x

Ilustrasi bekerja dari rumah. (Pixabay/Free-Photo)

Iklan

Tista Arumsari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Mei 2020

Selasa, 12 Mei 2020 07:29 WIB

Mensyukuri Keseimbangan Baru Dampak Wabah Corona

Wabah Covid-19 atau corona sedang menguji umat manusia di seluruh bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Tetapi di balik berbagai dampak buruk itu ternyata wabah juga membawa kita pada sebuah keseimbangan baru alias new normal. Saya mensyukuri keseimbangan baru yang kualami dan ingij berbagai pengalaman dengan anda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Virus Corona

Wabah Covid-19 atau corona yang sedang menguji hampir seluruh bangsa di dunia, termasuk Indonesia ini telah menimbulkan banyak orang resah, merasa kesusahan. Banyak problematika kehidupan yang semakin bertambah runyam karena kehadiran virus corona.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari ekonomi ambruk yang merembet ke berbagai masalah sosial seperti bertambahnya kelompok-kelompok rentan yang perlu mendapat bantuan, hingga melonjaknya angka kelahiran. Ancaman populasi bertambah di tengah situasi ekonomi yang justru memburuk. Belum lagi, wabah Covid-19 juga dikhawatirkan membuat orang-orang rentan terhadap gangguan kesehatan mental.

Tetapi, di luar kenyataan buruk yang harus dihadapi semua orang ini, kita juga perlu mengakui bahwa wabah Covid-19 mendorong timbulnya sebuah keseimbangan baru. Saya menyebutnya demikian, orang lain biasanya menyebutnya ‘sebuah normal baru’ atau dalam bahasa Inggris disebut a new normal.

Dalam hal ini, timbulnya keseimbangan baru merupakan kenyataan baik yang perlu kita syukuri di tengah gempuran berita buruk tentang wabah corona yang kita terima dari media sehari-hari. Setiap hari, media-media kita —baik media televisi maupun media sosial mulai Facebook, Youtube, Instagram dan sebagainya— selalu mengabarkan berita tentang wabah Covid-19. Kita dibombardir pemberitaan media yang amat jarang memuat berita baik.

Sebuah keseimbangan baru, a new normal, situasi seperti apakah itu? Saya ingin membagikan pengalaman pribadi saya untuk menggambarkan kondisi keseimbangan baru ini. Saya adalah seorang mahasiswi semester akhir di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur yang cukup aktif sebagai fungsionaris organisasi mahasiswa.

Tentu saja, sebagai mahasiswi semester akhir yang sering kali ditanya kapan lulus, wabah Covid-19 terhitung amat merugikan kepentingan pendidikan saya. Selain itu, sebagai seorang mahasiswi yang masih mengabdikan diri di organisasi, tentulah Covid 19 membuat program kerja yang telah saya susun sedemikian baiknya menjadi berantakan.

Kegiatan-kegiatan yang tidak bisa dilakukan secara daring terpaksa harus dibekukan sementara. Sehingga, situasi ini memaksa saya dan teman-teman memaksimalkan kegiatan yang bisa dilakukan secara daring. Tetapi, tentu kurang maksimal. Pertemuan tatap muka ternyata tetap tidak bisa tergantikan bagi orang-orang konservatif seperti saya.

Tetapi pada kenyataannya, hal yang kontradiktif terhadap kepentingan saya baik sebagai mahasiswi semester akhir maupun sebagai fungsionaris organisasi mahasiswa ini justru terjadi pada kehidupan saya secara pribadi. Misalnya, saya bisa menikmati quality time bersama keluarga di kampung halaman dan menikmati suasana Ramadan di rumah. Saya rasa, saya cukup beruntung dalam hal ini. Sebab, tak sedikit teman-teman saya yang terjebak di kota perantauan.

Mendekam di dalam kosan dengan siklus hidup yang kurang baik. Maklum, meskipun kami kaum rebahan, tanpa kegiatan produktif, kami juga bisa saja kena sakit mental. Seperti halnya masyarakat pekerja yang kena PHK, tanpa pemasukan, mereka juga bisa mati kelaparan.

Kalian yang pernah ngekos tentu paham bahwa suasana kosan tak bisa dibandingkan dengan suasana di rumah. Jelas tidak sama.

Tak hanya itu, situasi wabah juga membuat saya mencari keseimbangan baru. Saya harus terus produktif untuk menjaga kewarasan pikiran saya. Situasi pandemi membuat saya memiliki waktu luang untuk melakukan hobi-hobi saya yang selama ini terabaikan, yaitu menulis—sambil menambah pemasukan. Dan oleh karenanya, kehidupan saya semasa wabah cukup menggairahkan.

Kebanyakan teman saya mengeluh karena tidak punya pekerjaan dan tidak tahu apa lagi yang mesti dikerjakan. Mereka telah sampai pada fase semua playlist film dan drama Koreanya tidak lagi menghibur dan menyenangkan. Inilah yang rentan membuat orang frustrasi.

Tak seperti mereka, kehidupan sehari-hari saya selama wabah Covid-19 cukup sibuk. Saya melanjutkan hobi nge-freelance yang sempat saya tinggalkan pasca lulus SMA dan memasuki dunia perkuliahan.

Beberapa kali mendapat proyek, membuat saya tak punya cukup waktu untuk merasa frustrasi—setidaknya selama empat minggu terakhir ini. Apalagi, hobi ini bukanlah hobi yang tidak menghasilkan pemasukan. Sehingga, saya semakin giat dan semangat mengerjakannya. Cuan adalah alasan sebagian besar orang untuk banting tulang bukan?

Dengan kegiatan itulah, meskipun honor belum seberapa, tapi saya bisa mewujudkan keinginan-keinginan kecil saya tanpa membebani orang lain. Misalnya, membeli cilok, sempol, tahu kres, ayam Kentucky atau es oyen yang biasa lewat depan rumah.

Belum berakhir di situ, meskipun keseharian saya cukup sibuk apabila sudah tenggelam mengerjakan proyek, saya masih punya akhir pekan yang menyenangkan. Bisa saya gunakan untuk mengunjungi kerabat-kerabat dekat yang telah lama mengharapkan kedatangan saya sejak saya pulang dari kota perantauan.

Work From Home ternyata cukup menyenangkan, saya bisa menikmatinya. Di sela-sela mengerjakan proyek, berinteraksi dengan keluarga selalu menjadi obat terampuh untuk menghilangkan penat dan wajah yang kusut.

Pekerjaan yang bersifat remote project membuat saya bisa menyesuaikan ritme sesuai dengan kecepatan saya. Saya masih punya waktu untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan program kerja organisasi. Tentu lewat daring.

Beberapa kali mengikuti diskusi daring, ternyata saya juga bisa menikmatinya. Sepertinya, bagian lain dari diri saya merasa suitable terhadap situasi baru ini. Tentu saja, saya tidak bisa memaksa semua orang bisa seperti saya. Tidak, saya tidak sedang melakukan itu. Saya hanya membagikan pengalaman saya. Barangkali generasi muda seperti saya bisa terpikirkan cara-cara baru nan kreatif untuk menghadapi dampak buruk dari wabah corona.

Inilah keseimbangan baru saya, kondisi normal baru bagi saya. Tentu, saya juga berdoa semoga wabah ini segera selesai. Agar semua orang yang merasa kesusahan bisa segera kembali merasakan kebahagiaan. Agar mereka yang merasa sesak dan tercekik karena wabah bisa kembali bernapas lega.

Saya percaya bahwa tak semua orang harus merasa susah karena wabah Covid-19. Mari kita lenyapkan kesusahan dan munculkan kebahagiaan. Jangan menatap saling curiga pada sesama. Jangan mengalienasi orang-orang yang terpapar corona. Mari kita tunjukkan, Indonesia masih punya kekuatan hebat dari masyarakatnya, yang bernama: kapital sosial. Lain kali, di tulisan yang lain, saya akan mengulas hal ini.

Baiklah, itu saja. Terima kasih sudah membaca curahan hati saya. Salam dari saya, yang sedang berharap kalian juga bisa menemukan keseimbangan baru milik kalian sendiri. Dari pikiran dan naluri kreatif kalian sendiri. Sekian.

Ikuti tulisan menarik Tista Arumsari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terkini

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB