biadabnya mulut-mulut yang mengatakan itu.

Wahai kalian yang pernah mengatakan hal demikian, apakah kalian tidak bisa menahan diri melihat perempuan menikmati ruang publik dengan nyaman? Biasanya sih, mereka yang melakukan tindakan merendahkan sesamanya begini bukan golongan aktivis sejati. Paling mereka tidak paham substansi apa yang sedang diperjuangkan, sekedar ikut biar kelihatan keren aja kali ya.

Tetapi, apabila ada teman kalian yang mengatakan ucapan-ucapan seksis itu dan kalian melihatnya sebagai sosok yang aktivis banget, tidak pernah absen dari berbagai demonstrasi untuk membela masyarakat yang termarginalisasi, kalian perlu tuh memberi saran kepada mereka agar belajar feminisme. Supaya perjuangannya tidak setengah-setengah. Perempuan juga kerap kali jadi kelompok rentan loh mas! Gara-gara ucapan mulut kalian yang tanpa pikir panjang itu.

Untuk mengurangi budaya seksis dalam aksi massa, biasakan daripada mengucapkan,

“Eh, ini yang cewek suruh mundur aja. Waktunya laki-laki yang maju” atau “Ayo yang cowok jangan lemah kaya banci” atau lagi “kamu kan cewek, di belakangku aja mbak. Nanti kamu kenapa-kenapa lho”.

coba ganti dengan kalimat yang lebih ramah gender, misalnya “ayo yang lebih kuat silakan maju”. Tidak perlu melulu melibatkan gender atau seks seseorang, bukan? Toh itu bukan substansi penting yang sedang kalian perjuangkan selama demonstrasi.

Tak hanya ucapan, kalimat-kalimat seksis ternyata juga ditemui pada poster yang dibawa massa. Misalnya ada poster yang bertuliskan “Memperkosa Istri adalah Hak dan Kewajiban Suami”. Kalimat ini mungkin terlihat biasa saja, tetapi lelucon dan candaan semacam ini menunjukkan rape culture yang masih langgeng dalam masyarakat kita.

Apa salah kalimat di poster itu? Bukankah suami sah-sah saja memperkosa istri? Bagi kami, kaum pembela keadilan tidak. Hubungan seksual meskipun telah berada dalam institusi pernikahan, tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan (consent). Artinya, ketika itu dilakukan tanpa persetujuan, dapat disebut sebagai pemerkosaan.

Apakah itu mungkin terjadi? Cek datanya di Komnas Perempuan ya. Banyak yang melaporkan kok. Toh bukan rahasia umum bahwa KDRT sering terjadi, jadi saya rasa kalian dapat menerimanya secara logika.

No sexism

Hari ini, seksisme tidak hanya terjadi pada perempuan. Laki-laki juga berpotensi mengalami perilaku seksis. Masih ingat berita yang sempat trending tentang salah seorang atlet bulutangkis yang melepas bajunya di lapangan kemudian mengunggahnya di media sosial pribadinya?

Banyak komentar berbau gurauan seksual merujuk pada foto tubuh dan perut six pack si atlet. Ada yang meninggalkan komentar “aaak, gantengnya..rahim gue anget liat Jo*o buka baju”. Siapa yang meninggalkan komentar seperti itu? Apakah laki-laki? Tentu bukan.

Perempuan lah yang melakukannya. Jadi, laki-laki juga tidak terlepas dari ujaran seksis nan melecehkan yang dilanggenggkan, dianggap biasa, hingga menjadi kebiasaan kemudian budaya di masyarakat.

Meski tujuannya humor, gurauan seksis tidak seharusnya dinormalisasi. Humor seksis adalah pelecehan, merendahkan siapapun objeknya. Ketika gurauan seksual dan bernada seksis diterima dan dianggap biasa oleh masyarakat dan lingkungan sosial, sama saja dengan menormalisasi seksisme.

Hasilnya, hierarki sosial secara tidak sadar terbentuk. Ada kelompok yang dianggap lebih tinggi daripada kelompok lain. Sehingga terbentuklah relasi kuasa yang menjadi akar atas ketidakadilan. Dalam hal ini, jangankan menertawakan, membiarkan gurauan atau humor seksis terjadi saja merupakan suatu kesalahan.

Sudah saatnya kita melakukan perubahan. Perubahan tidak diawali dari gerakan yang besar dan masif. Ia diawali dari hal yang kecil, perubahan dari diri sendiri. Dari cara kita memaknai seksisme misalnya.

Seksisme harus mulai dianggap menjadi hal yang serius. Apabila tidak, hegemoni menormalisasi kebiasaan buruk ini akan membentuk semua kebiasaan sosial lain untuk betindak tidak adil kepada suatu golongan.

Mewujudkan ruang publik yang bebas dari ujaran seksis adalah tanggung jawab kita bersama. Sebelum mengatakan sesuatu yang berbau seksis seperti gurauan seksual dan humor seksis, pikirkanlah kesehatan mental yang menjadi objek ujaran seksis tersebut.

Mari kampanyekan ubah perilaku, think before you speak untuk melawan normalisasi seksisme terhadap tubuh perempuan. Ubah perilaku bukan hanya kampanye yang bisa kita gunakan untuk kepentingan lingkungan hidup dan krisis iklim, tetapi lebih dari itu, memiliki lingkungan hidup dan lingkungan sosial yang sehat tentu lebih menyenangkan. Memberikan ruang berekspresi secara bebas, baik kepada perempuan maupun laki-laki adalah langkah nyata untuk mengikis patriarki.

Ikuti tulisan menarik Tista Arumsari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler