x

cover buku Saksi Mata

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 9 Mei 2020 17:18 WIB

Saksi Mata - Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang dilatari oleh peristiwa kekejaman di Timor Timur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Saksi Mata

Penulis: Seno Gumira Ajidarma

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Mizan Digital Publishing                                                                       

Tebal: x + 154

ISBN: 978-602-291-205-7

 

“Ketika Jurnalisme dibungkam Sastra Harus Bicara”

 

Cerpen-cerpen yang dikumpulkan oleh Seno Gumira Ajidarma (SGA) di buku ini bertema sama. Yaitu penindasan penguasa terhadap kebebasan manusia. Cerpen-cerpen yang sebelumnya sudah pernah dimuat secara luas di surat khabar ini dimaksudkan oleh penulisnya supaya kita bisa belajar melihat diri sendiri. Sastra adalah sebuah wahana untuk berefleksi, berkontemplasi terhadap kehidupan yang sedang kita jalani.

Beberapa cerpen di buku ini mengambil latar belakang peristiwa Santa Cruz di Timor-Timur (sekarang menjadi Negara Timor Leste) saat masih menjadi provinsi bagian dari Indonesia. Cerpen-cerpen lainnya mengisahkan penderitaan dari para korban penindasan di Timor Timur. SGA yang saat itu menjadi wartawan menulis tentang pembantaian yang terjadi di Santa Cruz di majalah Jakarta-Jakarta. Artikelnya di majalah tersebut menimbulkan kehebohan di masyarakat, kemarahan para pejabat dan berakibat dicopotnya SGA dari posisi rekatur di majalah Jakarta-Jakarta. Berdasarkan kisah-kisah Santra Cruz itulah SGA menulis beberapa cerpen. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.

SGA tidak hanya menggunakan cara berkisah realis. Ia tidak menceritakan peristiwa secara kronologis saja. Ia memilih untuk bercerita dengan bumbu fantasi sadis. Kisah tentang saksi mata yang matanya sudah dicungkil adalah contohnya. Cobalah perhatikan percakapan antara sang saksi mata dengan hakim berikut ini. “Saudara saksi mata?” “Saya, Pak.” “Di mana mata Saudara?” “Diambil orang Pak.” ”Diambil?” “Saya, Pak.” “Maksudnya dioperasi?” “Bukan, Pak. Diambil pakai sendok.” Contoh lain adalah sang kekasih yang mendapat kiriman irisan telinga dari tunangannya yang menjadi tentara di medan laga. Dalam cerpen berjudul Salvador, SDA menggambarkan bagaimana seorang maling ayam mayatnya diseret-seret kuda dan kemudian digantung di gerbang kota. Dalam cerpen berjudul “Kepala di Pagar Da Silva” kengerian itu ditunjukkan melalui kepala Rosalina yang ditancapkan di pagar rumah Da Silva - bapaknya. Kengerian magis dan sadis ini mungkin dipilih oleh SDA untuk menunjukkan betapa kejamnya tentara.

Penderitaan fisik dan batin korban kebengisan penindasan ditunjukkan di cerpen berjudul Rosario. Fernando dipaksa menelan rosarionya dalam todongan bayonet. Semua keluarga Fernando tewas dengan cara yang mengenaskan. Setelah 20 bulan, Fernando menemui dokter supaya perutnya yang sakit bisa diobati. Perutnya sakit karena menelan rosario. Di cerpen lain diksahkan interogasi dengan penyiksaan dengan menggunakan listrik. Dalam cerpen Salazar digambarkan bagaimana perang mengakibatkan seseorang harus terpisah dari keluarganya, bangsanya dan tanah airnya.

Bukan hanya kekejaman saat kejadian, tetapi kekejaman akibat dari peristiwa juga digambarkan dalam cerpen-cerpen lainnya. Kisah Maria misalnya. Maria kehilangan suami dan anak lelakinya yang tewan terbunuh. Ia juga kehilangan Antonio anaknya. Namun Maria sangat yakin bahwa anaknya tersebut masih hidup. Namun saat Antonio akhirnya datang, Maria tidak bisa percaya sosok yang tubuhnya hancur itu adalah anaknya. Penderitaaan seperti Maria juga dialami oleh Junior yang diasuh seorang suster yang berniat mencari ibu kandungnya.

Kisah-kisah yang ditulis di cerpen-cerpen di buku ini membawa saya kepada kejadian-kejadian nyata. Semuanya begitu detail dan jelas apa yang terjadi di Timor Timur saat itu. Namun karena dikemas dalam karya sastra, maka hal-hal yang nyata itu menjadi maya. Fakta-fakta menjadi tersembunyi dalam selubuh sastra. Tetapi benarkan kejadian-kejadian itu nyata? Atau apakah kejadian-kejadian itu hanya sebuah rekaan SDA semata? Ah…marilah kita kesampingkan debat tentang fakta nyata dan hanya sebuah hal maya semata. Melalui karya sastra ini kita bisa membayangkan betapa kejamnya sebuah perang. Tak perlu kita mengujinya apakah peristiwa-peristiwa tersebut sungguh-sungguh sebuah kenyataan. Lagi pula, siapa yang menguji akan menentukan hasilnya bukan?

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler