x

Proses pengisian BBM di SPBU Cikini, Jakarta, Selasa, 14 April 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Iklan

Tulus Abadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 8 Juni 2020 14:46 WIB

Sejumlah Persoalan di Balik Naik-Turunnya Harga BBM di Dalam Negeri

Salah satu komoditas perdagangan yang tersungkur oleh virus corona adalah minyak mentah dunia, yang kini harganya ambyar di bawah 20 dolar Amerika Serikat per barel. Bahkan di pasar Amerika harga minyak mentah terkoreksi sampai ke level minus, di bawah nol dolar Amerika Serikat. Kenapa harga BBM di Indonesia tidak ikut turun? Cukup kuatkah alasan pemerintah tidak menurunkan harga BBM itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Karakter kebijakan harga BBM, kendati sama-sama mengacu pada harga minyak mentah dunia, tetapi secara empiris di masing-masing negara amat berbeda. Dan terkhusus di Indonesia, tidak bisa
disikapi secara linier, baik pada konteks ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Pun tak bisa dipisahkan dengan konteks energi dan bahkan managemen transportasi publik. Terdapat beberapa catatan dalam menyikapi harga BBM, baik pada konteks kekinian, atau momen selanjutnya.
 
Pertama, pada konteks kebijakan publik, terkait harga BBM pemerintah tidak pernah konsisten, bahkan untuk tarif listrik juga demikian. Sebagai conto h, pada 2018-2019 harga BBM dan tarif listrik,
seharusnya mengalami kenaikan. Tetapi selama dua tahun tersebut, harga BBM dan tarif listrik tidakmengalami kenaikan, padahal jika merujuk pada harga minyak mentah dunia, kurs dolar terhadap
rupiah dan inflasi, maka seharusnya mengalami kenaikan.
 
Namun karena menjelang pemilu, pencitraan pun sangat diperlukan, sehingga semua rencana kenaikan harga/tarif komoditas publik
ditangguhkan. Pun saat harga minyak mentah turun, pemerintah tampak berkelit, berbagai jargon dikeluarkan untuk menangkis permintaan menurunkan harga BBM.
 
Kedua, harga minyak mentah dunia berfluktuasi sangat cepat. Saat ini pun sudah menanjak lagi menjadi kisaran 33 dolar Amerika/barel. Jika perubahan harga BBM selalu mengikuti fluktuasi harga minyak mentah dunia, dampaknya bisa memicu instabilitas harga di sektor riil. Para pelaku usaha akan kesulitan untuk menentukan struktur biaya (cost structure) pada komoditas produknya.  Dampaknya pada end user, harga bisa berubah setiap saat.
 
Dan ketiga, menurunkan harga BBM untuk saat ini juga kurang
strategis, sebab relevan dengan protokol kesehatan, masyarakat diminta ndekem di rumah. Pulang kampung dan mudik Lebaran pun dilarang. Nyaris tak bermanfaat! Dalam kondisi wabah seperti ini
yang urgen dibutuhkan masyarakat adalah harga bahan pangan yang terjangkau, bukan turunnya harga BBM.
 
Bahkan untuk keperluan belajar di rumah, bantuan pulsa/ internet justru lebih mendesak. Masyarakat berteriak konsumsi pulsanya melambung, terutama untuk aktivitas belajar anaknya.
 
Selain ketiga alasan teknis sosial ekonomi, bahkan politis tersebut di atas; sejatinya menjual BBM dengan harga murah bisa menjadi kebijakan yang kontraproduktif, baik baik pada konteks energi,
lingkungan hidup dan bahkan kesehatan.
 
Pada konteks energi berkelanjutan, BBM adalah energi fosil yang tidak pantas dijual secara murah, apalagi jika BBM-nya masih diimpor. Konsekwensi sebagai energi fosil, yang mempunyai dampak eksternalitas negatif, seharusnya diberikan pembebanan (disinsentif)—di jual dengan harga mahal, bahkan patut diberikan cukai atau pajak karbon (Carbon tax).
 
Sebab BBM sebagai energi fosil menghasilkan jejak karbon yang sangat signifikan bagi lingkungan. Dan klimaksnya perubahan iklim global seperti sekarang ini.  Bahkan fenomena munculnya wabah Covid-19 tak terlepas dari kerusakan lingkungan, dan dampak penggunaan energi
fosil (salah satunya BBM) menjadi tersangka utama.
 
Murahnya harga BBM kontra produktif dengan upaya untuk mengoptimalkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). BBM murah akan mematikan upaya mengeksplorasi EBT yang sudah mulai menjadi fokus. Ingat, selama puluhan tahun, setidaknya sejak 1960-an kita terkena kutukan energi fosil, fenomena oil boom.  Padahal
Indonesia adalah negeri gemah ripah loh jinawi soal EBT. Mulai panas bumi (Geo thermal) yang sangat melimpah, nomor satu di dunia, dengan 40 persen cadangan panas bumi dunia. Jika harga minyak dijual murah, maka praktis EBT tidak akan pernah berkembang, bahkan mati.
 
Dampak penggunaan BBM juga tak terlepaskan dari suatu permasalahan di kota kota besar di Indonesia, terkhusus Jakarta dan Bodetabek; yang masih secara akut disandera oleh kemacetan dan
polusi. Bahkan Jakarta sebagai salah satu kota termacet dan terpolusi di dunia. Nah jika BBM dijual secara murah maka dampak ikutannya adalah meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
 
Bahkan yang semula sudah enjoy dengan angkutan umum masal, bisa bermigrasi turun kelas menjadi pengguna kendaraan pribadi gara-gara harga BBM murah itu. Dengan demikian harga BBM yang sangat murah juga tidak sejalan dengan managemen transportasi publik, sebab mendorong migrasi besar-besaran ke kendaraan bermotor pribadi.
 
Harga BBM murah menjadi ancaman serius bagi transportasi publik masal, yang kini makin aksis, seperti Commuter Line, Transjakarta, MRT
Jakarta, LRT Jakarta, dan segera menyusul LRT Jabodebek. Dan Jakarta plus kota-kota besar di Indonesia pun akan semakin terpolusi.
 
Apalagi kita tahu kualitas BBM yang dijual di Indonesia mayoritas belum memenuhi standar Euro, alias belum ramah lingkungan. Lihat itu bensin premium yang beroktan (RON) hanya 88. Euro 1 pun tidak lulus, dan dampak negatif terhadap lingkungan adalah sangat nyata.
 
Selanjutnya: Transparansi dan konsistensi formulasi harga BBM

Ikuti tulisan menarik Tulus Abadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler