x

Proses pengisian BBM di SPBU Cikini, Jakarta, Selasa, 14 April 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Iklan

Tulus Abadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 8 Juni 2020 14:46 WIB

Sejumlah Persoalan di Balik Naik-Turunnya Harga BBM di Dalam Negeri

Salah satu komoditas perdagangan yang tersungkur oleh virus corona adalah minyak mentah dunia, yang kini harganya ambyar di bawah 20 dolar Amerika Serikat per barel. Bahkan di pasar Amerika harga minyak mentah terkoreksi sampai ke level minus, di bawah nol dolar Amerika Serikat. Kenapa harga BBM di Indonesia tidak ikut turun? Cukup kuatkah alasan pemerintah tidak menurunkan harga BBM itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Jika hanya membandingkan dengan harga BBM di negeri jiran Malaysia, faktanya memang harga BBM di Indonesia lebih mahal. Tetapi apakah kemudian harga BBM di Indonesia termahal di telatah ASEAN? Tidak juga. Sebab jika merujuk pada data Global Petrol Price, per 23 April 2020; ternyata rerata harga BBM non subsidi di Indonesia masih di bawah rerata harga BBM di ASEAN.
 
Terbukti, harga BBM non subsidi di Indonesia, untuk kategori bensin mencapai 0,58 dolar Amerika Serikat per liter, dan untuk kategori diesel harganya 0,63 dolar Amerika Serikat per liter. Sedangkan rerata harga
di level ASEAN untuk komoditas dan jenis yang sama adalah, kategori bensin 0,77 dan kategori diesel 0,67 dolar Amerika Serikat per liter.
 
Harga BBM jenis yang sama di Singapura, Thailand, Philipina, bahkan Laos dan Cambodia masih lebih mahal di banding harga BBM di Indonesia. Di Singapura harganya US$ 1,40/liter untuk bensin dan US$ 1,116/liter untuk diesel.
 
Lagi pula dalam memformulasikan harga BBM tidak serta merta mempertimbangkan aspek harga minyak mentah atau MOPS saja, tetapi faktor sulitnya distribusi BBM di Indonesia. Konon distribusi BBM di Indonesia tersulit di dunia, dan hal ini sangat berdampak terhadap harga (cost) secara keseluruhan.
 
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kondisi geografisnya amat sulit dan ekstrim untuk distribusi BBM. Inilah yang sangat membedakan distribusi BBM di negara di ASEAN, atau bahkan di dunia. Sebagai contoh, untuk mengirim BBM ke Wamena, Papua, diperlukan tiga
moda transportasi sekaligus: darat, laut dan udara. Dampaknya ongkos angkut yang fantastis, yakni Rp 11.000 per liter, jauh lebih mahal dibanding harga BBM-nya sendiri, yakni Rp 6.500/liter (premium).
 
Mahalnya ongkos angkut ini ditanggung oleh operator (PT Pertamina), dan tak sepeser pun uang regulator yang menetes untuk menanggungnya, termasuk untuk program kebijakan BBM
satu harga sekalipun.
 
Lalu hal apa yang mendesak dalam menyikapi kebijakan (harga) BBM, baik pada saat harga BBM harus naik dan atau harus turun? Jika perspektifnya payung besar bernama konsumsi berkelanjutan maka kebijakan (harga) BBM, maka harga dan kualitas BBM harus berbasis energi, lingkungan dan transportasi berkelanjutan.
 
Bahkan juga harus mencerminkan keadilan ekonomi. Maka ada beberapa saran konkrit, pertama, dari sisi lingkungan hidup dan polusi udara khususnya di kota Jakarta adalah bagaimana pemerintah dan
PT Pertamina mewujudkan BBM yang berkualitas, yakni BBM yang ramah lingkungan bahkan ramah kesehatan. BBM di Indonesia harus sejalan dengan standar Euro, minimal Euro 2.
 
Bahkan sesuai regulasi Kementerian KLHK, produk BBM yang dijual di Indonesia harus memenuhi standar Euro 4. Oleh karena itu, BBM seperti premium seharusnya sudah dikandangkan, atau maksimal untuk
konsumsi luar Pulau Jawa. Membuang premium dari Pulau Jawa dan Jakarta sudah pernah dilakukan pada 2018, tetapi tragisnya dianulir, karena demi pencitraan pemilu, pileg dan Pilpres.
 
Dan harus dicatat, bahwa kualitas BBM berkelindan dengan aspek kesehatan. Terbukti seiring dengan wabah virus corona di Eropa, kualitas udara di Eropa justru makin baik, karena menurunnya aktivitas dan penggunaan BBM. Kematian yang ditimbulkan oleh dampak polutan BBM pun turun, padahal kualitas BBM di Eropa standar Euro 6.
 
Studi terbaru dari Pusat Penelitian tentang Energi dan Udara Bersih
menemukan bahwa angka kematian polusi udara selama lockdown berkurang. Penelitian itu menyatakan sekitar 11 ribu kematian dini terhindar karena udara yang membaik, sebab kadar PM 2,5
turun 10 persen (Koran Tempo, 06/04/2020).
 
Namun demikian, pada konteks kebijakan harga dan formulasi harga BBM sangat mendesak adanya transparansi dan konsistensi formulasi harga bahan bakar minyak. Pemerintah dan juga Pertamina
harus transparan terkait formulasi harga bahan bakar minyaknya, baik pada konteks pandemi seperti sekarang, atau bahkan pada saat situasi normal. Sebab patut diduga, bahwa selama ini formulasi harga bahan bakar minyak tidak transparan, sehingga akibatnya konsumen harus membayar lebih mahal daripada biaya produksinya itu sendiri.
 
Secara umum, komponen harga eceran bahan bakar minyak, 83 persen adalah komponen harga minyak mentah (ICP), dan sisanya, 17 persen adalah biaya distribusi. Jadi sungguh mengherankan jika ada kebijakan bertajuk “BBM Satu Harga”. Sebab seharusnya harga bahan bakar minyak dari Sabang sampai Merauke sudah ter-cover dalam
komponen biaya distribusi tersebut. Jadi tak ada alasan untuk penambahan biaya lagi demi mewujudkan kebijakan BBM satu harga tersebut.
 
Fenomena winfall profit di sektor minyak seperti sekarang ini, bisa dijadikan upaya untuk mewujudkan dana stabilisasi atau bahkan dana minyak (oil fund). Sehingga naik turunnya harga minyak mentah dunia tak harus direspon dengan naik turunnya harga eceran bahan bakar minyak di level nasional. Selain itu, efek winfall profit bisa menjadi insentif bagi sektor energi nasional, khususnya energi baru terbarukan, sehingga ketahanan energi nasional makin kuat. Tidak seperti sekarang, sangat rapuh. ***

Ikuti tulisan menarik Tulus Abadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler